Perjalanan Menuju Pulau Majeti
Perjalanan
Sangiang Aji Saka diawali dari Gunung Galuh Rumpin Bogor, gunung itu sekarang
dinamakan Gunung Munara. Sedangkan nama Galuh adalah asal, kemudian berubah
menjadi nama Munara karena alasan bentuk gunung itu hampir menyerupai
menara atau munara (bahasa Sunda) mesjid. Dari tempat itulah, Sangiang
Aji Saka kecil dilahirkan dan berbarengan dengan kelahirannya, dinamai
tempat-tempat seperti Saka Domas, Saka Wayana dan Saka-saka lainnya. Sesuai
kehidupan nenek moyangnya yang senang melakukan pengembaraan, Sangiang Aji Saka
pun setelah beranjak dewasa menyukai berkelana.
Nama
Aji artinya pangeweruh dan Saka artinya asal mula adanya keturunan
melekat dalam dirinya. Suasana alam yang sunyi tanpa hiruk pikuk manusia mengundang
kebebasan manusia bergerak. Aji pangeweruh tanpa guru yang ditaqdirkan Illahi
Robbi, menuntun raga dan sukmanya menampakkan jati diri yang sakti
mandraguna. Dengan tubuhnya besar laksana raksasa, ia melangkahkan kaki
keluar masuk hutan belantara untuk mencari kehidupan baru.
Orang
tua Sangiang Aji Saka adalah Ki Balangantrang (nama telahan) ayahnya dan Ratu
Pakewuh sebagai ibunya. Sangiang Aji Saka mempunyai putra diantaranya : Resi Ki
Ajar Padang, Sangiang Premana, Sangiang Cupu Manik dan Begawan Pancawala
Amimullah Koblaka Bani Israel.
Putra
ketiga Sangiang Aji Saka yaitu Sangiang Premana mempunyai putra yang dikawinkan
dengan putri Sangiang Cupu Manik. Jadi antara cucu Aji Saka terdapat perkawinan
antar saudara misan.
Pulau Mas sekitar Pulau Majeti
Putra
bungsu Sangiang Aji Saka yaitu Begawan Pancawala Amimullah Koblaka Bani
Israel, mengembara ke daratan Yerusalem. Di negeri itulah Begawan
Pancawala membangun kehidupan rumah tangga dan beranak pinak. Menurut
informasi, kali pertama tiba di negeri itu menetap di sekitar Gurun Sinai
yang terdapat curug air yang terletak antara Negara Israel dengan Palestina
sekarang.
Itulah Sangiang Aji Saka dengan keturunannya dari istri yang pertama. Dari
istri yang kedua Sangiang Aji Saka juga mempunyai anak yaitu Roro Jongrang.
Putri ini berparas cantik karena titisan Dewa Sri Ratu Dewi Uma, Dewa wanita
paling cantik jelita seolah dari kahyiangan. Kecantikan Putri Roro Jongrang
amat terkenal sejagat raya, hal itu dibuktikan dari peloksok penjuru jagat raya
berdatangan menghadap Sangiang Aji Saka untuk melamar anaknya itu. Bahkan adik
Sangiang Aji Saka yaitu Raja Boko, juga menaruh hati dan ingin meminang Putri Roro
Jongrang. Namun keinginan Raja Boko itu dicegah oleh Sangiang Aji Saka karena
tidak mau mempunyai menantu yang juga adiknya. Dari sekian banyak yang meminang
Putri Loro Jongrang atau Panglipur Jagat ini hanya seorang Resi dari India yang
disetujui oleh Putri Roro Jongrang maupun oleh ayahnya. Di Negara baru itulah
banyak cucu buyut keturunan Sangiang Aji Saka dari Putri Loro Jongrang.
Sangiang Aji Saka atau Begawan Sakawayana, adalah keturunan kedua yang dijuluki
Siliwangi. Pemberian gelar itu terjadi di daerah Marongge, Gunung Congkrang
antara daerah Sumedang dengan Majalengka sekarang. Sangiang Aji Saka sebagai
orang tua amat terkenal karena ilmu pangaweruhnya sehingga menjadi tokoh yang
seringkali diminta nasehatnya. Namun walaupun ia seorang penasehat, ia tidak
tinggal diam ketika melihat amurka saudaranya yaitu Sangiang Dewata Cengkar.
Konon ketika Sangiang Dewata Cengkar murka, banyak penduduk mati dengan
kepalanya remuk bahkan banyak hilang tanpa kepala. Pasalnya Sangiang
Dewata Cengkar marah terhadap perilaku penduduk yang dianggap salah kaprah dan
tidak menuruti keinginannya sehingga ia banyak membunuh manusia dengan cara
yang kejam.
Melihat
banyak korban itulah, Sangiang Aji Saka bertindak dan menghentikan amarah
Sangiang Dewata Cengkar. Namun Sangiang Dewata Cengkar juga tidak sudi menerima
nasehat Sangiang Aji Saka, maka terjadilan pertengkaran antara Sangiang Aji
Saka dengan Sangiang Dewata Cengkar. Dalam pertikaian itu tidak ada yang kalah
maupun menang, karena kedua-duanya merupakan orang sakti mandraguna Pajajaran.
Maka atas nasehat kakeknya yaitu Sangiang Purwa Kalih, keduanya menghentikan
pertempuran. Sebab itulah keduanya rukun dan berjanji tidak mengulang
pertikaian malah sekaligus saling mengisi satu sama lain. Dan sejak itulah
tidak ada lagi issue manusia korban raksasa. Sebenarnya mereka bukan manusia
raksasa, tetapi karena kesaktiannyalah sehingga terlihat seolah-olah
bagaikan raksasa.
Dialin
pihak memang sebagaimana diulas dalam tulisan PERJALANAN PAJAJARAN SILIWANGI,
bahwa tubuh manusia dulu memang tinggi besar. Selain itupun tanpa pakaian
sebagaimana layaknya manusia sekarang. Kondisi alam pada masa lalu jauh berbeda
dengan kehidupan masa kini. Oleh karena itu di kalangan keturunan Pajajaran,
pakaianpun hanya dengan cawat dari dari upih daun pinang atau kulit binatang
yang menjadi penutup auratnya. Dapat dibayangkan, bagaimana orang tua dahulu
dengan tubuh tinggi besar, hanya aurat saja yang ditutupi sementara itupun
rambutnya panjang gimbal tanpa terawat. Keadaan demikian dapat dimaklumi,
karena pada masa itu tanpa adanya alat pemotong rambut. Sedangkan alat tajam
dari besi belum bisa diolah oleh manusia, walaupun sebenarnya bahan besi ada
dari pegunungan maupun dari lautan. Tetapi manusia dahulu kala belum mampu
memprosesnya bisa menjadi lempengan besi apalagi untuk membuat pisau, golok,
tombak atau gunting sekalipun. Orang tua dahulu untuk memotong rambut maupun
janggut selalu dibakar dengan api ( direrab, bahasa Sunda). Jadi jika mau
memotong rambut selalu membuat api unggun lebih dulu. Dan ada pula cara
memotong rambut mereka yang menggunakan batu dengan batu yang digeprekan.
Hal
itupun dilakukan oleh Sangiang Aji Saka. Pada masa kegelepan tersebut, manusia
banyak belajar dari alam termasuk cara kawin. Perkawinan antar mereka belum ada
ketentuan yang mengatur, jika menyukai wanita mana saja maka dikawinlah.
Jadi tidak mustahil sering terjadi perkelahian antar mereka yang diakhiri siapa
yang kuat dialah menjadi pemenangnya. Sungguh tragis.
Mungkin
kehidupan masa itu tidak jauh berbeda dengan kehidupan ayam. Kapanpun dan
wanita manapun jika ia menginginkan dikawinlah. Tetapi jika ada ayam jago
lain menghendaki pula, terjadilah perkelahian. Namun seringkali perkawinan
orang tua dulu terjadi di sungai, karena dialiran sungailah tempat yang ideal
memadu kasih yang dilanjutkan berendam mandi dialiran sungai.
Oleh
karena itulah sungai menjadi salah satu pilihan penentuan untuk disinggahi,
apalagi jika disekitarnya terdapat gua maka dipastikan akan lebih menjadi betah
menetap disana. Sebab pada sungai banyak terdapat ikan yang menjadi makanan
pokok mereka, sedangkan gua dijadikan tempat tinggalnya. Maka ketika
Sangiang Aji Saka menetap di Majeti, alam disekitarnya dikelilingi aliran
sungai. Malahan warga disana sampai sekarang menamakan daerah itu dengan nama
Pulau Majeti, sebutan nama tempat itu beralasan karena tanah daratan
disekelilingnya air sehingga menyerupai sebuah pulau.
Dari
daratan pulau kecil itulah menetap keturunan Pajajaran bersama-sama dengan
saudara-saudaranya yaitu : Sangiang Dewata Cengkar, Sri Bugel, Sri Bedegel,
Sulaeman Kuning, Ratu Rengganis, Nyimas Gandawati, Sawung Galing, Tubagus Tomal
dan Eyang Mentereng serta banyak lagi keturunannya disana. Oleh karena itulah
Sangiang Aji Saka yang terkenal memiliki sifat lemah lembut tetapi juga bisa
sekeras bagaikan besi. Beliau berwibawa dan sangat dihormati oleh kalangan
keturunan Pajajaran Siliwangi karena selalu menasehati dan selalu bertindak tegas
sehingga di katakan sebagai Pinisepuh Pajajaran. Selain itupun keturunannya
banyak merambah ke Sunda Besar sebelah timur maupun ke daerah Sunda Kecil
bahkan putra Sangiang Aji Saka juga merambah jauh ke negeri seberang India.