Sebagaimana telah disinggung dalam Perjalanan Pajajaran Siliwangi, bahwa
Komunitas Siliwangi sangat
menyenangi tanah dataran yang dekat dengan sungai, karena sungai menjadi tempat
ikan yang menjadi makanan pokoknya. Namun ketika menelusuri sungai, sebersit
rahasia kisah Siliwangi terungkap.
Sebab ternyata Siliwangi menyukai
sungai bukan hanya mengandalkan makanan ikan saja, tetapi juga ternyata sungai
menjadi tempat yang amat disenangi. Aliran sungai yang jernih dengan sedikit
riak air terjun, dibawahnya membentuk kubangan bagai kolam renang. Tempat
semacam itulah mengundang leluhur sering mengunjunginya karena kesukaan tempat
itulah yang ideal memadu kasih sekaligus menjadi tempat persalinan atau
melahirkan dalam genangan air sungai. Hal itu dilakukan tentu memiliki resep
tersendiri, tetapi jika anda mau mencoba tidak ada salahnya. Sebab apa yang telah
dilakukan para leluhur dipastikan sebagai bahan pelajaran bagi anak
keturunannya.
Batu
Kanjut Kolot ditepi sungai
Pertama pelajaran batu dan batu yang
selalu ditemui, karena memang itulah harta peninggalan leluhur. Batu yang kita
kenal merupakan benda keras yang tidak berubah usik maliknya batu tetap menjadi
benda padat dan keras. Oleh karena itu kiranya wajar jika Siliwangi meninggalkan jejaknya yang ditandai dengan batu, karena
batu bisa bertahan lama dan tidak berubah jika tidak diusik oleh manusia. Siliwangi menyiratkan tulisan pada
batu, dan batu pula yang dijadikan tanda tempat-tempat yang pernah
disinggahinya. Batu selain ditandai dengan tulisan, juga ditandai dengan tapak
kaki atau tapak tangan. Batu sebagai saksi alam, selain matahari, bumi, angin
dan air menjadi tumpuan dan tempaan hidup Siliwangi.
Oleh karena itu, keterikatan dengan
alam oleh Siliwangi dijadikan nama
panggilan antara lain ; Sangiang Tapak,
Sangiang Kilat Buana, Sangiang Gentar Bumi, Sangiang Sapu Jagat. Sedangkan
pada batu tulisannya juga memiliki ciri khas, yaitu kadang pada tulisannya dibagian atas diberi gambar
matahari. Gambar itu menandakan bahwa matahari merupakan saksi alam yang
senantiasa memberikan wahyu kepada setiap ummat manusia yang dikehendaki. Namun
sayang gambar matahari pada tulisan-tulisan karuhun tersebut ada yang
hampir tidak nampak lagi terlihat akibat tangan-tangan jahil manusia maupun
usang tergerus perubahan zaman.
Oleh sebab itulah karena
Siliwangi hidup pada zaman sebelum
masehi maka tidak meninggalkan jejak foto, sedangkan foto baru diciptakan
oleh bangsa Prancis yang bernama Niepce pada tahun 1816 Masehi dan dilanjutkan
dengan pembuatan kamera pada Tahun 1822 Masehi. Sehingga dengan demikian Tokoh Siliwangi tidak dapat digambarkan
secara visual maupun berupa ukiran patung karena kehidupan Siliwangi sebelum
ada teknologi foto. Karena itulah, tempat-tempat yang pernah disinggahi Siliwangi hanya menyisakan berupa batu
atau tulisan dipermukaan batu.
Nenek
moyang dari Pajajaran inipun, tidak berbusana layaknya manusia sekarang. Pada
zaman itu untuk menutup badannya belum ada kain, hanya pelepah daun pinang atau
kulit harimau yang dibuat sederhana saja. Untuk perempuan juga tidak jauh
berbeda, dari bahan kulit harimau atau pelepah pinang juga untuk menutupi aurat
dan buah khuldinya.
Siliwangi adalah seorang pengembara, beliau selalu berpindah-pindah
tempat tinggal. Mungkin hanya di Lemah Duhur Bogor beliau lama menetap karena
alasan orang tuanya disana. Siliwangi
sebutan gelar yang diberikan oleh leluhurnya, belajar dari alam yang dibarengi
dengan wahyu nur cahaya matahari mampu mengelana jagat raya. Walaupun kapal
udara yang baru diciptakan pada tahun 1852 M oleh Giffard bangsa Prancis,
tetapi Siliwangi sebelum ada kapal
udara telah menempuh wilayah yang jauh dari tanah kelahirannya yaitu Bogor.
Menurut catatan orang tua seperti yang ditulis dalam Mengulas Tulisan Karuhun, Siliwangi
pernah mengembara dan menetap di Danau
Kelimutu Ende, di Danau Merah Irian, di Sulawesi, di Kutai dan di Banjarmasin
Kalimantan, di Tapak Tuan Aceh, di Pagaruyung, di Batu loncat Nias, dan banyak
lagi bahkan ke wilayah yang sekarang menjadi negara tetangga Indonesia yaitu
Thailand, Kamboja, Vietnam dan Negara lainnya.
Menjadi
pertanyaan besar dengan apakah Siliwangi
bisa sampai merambah kesana sedangkan pada saat itu tidak ada alat transportasi
?. Namun perjalanan Siliwangi kemanapun
yang disukai dengan mudah dijangkau, beliau bisa melesat bagaikan kilat, karena
itulah Siliwangi juga memiliki nama Sangiang Kilat Buana salah seorang yang dianugerahi oleh Allah SWT ilmu “Saefi”. Konon ilmu tersebut bisa
seseorang layaknya terbang melayang-layang. Wallahu alam.
Oleh
karena itu, Siliwangi bukan manusia
sembarangan seperti layaknya kehidupan manusia sekarang. Ia merupakan nenek
moyang dan tokoh cikal bakal manusia di Pajajaran.
Sebagaimana dimaklumi bahwa alam pada saat itu masih dalam suasana kegelapan
terutama sudut pandang teknologi, sehingga segala sesuatu untuk melangsungkan
kehidupannya perlu menciptakan sendiri. Dari wahyu nur cahya matahari itulah Siliwangi diberikan kelebihan berpikir
dan banyak belajar dari alam sekitarnya yang disebut Mikrob Qolbu. Malahan leluhurnya saat belajar dari alam, senantiasa
memperhatikan sifat-sifat binatang seperti ; kera, harimau atau banteng dan
binatang lainnya. Dari binatang itulah suatu petunjuk dapat diperoleh,
misalnya jika binatang itu suka memakan dedaunan atau buah-buahan tertentu
maupun makanan lainnya, maka disimpulkan bisa dimakan juga oleh manusia. Itulah
pelajaran awal dari alam. Selain itupun matahari, bumi, air dan udara
atau angin menjadi tumpuan dan tempaan kehidupannya sehingga kelak banyak
mengilhami cara berpikir para leluhur Pajajaran.
Kondisi
alam yang dipenuhi pepohonan besar, menjadikan permukaan bumi lembab. Air
menggenangi setiap tanah landai, daratan bukit dan lembah, sehingga pada saat
itu banyak semacam danau. Oleh karena itu, petilasan leluhur Pajajaran lebih
banyak berada di tanah dataran atas. Disamping karena alasan genangan air,
ternyata tempat yang dipilih juga untuk menghindari serangan binatang buas.
Namun prioritas yang dipilih kemungkinan untuk lebih khusu bersemedi pada
dataran tanah yang berada diatas dan tidak terjangkau genangan air. Adapun
petilasan Siliwangi yang berada di
daratan atas khususnya yang ada di wilayah Bogor antara lain ; di Gunung
Munara, Gunung Kapur Ciampea, di Batutulis Lemah Duhur, di Salaka Domas
Kebun Raja, Gunung Geulis, Kuta Wesi Gunung Guruh maupun Kuta Maneuh dan
Manangel maupun di Gunung Gede, Gunung Salak serta Gunung Halimun. Kawasan
tersebut dibawahnya merupakan tempat aliran air dan atau genangan air yang
menyerupai danau atau setu atau segara.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa pada setiap aliran
air selalu hidup ikan. Makanya ikan merupakan makanan favorit para leluhur
Pajajaran, hanya ikan mas dan ikan gurame saja yang tidak pernah mau
dikonsumsi, entah kenapa. Jadi yang dimakan hanya ikan selain ikan mas
dan gurame saja. Manakala ikan telah diperoleh, mereka masak ala kadarnya di
tempat-tempat yang memiliki panas bumi atau sekitarnya terdapat kawah berapi
seperti ; di Ciseeng, di Gunung Pancar, di Cipanas Pelabuhan Ratu.
Salah
satu tulisan Sangkakala pada batu
Kurun
waktu Siliwangi hidup di nusantara
ini, kebudayaan belum maju berkembang. Oleh karena itu, menulis pun
diatas batu dan dengan huruf Sangkakala
yang memiliki keunikan tersendiri. Disamping itu, apabila Pajajaran sudah maju
kebudayaannya, tentu Siliwangi akan
menulis pada kulit atau kertas walaupun dengan huruf yang berlaku pada masa
itu. Sedangkan kertas baru diproduksi secara konvensional pada tahun 1809 oleh
Dickinson orang Amerika dan pulpen pun baru ada tahun 1884 hasil ciptaan
Waterman yang juga berkebangsaan Amerika. Maka wajar tulisan karuhun pada
batu dan batulah, sehingga tulisan maupun dan zamannya Siliwangi wajar disetarakan dengan
zaman batu. Disamping tulisan batu, ada pula sebagai tanda petilasannya berupa
onggokan batu. Malah bebatuan petilasannya yang masih ada hingga sekarang
memiliki nama tersendiri, seperti ; Batu Kedok, Batu Leuit, Batu Kasur, Batu
Dongdang, Batu lesung, Batu Karut, Batu Gada, Batu Yoni, Batu Putih dan
lain-lain malah ada yang unik dengan nama Batu Kanjut Kolot.
Gua
Kutawesi, konon sebagai "kaputren" Siliwangi
Salah
satu tempat persinggahan terakhir Siliwangi
yaitu di Cikembar Sukabumi dan tempat terakhir itu bukan lantas disana menjadi
akhir hayatnya, melainkan akhir dari perjalanan pengembaraannya. Siliwangi yang memiliki nama pituin Pancawala tersebut, selalu berpindah-pindah
tempat dan selalu dibarengi dengan berganti nama sebutan ataupun
panggilan. Ternyata kebiasaan itu untuk kepentingan yang berbeda
pula. Padahal beliau senantiasa muncul disuatu tempat dengan nama dan
maksud tertentu, hanya keberadaannya tidak menimbulkan pertanyaan bagi penghuni
sekitarnya dan bahkan sampai beliau moksa pun di tempat itu tidak pernah
ada yang mengetahui serta membicarakan siapa jati diri sebenarnya tokoh yang
memberi keturunan maupun membina kehidupan di wilayahnya. Begitulah.
Misterius,
memang itulah sifat dan perilaku Siliwangi.
Memang misi yang diembannya yaitu untuk membimbing kehidupan manusia dan
leluhur Pajajaran tersebut tidak pernah pilih kasih terhadap kepribadian
seseorang. Mungkin itulah yang menyebabkan beliau menjadi seorang tokoh yang
disegani. Makanya selama beliau melakukan pengembaraan tidak pernah
melakukan hal-hal yang menyakitkan hati orang apalagi sampai tega membunuh
karena menghilangkan jiwa merupakan hal yang tabu baginya. Sebab bagi Siliwangi menghilangkan jiwa seseorang
bukan hak manusia melainkan hak Sang Pencipta-Nya. Malah jika menemukan
pembunuh, maka beliaulah yang menghukum dengan memenjarakan di sebagian arah
barat Gunung Salak, di Ujung Kulon dan di pesisir wilayah Tangerang serta
ditempat lainnya. Dan hukuman itu bervariasi sesuai dengan tingkat kesalahan
hal ihwal terjadinya penghilangan jiwa.
Selama
Siliwangi melanglang buana tidak
pernah terjadi peperangan, beliau senantiasa menanamkan kedamaian bagi
siapapun. Memang beliau mengajarkan semua ilmu dunia maupun akhirat, tetapi
ilmu yang diajarkan seringkali disalahgunakan. Namun jika terjadi diluar
batasan, maka hukumanlah yang akan diterima oleh orang tersebut. Oleh karena
itu, beliau sangat melarang terhadap keturunannya tidak boleh membunuh namun
apabila keturunannya disakiti, maka leluhur Pajajaranlah yang akan bertindak.
Jika
ditelusuri bekas petilasannya, pada zaman Siliwangi
belum banyak manusia saat itu. Sebagaimana diulas terdahulu bahwa yang menjadi
hunian Siliwangi adalah gua-gua malah
ada yang hanya bebatuan besar saja. Walaupun hanya berupa gua, mungkin pada
zamannya merupakan kediaman yang nyaman. Salah satu bekas kediaman Siliwangi di Gunung Munara, di Gunung
Kapur Ciampea, di Gunung Padang Cianjur-Bandung atau di Gunung Geulis Bogor
memang sekarang hanya berserakan bebatuan besar saja, namun tidak mustahil
dahulu kala tertata rapih. Mungkin karena perubahan alam atau karena goncangan
Gunung Salak yang meletus pada tahun 1699 M sehingga merubah bentuk aslinya.
Lain
halnya dengan gua di Kuta Wesi, Kuta Maneuh atau di gua Pamijahan, nampak masih
bertahan kokoh. Sedangkan gua Salaka Domas di pinggiran setu Cipatahunan Bogor
sudah lenyap karena perubahan zaman ketika Belanda datang ke Indonesia
khususnya ke Bogor. Mungkin beralasan gua disana hilang, karena setu tersebut
oleh Belanda dialirkan untuk kebutuhan pertanian, sehingga sungai Ciliwung
tidak lagi mengairi setu tetapi mengalir layaknya sungai alam.
Hanya disayangkan khususnya gua Kuta Wesi dan
gua Kuta Maneuh tidak terawat baik. Padahal jika dipelihara akan menjadi tempat
wisata yang memiliki historis, sekaligus obyek tentang Siliwangi. Selain itu pula, leuhur Pajajaran sangat senang
berkebun. Sebagaimana dimaklumi bahwa Siliwangi
setiap muncul di suatu wilayah selalu membuat kolam dengan cara membendung
aliran-aliran selokan atau sungai. Selain itu pula, beliau senang bertani dan
berburu. Karena dari hasil itulah yang diharapkan akan menjadi penopang
bahan makan bagi kehidupan anak cucunya. Kebiasaan berburu burung maupun hewan
untuk makanannya, sedangkan kulit hewan disamak dijadikan penutup badan. Dan
kesukaan berburu tersebut, mendorong beliau membuat hutan larangan karena dalam
lingkup hutan itu disengaja agar berkembang biak hewan-hewan liar yang kelak
untuk diburunya pula.
Hutan
Larangan Majeti, nampak gelap dan terlihat cahaya misterius
Bertani
maupun berburu, alat yang digunakan dari batu yang dibuat runcing. Karena
bahan besi belum ada walaupun sebenarnya bahan besi terdapat di pegunungan
maupun beji besi dari pasir laut. Namun karena proses dan teknologi belum ada
sehingga hanya batu dan batulah yang menjadi alat maupun senjatanya.
Diperkirakan keberadaan lempengan besi ke Indonesia, diawali pada tahun 1864
ketika bangsa Belanda membuat rel jalan kereta api yang menghubungkan Semarang
dan Yogya. Atau mungkin saja pecahan besi telah ada sekitar tahun 1600 yang
berbarengan dengan kedatangan kongsi perdagangan Belanda di Asia (VOC). Jadi
pada tahun-tahun sebelumnya, dipastikan tidak ada yang namanya logam besi. Mungkin
dahulu yang dijadikan alat rumah tangga maupun senjata dari bahan besi alam
saja yang kekerasannya hampir menyamai besi.
Batu
Kedok, konon saksi alam zaman Sangkuriang dan Siliwangi
Membuat
hutan larangan merupakan kebiasaannya, semakin hutan lebat semakin diharapkan
akan banyak binatang buruan. Dengan demikian bahan makanan dari hasil perburuan
tidak terlalu susah, disamping itu pula sumber-sumber air tidak akan berkurang
sebab mereka juga amat memerlukan aliran air dari hutan itu untuk hajat
hidupnya. Adapun hutan larangan yang beliau pelihara dahulu antara lain ;
Salaka Domas Kebun Raja, Hutan larangan Cikekereteg, Pangguyangan Gunung
Halimun, Ujung Kulon Banten, Cikeusik Banten, Majeti, Manangel Cianjur, Pajajar
Majalengka, dan banyak lagi yang tersebar di nusantara ini sesuai dimana beliau
seringkali menetap.
Konon
dari hutan pula mereka sangat memerlukan daun-daunan untuk makan maupun untuk
keperluan obat-obatan. Dedaunan banyak yang mereka sukai untuk konsumsi
makanan, selain itu pun dari tanaman banyak dijadikan obat-obatan. Ternyata
kegunaan tanaman tersebut antara lain :
1. Untuk stamina ; pinang
muda, daun pace/mengkudu
2. Untuk panas dalam ; dadap
serep,
3. Untuk susah buang air besar
; daun jawer kotok
4. Untuk sakit perut
; daun rasamala
5. Untuk bengek ; daun
kecubung
6. Untuk perawatan kandungan
wanita : daun kemboja, delima atau nanas buaya
7. Untuk perawatan tubuh
wanita ; daun jati, dadap
8. Untuk amis daging /
diabetes ; daun salam, buah jamblang
9. Untuk muntaber ; daun jambu
batu, kunyit,
10. Untuk melancarkan asi ; daun katuk
11. Untuk panas dalam anak ; air dari honje
12. Untuk pembersih mata ; air dari bunga pacing atau
air pada buku bambu
13. Untuk menguras perut ; daun waru
14. Untuk melancarkan melahirkan ; daun wera atau daun
waru
Dan banyak lagi dedaunan atau
buah-buahan dari hutan larangan yang dijadikan sebagai bahan pengobatan maupun
dimakan sehari-hari. Tentunya tanaman tersebut dibuat sedemikian rupa untuk
memudahkan dicerna. Namun dari uraian tersebut diatas, paling mengesankan
ternyata Karuhun Siliwangi merupakan
nenek moyang yang yang handal bukan hanya pengembara sejati dan menyebarkan anak
keturunan saja, tetapi juga pertama yang menggagas lingkungan hidup.
Sungguh sangat luar biasa.