Gua Kutawesi, konon sebagai "kaputren" Siliwangi
Disana
hanya terdapat bebatuan karang yang tidak beraturan dan terkesan alamlah yang
membentuk bebatuan berserakan. Namun yang menarik, disana terdapat batu karang
yang menjulang tinggi. Jika diamati dengan seksama, batu yang menjulang
tersebut akan nampak seperti Menara. Dari kejauhan Menara tersebut seperti
menara yang melambang sebuah mesjid atau suatu tempat adzan pada saat memanggil
beribadat kaum muslimin. Batu menara itulah yang kelak menjadi ciri khas
sehingga masyarakat sekitar menamakan gunung itu dengan nama Gunung Munara.
Terkesan Islami, padahal semasa itu belum ada agama Islam.
Tidak
jauh dari itu ada pula karang yang berlubang datar, seolah-olah
sebuah gua dan banyak lagi karang yang menjorok semacam tempat berteduh. Konon
tempat semacam itulah yang menjadi tempat tinggal para leluhur manusia dulu
yang kelak bergelar Siliwangi. Peradaban manusia yang belum maju mendesak
penghuni Gunung Munara, mencari akal yaitu dengan cara membuat gua atau
sela-sela batu yang dibuat berteduh senyaman mungkin. Keterbatasan itulah yang
dicari solusinya dan mungkin juga untuk menghindari dari keganasan alam
terutama dari serangan binatang buas.
Sosok
leluhur yang tengah dibahas ini adalah kakek-nenek Siliwangi yang memiliki
“kekasih” Sangiang Agung Batara Agung dan Gilang Kencana Wungu.
Sebelumnya makanan pokok mereka selalu dedaunan dan binatang, tetapi setelah
itu mulai menyukai makanan tambahan sejenis umbi-umbian, kacang-kacangan,
hanjeli, gandum, jagung, dan akhirnya padi. Oleh karena itulah, masa-masa
kehidupan “Ibu” yang bernama Gilang Kencana Wungu sehari-harinya disebut Ambu,
juga dikenal oleh anak cucunya dengan sebutan Sri Pohaci oleh anak keturunannya
karena membiasakan mengkonsumsi padi yang diolah menjadi beras.
Sejak itulah anak keturunan Pajajaran menyukai
padi dan sebutan nama Sri Pohaci bagi keturunannya berlanjut terus. Sehingga
secara khusus mereka sampai kini terhadap Sri Pohaci amat menghormati, sebab
leluhur Pajajaran tersebut terkesan nama lain dari padi. Oleh karena itu, jika
memasuki lumbung padi mereka membudayakan adab hormat yang diyakini seolah
tempat padi masih diayomi Sri Pohaci.Dalkon
Kembali
ke pengembaraan leluhur Pajajaran, setelah beberapa lama menetap di Rumpin,
salah satu keturunannya berpindah ke Gunung Ciampea. Sedangkan Rumpin hanya
didiami oleh Sangiang Nata Boga. Didaerah Ciampea, mereka memulai membuat
semacam patung. Walaupun arca yang mereka bentuk tidak begitu
bagus, mungkin karena kebudayaan mereka yang belum begitu maju dan terampil.
Namun upaya itu menunjukkan bahwa patung yang dibuat hanya untuk sekedar
mengenang jejak leluhur semata bahwa disitulah petilasan keluarga. Disana,
terdapat patung yang berjumlah 2, 3, 4 dan 5. Namun sayang pada tahun
1974, gunung tersebut terkena penambangan kapur, sehingga kedudukan patung
dipindah ke Pasir Angin Leuwiliang dan bentuknya juga telah mengalami kerusakan
sehingga tidak seutuh bentuk aslinya lagi.
Masih
disekitar Ciampea pula, tulisan yang pertama dibuat Siliwangi terdapat ditepian
pertemuan air sungai Ciareuteun dengan sungai Cisadane. Goresan tersebut
belum membentuk huruf hanya berupa lika-liku berikal yang dikenal dengan hurup
bunga. Entah maknanya apa, tetapi kemungkinan tulisan tersebut dibuat
pada saat mereka tengah emosi atau mungkin kasmaran. Karena terlihat sekali,
lekuk garisnya kasar, tetapi jika emosi kasmaran juga wajarlah, sebab mereka
sangat menyukai suasana ditepian sungai sebagai tempat berkencan memadu kasih.
Selanjutnya,
pengembaraan dan penyebaran keluarga tersebut juga sempat singgah di Panyaungan
Pasir Jambu. Disana juga beliau menyiratkan goresan tulisan pada batu serta
memperkenalkan dirinya dengan nama Sangiang Sangkala Gotama. Namun
rupanya di Jasinga inipun tidak menetap lama, dan kemudian bergerak ke arah
timur tepatnya di Salaka Domas yang kelak bernama Kebun Raya. Di tempat yang
baru ini semakin banyak keturunannya, mungkin daerah baru tersebut lebih cocok
dan mendukung ditempati karena terdapat hamparan segara yang mereka
namakan Cipatuhunan.
Cipatahunan
ini bagaikan sebuah danau atau situ. Sedangkan Cipatahunan dialiri sungai
Ciliwung dan hulunya dimulai dari Sukasari yang dikenal dengan nama Leuwi
(lubuk) Cempaka. Leuwi Cipatahunan membentang dari Sukasari belakang Balai
Binarum, Pulo Asem, Pulo Geulis, Sempur, Bantarjati dan berujung di
jembatan Situ Duit Warung Jambu. Pemeliharaan Leuwi Cipatahunan dipercayakan
kepada Mbah Dato dan khusus di Leuwi Cempaka dan Leuwi Jiman kepada Mbah Sibli
Amsori.
Ketika
tinggal di tepian Cipatahunan ini tokoh yang Sangiang Sangkala Gotama,
memperkenalkan dirinya dengan panggilan baru lagi yaitu Sangiang Sri Nalendra.
Oleh karena itu beliau membuat prasasti yang berdampingan dengan Banteng Lilin
Suku Gading. Sementara saudara-saudaranya sebagian tinggal di Cibedug mayak
yang terletak dilembah Gunung Geulis. Gunung itu dinamakan geulis karena
telahan tempat yang didiami oleh Sangiang Dayang Sumbi. Sangiang Dayang Sumbi
sendiri mempunyai putra antara lain : Joko Dolok, dan Bandung Bondowoso serta
Boko yang kelak dirajakan di sekitar daerah Kedu.
Setelah Sri Nalendra diwastu
di kampung Lemah Duhur, namanya berganti lagi menjadi Sri Baduga Disana
beliau juga membuat prasasti untuk anak keturunannya yang dikenal dengan nama
Prasasti Batutulis. Batutulis merupakan salah satu tempat yang disukai
dijadikan tempat musyawarah para leluhur. Di Kampung Lemah Duhur inilah leluhur
Pajajaran sering bercengkrama diantaranya : Sangiang Lodaya Sakti, Sangiang Ki
Ajar Padang, Mbah Eyang Buyut Wali Haji Sakti Mangkurat Jagat, serta Sangiang
Batara Guru sebagai Pinisepuh Pajajarannya.
Situs
Cengkuk berada pada tahun 187 SM
Pada
tahun Saka 187 Sebelum Masehi, salah seorang anak Sangiang Gilang Kencana
Wungu, yaitu Sri Dewi Penutup dan keluarganya membuka lahan baru yaitu di
Cengkuk. Jauh sebelum masa di tempat baru ini, diantara mereka sudah
sering terjadi melakukan perkawinan antara saudara. Dan di Cengkuk pun
mereka menjalin perkawinan antara saudara para putra-putri Sri Dewi Penutup
yang berjumlah 47 orang.
Cengkuk merupakan hamparan bebatuan yang luasnya
sekitar 1 Ha dan terletak di lembah Gunung Lawang sekitar kawasan Gunung
Halimun. Disana terdapat batu berukuran besar yang menancap menjulang dan
setinggi 4,85 m dan ditopang disekelilingnya dengan bebatuan berbagai macam
bentuk. Menuruni ke arah bawah sejauh kurang lebih 30 m terdapat batu berbentuk
seperti meja. Malah terdapat juga batu dalkon, batu yang berlubang kiri kanan
berjumlah 8 buah dan 2 lubang masing-masing diujungnya, sebagaimana layaknya
batu congklak (suatu permainan rakyat dahulu). Dan diantara batu-batu yang
menghampar, terdapat 2 batu yang berbentuk westavel serta banyak lagi batu
dengan bentuk lainnya. Bahkan terdapat batu dengan goresan yang melambangkan
persegi empat dan tiga. Sekilas nampak seperti gambar tiara yang sering
dipergunakan raja atau ratu.
Batu
yang menyerupai wastafel
Sebagaimana
diungkapkan oleh leluhur Pajajaran, bahwa diantara keturunan Sri Dewi Penutup
yang berkulit putih dan yang berkulit hitam di bagi untuk daerah
pengembaraannya. Orang tua mereka menganjurkan anak-anaknya yang berkulit putih
agar mengembara ke arah timur, sedangkan yang berkulit hitam ke arah barat.
Ternyata keturunan Sri Dewi Panutup yang berkulit putih diantaranya ; Hariang
Banga, Hayam Wuruk, Tunggul Ametung, Boko dan Gajah Mada serta Joko
Merkolo/Joko Dolok. Pengembaraan mereka menetap di daerah Salam Magelang,
kemudian ke atas Gunung Dieng di sekitar Telaga Warna. Selanjutnya ke Sendang
Jumprit dan Boko. Seterusnya ke Gunung Lawu, kemudian ke Butuh sekitar
Kediri. Bahkan dikawasan Tengger mereka lebih lama menetap sebab
diwilayah itu mereka bersepakat menentukan pembagian daerah kekuasaan dengan
warna merah dan hijau diantara keturunan Pajajaran.
Sedangkan
pengembaraan ke wilayah barat, di awali oleh Pucuk Umun. Beliau salah seorang
keluarga adik misan Sri Baduga, ke Pahit Lidah sekitar Tulang Bawang. Kemudian
ke Pagaruyung, ke Nias, ke Pulau Samosir, ke Pulau Natuna, bahkan ke Kota Baru
Banjarmasin. Sri Baduga sendiri, ketika masih usia muda banyak menghabiskan
waktu di Pagaruyung sehingga ditempat itu dikenal dengan nama Adityawarman.
Selain itu Sri Baduga juga dalam pengembaraan diusia remaja, sempat menetap di
Kutai Kartanegara dengan nama Mulawarman. Banyak tempat beliau singgahi lagi,
seperti Tomohon, Danau Merah maupun Kelimutu.
Tetapi yang ingin disimak disini bukan suatu cara penjelajahan Sri Baduga
ke seantero Nusantara, hanya sikapnya tidak selalu memaksanakan kehendak
sehingga anak keturunannya dalam menganut ajaran kepercayaan di
tiap-tiap tempat tidak dipaksakan dengan dogmanya. Sebagaimana dimaklumi bahwa
Siliwangi dalam agemannya selalu menghormati tempat yang baru diinjaknya dan
selalu menjunjung tinggi harkat martabat setiap manusia. Dimana setiap tanah
dan tempat berlainan zat dan pengaruh bagi kehidupan manusia. Di sisi lainnya,
leluhur Siliwangi telah menyadari kemunculan setiap Rasul sebagai pengayom
manusia merupakan keputusan Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam. Oleh karena itu,
nampaknya Siliwangi menyadari bahwa perjalanan waktu dan perputaran dunia
dengan peradabannya bakal muncul ajaran dan kepercayaan manusia terhadap Tuhan-Nya.
Oleh sebab itu, Sri Baduga membiarkan ketika
salah seorang cucunya “Tolabul
ilmi” belajar ilmu agama Islam ke jazirah Arab bahkan dikemudian hari
dinikahi putra mahkota petinggi dari Arab. Selain itu pun, ketika Sri Baduga
jumeneng Batu Bertulis di Lemah Duhur sudah diberi julukan kiasan ‘ Syaiful haq bil goib”. Jika
diterjemahkan kira-kira “Setajam (ilmu) dari goib”. Sedangkan kawasan
Gunung Cupu juga di beri sebutan “Likuli
amrin wal hidayati” yang diartikan “setiap perbuatan akan ada petunjuk”. Area
makam Sangiang Adi Sakti atau Ciung Wanara, diberi nama : “ Latadinuhum wal goib” dan makam Puspa
Raja di Cikembar dengan julukan :” Jurumiyah
qolbu mujarobat”. Di lain tempat seperti di Tengger, lain pula tata cara
penyembahannya terhadap Sanghiyang Widi sebagaimana tata cara di Bali dan sama
halnya dengan di daerah Baduy Banten. Bahkan keturunan dari Bogor, Cirebon
maupun Banten lebih banyak menjadi pengikut ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Dan
malahan banyak kerabat dan anak keturunannya yang kelak menjadi penganut
non muslim, terutama yang mengembara ke Belanda, Rumania, Muldova, Brazilia,
Mongolia, Thailand, Kamboja maupun Jepang dan lain-lain.
Hindu Tengger
Memang
sungguh arif bijaksana, Siliwangi beserta keturunannya tidak memaksakan dogma
terhadap ageman yang harus diikuti. Dan kebebasan tersebut senantiasa
diserahkan mutlak kepada anak keturunannya. Hanya satu hal yang harus menjadi
pegangan seumur hidup bagi keturunannya yaitu tidak boleh membunuh,
apalagi mengatasnamakan agama. Karena cara menghilangkan jiwa seseorang
menjadi hak mutlak Pencipta-Nya. Dan Siliwangi sekali lagi sangat menghormati
harkat martabat manusia sebab di hadapan Pencipta-Nya manusia sama yang
membedakan adalah ketaqwaan.
Semoga
catatan ini bermanfaat dan sumbangsih bagi kerukunan hidup antar agama
khususnya di tanah air tercinta ini agar senantiasa saling menghormati terhadap
sesama manusia yang sudah memeluk kepercayaan dan agama masing-masing.