KARUHUN SILIWANGI PENGGAGAS LINGKUNGAN HIDUP

Sebagaimana telah disinggung dalam Perjalanan Pajajaran Siliwangi, bahwa Komunitas Siliwangi sangat menyenangi tanah dataran yang dekat dengan sungai, karena sungai menjadi tempat ikan yang menjadi makanan pokoknya. Namun ketika menelusuri sungai, sebersit rahasia kisah Siliwangi terungkap. Sebab ternyata Siliwangi menyukai sungai bukan hanya mengandalkan makanan ikan saja, tetapi juga ternyata sungai menjadi tempat yang amat disenangi. Aliran sungai yang jernih dengan sedikit riak air terjun, dibawahnya membentuk kubangan bagai kolam renang. Tempat semacam itulah mengundang leluhur sering mengunjunginya karena kesukaan tempat itulah yang ideal memadu kasih sekaligus menjadi tempat persalinan atau melahirkan dalam genangan air sungai. Hal itu dilakukan tentu memiliki resep tersendiri, tetapi jika anda mau mencoba tidak ada salahnya. Sebab apa yang telah dilakukan para leluhur dipastikan sebagai bahan pelajaran bagi anak keturunannya.

Batu Kanjut Kolot ditepi sungai

Pertama pelajaran batu dan batu yang selalu ditemui, karena memang itulah harta peninggalan leluhur. Batu yang kita kenal merupakan benda keras yang tidak berubah usik maliknya batu tetap menjadi benda padat dan keras. Oleh karena itu kiranya wajar jika Siliwangi meninggalkan jejaknya yang ditandai dengan batu, karena batu bisa bertahan lama dan tidak berubah jika tidak diusik oleh manusia. Siliwangi menyiratkan tulisan pada batu, dan batu pula yang dijadikan tanda tempat-tempat yang pernah disinggahinya. Batu selain ditandai dengan tulisan, juga ditandai dengan tapak kaki atau tapak tangan. Batu sebagai saksi alam, selain matahari, bumi, angin dan air menjadi tumpuan dan tempaan hidup Siliwangi. Oleh karena itu, keterikatan dengan alam oleh Siliwangi dijadikan nama panggilan antara lain ; Sangiang Tapak, Sangiang Kilat Buana, Sangiang Gentar Bumi, Sangiang Sapu Jagat. Sedangkan pada batu tulisannya juga memiliki ciri khas, yaitu kadang pada tulisannya  dibagian atas diberi gambar matahari. Gambar itu menandakan bahwa matahari merupakan saksi alam yang senantiasa memberikan wahyu kepada setiap ummat manusia yang dikehendaki. Namun sayang gambar matahari pada tulisan-tulisan karuhun tersebut ada yang  hampir tidak nampak lagi terlihat akibat tangan-tangan jahil manusia maupun usang tergerus perubahan zaman.

            Oleh sebab itulah karena Siliwangi hidup pada zaman sebelum masehi maka tidak meninggalkan jejak foto, sedangkan foto  baru diciptakan oleh bangsa Prancis yang bernama Niepce pada tahun 1816 Masehi dan dilanjutkan dengan pembuatan kamera pada Tahun 1822 Masehi. Sehingga dengan demikian Tokoh Siliwangi tidak dapat digambarkan secara visual maupun berupa ukiran patung karena kehidupan Siliwangi sebelum ada teknologi foto. Karena itulah, tempat-tempat yang pernah disinggahi Siliwangi hanya menyisakan berupa batu atau tulisan dipermukaan batu.

Nenek moyang dari Pajajaran inipun, tidak berbusana layaknya manusia sekarang. Pada zaman itu untuk menutup badannya belum ada kain, hanya pelepah daun pinang atau kulit harimau yang dibuat sederhana saja. Untuk perempuan juga tidak jauh berbeda, dari bahan kulit harimau atau pelepah pinang juga untuk menutupi aurat dan buah khuldinya.

Siliwangi adalah seorang pengembara, beliau selalu berpindah-pindah tempat tinggal. Mungkin hanya di Lemah Duhur Bogor beliau lama menetap karena alasan orang tuanya disana. Siliwangi sebutan gelar yang diberikan oleh leluhurnya, belajar dari alam yang dibarengi dengan wahyu nur cahaya matahari mampu mengelana jagat raya. Walaupun kapal udara yang baru diciptakan pada tahun 1852 M oleh Giffard bangsa Prancis, tetapi Siliwangi sebelum ada kapal udara telah menempuh wilayah yang jauh dari tanah kelahirannya yaitu Bogor. Menurut catatan orang tua seperti yang ditulis dalam Mengulas Tulisan Karuhun, Siliwangi pernah mengembara dan menetap di Danau Kelimutu Ende, di Danau Merah Irian, di Sulawesi, di Kutai dan di Banjarmasin Kalimantan, di Tapak Tuan Aceh, di Pagaruyung, di Batu loncat Nias, dan banyak lagi bahkan ke wilayah yang sekarang menjadi negara tetangga Indonesia yaitu Thailand, Kamboja, Vietnam dan Negara lainnya.  

Menjadi pertanyaan besar dengan apakah Siliwangi bisa sampai merambah kesana sedangkan pada saat itu tidak ada alat transportasi ?. Namun perjalanan Siliwangi kemanapun yang disukai dengan mudah dijangkau, beliau bisa melesat bagaikan kilat, karena itulah Siliwangi juga memiliki nama Sangiang Kilat Buana salah seorang yang dianugerahi oleh Allah SWT ilmu “Saefi”. Konon ilmu tersebut bisa seseorang layaknya terbang melayang-layang. Wallahu alam.

Oleh karena itu, Siliwangi bukan manusia sembarangan seperti layaknya kehidupan manusia sekarang. Ia merupakan nenek moyang dan tokoh cikal bakal manusia di Pajajaran. Sebagaimana dimaklumi bahwa alam pada saat itu masih dalam suasana kegelapan terutama sudut pandang teknologi, sehingga segala sesuatu untuk melangsungkan kehidupannya perlu menciptakan sendiri. Dari wahyu nur cahya matahari itulah Siliwangi diberikan kelebihan berpikir dan banyak belajar dari alam sekitarnya yang disebut Mikrob Qolbu. Malahan leluhurnya saat belajar dari alam, senantiasa memperhatikan sifat-sifat binatang seperti ; kera, harimau atau banteng dan binatang lainnya. Dari binatang itulah suatu petunjuk  dapat diperoleh, misalnya jika binatang itu suka memakan dedaunan atau buah-buahan tertentu maupun makanan lainnya, maka disimpulkan bisa dimakan juga oleh manusia. Itulah pelajaran awal dari alam.  Selain itupun matahari, bumi, air dan udara atau angin menjadi tumpuan dan tempaan kehidupannya sehingga kelak banyak mengilhami cara berpikir para leluhur Pajajaran.

Kondisi alam yang dipenuhi pepohonan besar, menjadikan permukaan bumi lembab. Air menggenangi setiap tanah landai, daratan bukit dan lembah, sehingga pada saat itu banyak semacam danau. Oleh karena itu, petilasan leluhur Pajajaran lebih banyak berada di tanah dataran atas. Disamping karena alasan genangan air, ternyata tempat yang dipilih juga untuk menghindari serangan binatang buas. Namun prioritas yang dipilih kemungkinan untuk lebih khusu bersemedi pada dataran tanah yang berada diatas dan tidak terjangkau genangan air. Adapun petilasan Siliwangi yang berada di daratan atas khususnya  yang ada di wilayah Bogor antara lain ; di Gunung Munara, Gunung Kapur Ciampea,  di Batutulis Lemah Duhur, di Salaka Domas Kebun Raja, Gunung Geulis, Kuta Wesi Gunung Guruh maupun Kuta Maneuh dan Manangel maupun di Gunung Gede, Gunung Salak serta Gunung Halimun. Kawasan tersebut dibawahnya merupakan tempat aliran air dan atau genangan air yang menyerupai danau atau setu atau segara.

Sebagaimana dimaklumi, bahwa pada setiap aliran air selalu hidup ikan. Makanya ikan merupakan makanan favorit para leluhur Pajajaran, hanya ikan mas dan ikan gurame saja yang tidak pernah mau dikonsumsi, entah kenapa. Jadi yang dimakan hanya  ikan selain ikan mas dan gurame saja. Manakala ikan telah diperoleh, mereka masak ala kadarnya di tempat-tempat yang memiliki panas bumi atau sekitarnya terdapat kawah berapi seperti ; di Ciseeng, di Gunung Pancar, di Cipanas Pelabuhan Ratu.

Salah satu tulisan Sangkakala pada batu

Kurun waktu Siliwangi hidup di nusantara ini, kebudayaan belum maju berkembang. Oleh karena itu,  menulis pun diatas batu dan  dengan huruf Sangkakala yang memiliki keunikan tersendiri. Disamping itu, apabila Pajajaran sudah maju kebudayaannya, tentu Siliwangi akan menulis pada kulit atau kertas walaupun dengan huruf yang berlaku pada masa itu. Sedangkan kertas baru diproduksi secara konvensional pada tahun 1809 oleh Dickinson orang Amerika dan pulpen pun baru ada tahun 1884 hasil ciptaan Waterman yang juga berkebangsaan Amerika.  Maka wajar tulisan karuhun pada batu dan batulah, sehingga tulisan maupun  dan zamannya Siliwangi wajar disetarakan dengan zaman batu. Disamping tulisan batu, ada pula sebagai tanda petilasannya berupa onggokan batu.  Malah bebatuan petilasannya yang masih ada hingga sekarang memiliki nama tersendiri, seperti ; Batu Kedok, Batu Leuit, Batu Kasur, Batu Dongdang, Batu lesung, Batu Karut, Batu Gada, Batu Yoni, Batu Putih dan lain-lain malah ada yang unik dengan nama Batu Kanjut Kolot.

Gua Kutawesi, konon sebagai "kaputren" Siliwangi

Salah satu tempat persinggahan terakhir Siliwangi yaitu di Cikembar Sukabumi dan tempat terakhir itu bukan lantas disana menjadi akhir hayatnya, melainkan akhir dari perjalanan pengembaraannya. Siliwangi yang memiliki nama pituin Pancawala tersebut, selalu berpindah-pindah tempat dan selalu dibarengi dengan berganti nama sebutan ataupun panggilan.  Ternyata kebiasaan itu untuk kepentingan yang berbeda pula.  Padahal beliau senantiasa muncul disuatu tempat dengan nama dan maksud tertentu, hanya keberadaannya tidak menimbulkan pertanyaan bagi penghuni sekitarnya dan bahkan sampai beliau moksa  pun di tempat itu tidak pernah ada yang mengetahui serta membicarakan siapa jati diri sebenarnya tokoh yang memberi keturunan maupun membina kehidupan di wilayahnya. Begitulah.

Misterius, memang itulah sifat dan perilaku Siliwangi. Memang misi yang diembannya yaitu untuk membimbing kehidupan manusia dan leluhur Pajajaran tersebut tidak pernah pilih kasih terhadap kepribadian seseorang. Mungkin itulah yang menyebabkan beliau menjadi seorang tokoh yang disegani.  Makanya selama beliau melakukan pengembaraan tidak pernah melakukan hal-hal yang menyakitkan hati orang apalagi sampai tega membunuh karena menghilangkan jiwa merupakan hal yang tabu baginya. Sebab bagi Siliwangi menghilangkan jiwa seseorang bukan hak manusia melainkan hak Sang Pencipta-Nya. Malah jika menemukan pembunuh, maka beliaulah yang menghukum dengan memenjarakan di sebagian arah barat Gunung Salak, di Ujung Kulon dan di pesisir wilayah Tangerang serta ditempat lainnya. Dan hukuman itu bervariasi sesuai dengan tingkat kesalahan hal ihwal terjadinya penghilangan jiwa.

Selama Siliwangi melanglang buana tidak pernah terjadi peperangan, beliau senantiasa menanamkan kedamaian bagi siapapun. Memang beliau mengajarkan semua ilmu dunia maupun akhirat, tetapi ilmu yang diajarkan seringkali disalahgunakan. Namun jika terjadi diluar batasan, maka hukumanlah yang akan diterima oleh orang tersebut. Oleh karena itu, beliau sangat melarang terhadap keturunannya tidak boleh membunuh namun apabila keturunannya disakiti, maka leluhur Pajajaranlah yang akan bertindak.   

Jika ditelusuri bekas petilasannya, pada zaman Siliwangi belum banyak manusia saat itu. Sebagaimana diulas terdahulu bahwa yang menjadi hunian Siliwangi adalah gua-gua malah ada yang hanya bebatuan besar saja. Walaupun hanya berupa gua, mungkin pada zamannya merupakan kediaman yang nyaman. Salah satu bekas kediaman Siliwangi di Gunung Munara, di Gunung Kapur Ciampea, di Gunung Padang Cianjur-Bandung atau di Gunung Geulis Bogor memang sekarang hanya berserakan bebatuan besar saja, namun tidak mustahil dahulu kala tertata rapih. Mungkin karena perubahan alam atau karena goncangan Gunung Salak yang meletus pada tahun 1699 M sehingga merubah bentuk aslinya.

Lain halnya dengan gua di Kuta Wesi, Kuta Maneuh atau di gua Pamijahan, nampak masih bertahan kokoh. Sedangkan gua Salaka Domas di pinggiran setu Cipatahunan Bogor sudah lenyap karena perubahan zaman ketika Belanda datang ke Indonesia khususnya ke Bogor. Mungkin beralasan gua disana hilang, karena setu tersebut oleh Belanda dialirkan untuk kebutuhan pertanian, sehingga sungai Ciliwung tidak lagi mengairi setu tetapi mengalir layaknya sungai alam.

Hanya disayangkan khususnya gua Kuta Wesi dan gua Kuta Maneuh tidak terawat baik. Padahal jika dipelihara akan menjadi tempat wisata yang memiliki historis, sekaligus obyek tentang Siliwangi. Selain itu pula, leuhur Pajajaran sangat senang berkebun. Sebagaimana dimaklumi bahwa Siliwangi setiap muncul di suatu wilayah selalu membuat kolam dengan cara membendung aliran-aliran selokan atau sungai. Selain itu pula, beliau senang bertani dan berburu.  Karena dari hasil itulah yang diharapkan akan menjadi penopang bahan makan bagi kehidupan anak cucunya. Kebiasaan berburu burung maupun hewan untuk makanannya, sedangkan kulit hewan disamak dijadikan penutup badan. Dan kesukaan berburu tersebut, mendorong beliau membuat hutan larangan karena dalam lingkup hutan itu disengaja agar berkembang biak hewan-hewan liar yang kelak untuk diburunya pula.

Hutan Larangan Majeti, nampak gelap dan terlihat cahaya misterius

Bertani maupun berburu, alat yang digunakan  dari batu yang dibuat runcing. Karena bahan besi belum ada walaupun sebenarnya bahan besi terdapat di pegunungan maupun beji besi dari pasir laut. Namun karena proses dan teknologi belum ada sehingga hanya batu dan batulah yang menjadi alat maupun senjatanya. Diperkirakan keberadaan lempengan besi ke Indonesia, diawali pada tahun 1864 ketika bangsa Belanda membuat rel jalan kereta api yang menghubungkan Semarang dan Yogya. Atau mungkin saja pecahan besi telah ada sekitar tahun 1600 yang berbarengan dengan kedatangan kongsi perdagangan Belanda di Asia (VOC). Jadi pada tahun-tahun sebelumnya, dipastikan tidak ada yang namanya logam besi. Mungkin dahulu yang dijadikan alat rumah tangga maupun senjata dari bahan besi alam saja yang kekerasannya hampir menyamai besi.


Batu Kedok, konon saksi alam zaman Sangkuriang dan Siliwangi
Membuat hutan larangan merupakan kebiasaannya, semakin hutan lebat semakin diharapkan akan banyak binatang buruan. Dengan demikian bahan makanan dari hasil perburuan tidak terlalu susah, disamping itu pula sumber-sumber air tidak akan berkurang sebab mereka juga amat memerlukan aliran air dari hutan itu untuk hajat hidupnya. Adapun hutan larangan yang beliau pelihara dahulu antara lain ; Salaka Domas Kebun Raja, Hutan larangan Cikekereteg, Pangguyangan Gunung Halimun, Ujung Kulon Banten, Cikeusik Banten, Majeti, Manangel Cianjur, Pajajar Majalengka, dan banyak lagi yang tersebar di nusantara ini sesuai dimana beliau seringkali menetap.

Konon dari hutan pula mereka sangat memerlukan daun-daunan untuk makan maupun untuk keperluan obat-obatan.  Dedaunan banyak yang mereka sukai untuk konsumsi makanan, selain itu pun dari tanaman banyak dijadikan obat-obatan. Ternyata kegunaan tanaman tersebut antara lain :
1.      Untuk stamina ; pinang muda, daun pace/mengkudu
2.      Untuk panas dalam ; dadap serep,
3.      Untuk susah buang air besar ; daun jawer kotok
4.      Untuk sakit perut  ;  daun rasamala
5.      Untuk bengek ; daun kecubung
6.      Untuk perawatan kandungan wanita : daun kemboja, delima atau nanas buaya
7.      Untuk perawatan tubuh wanita ; daun jati, dadap
8.      Untuk amis daging / diabetes ; daun salam, buah jamblang
9.      Untuk muntaber ; daun jambu batu, kunyit,
10.  Untuk melancarkan asi ; daun katuk
11.  Untuk panas dalam anak ; air dari honje
12.  Untuk pembersih mata ; air dari bunga pacing atau air pada buku bambu
13.  Untuk menguras perut ; daun waru
14.  Untuk melancarkan melahirkan ; daun wera atau daun waru 

Dan banyak lagi dedaunan atau buah-buahan dari hutan larangan yang dijadikan sebagai bahan pengobatan maupun dimakan sehari-hari. Tentunya tanaman tersebut dibuat sedemikian rupa untuk memudahkan dicerna. Namun dari uraian tersebut diatas, paling mengesankan ternyata Karuhun Siliwangi merupakan nenek moyang yang yang handal bukan hanya pengembara sejati dan menyebarkan anak keturunan saja, tetapi juga pertama yang menggagas lingkungan hidup.  Sungguh sangat luar biasa.
Baca Selengkapnya

Siliwangi Pelestari Lingkungan Hidup


Tulisan mengenai alam maupun lingkungan hidup ini disimak lagi untuk melengkapi tulisan terdahulu yang berjudul “Karuhun Siliwangi Penggagas Lingkungan Hidup” dan “Mengkaji Manusia dengan Alam”. Diharapkan dengan tulisan ini akan menambah wawasan khususnya penulis dalam upaya lebih memperteguh kecintaan terhadap alam. Catatan ini, terinspirasi tatkala Tim Perjalanan Pajajaran Siliwangi menelusuri jejak menuju Situs Cengkuk yang berada dikaki Gunung Lawang daerah kawasan sekitar Gunung Halimun Sukabumi Jawa Barat. Semoga dengan catatan mengenai alam jagat raya ini bermanfaat bagi siapapun, wabil khusus untuk putra-putraku yang tersayang.


 Situs Cengkuk berada pada tahun 187 SM

Sejatinya, manusia hidup tetap menghendaki ketergantungan terhadap alam dan alam memang menjadi kebutuhan mutlak manusia karena sebagaimana dimaklumi bahwa sumber kehidupan manusia didominasi dari zat alam atau unsur alam antara lain ; air, udara, sinar matahari, zat bumi yang hidup melalui tumbuhan yang dibutuhkan yaitu padi, buah, umbi-umbian dan sereal serta bagian lainnya dari tumbuhan. Bahkan mungkin banyak tanaman yang seutuhnya menjadi konsumsi manusia. Manusia bisa dikatagorikan rakus dan bisa juga dikatakan kodratnya ketergantungan hidup melahap tumbuhan ?

Nun jauh diatas sana, sinar surya dengan terik dan terang benderang menyaksikan laku lampah manusia. Tanpa disadari bahwa yang menerangi alam setiap hari merupakan saksi alam yang rela tanpa berkeluh kesah memancarkan sinarnya. Padahal tanpa cahaya matahari tersebut mungkin kondisi didunia ini gelap gulita tanpa ada kehidupan, benarkah demikian ?. Tentu saja karena ternyata manusia tanpa cahaya tersebut, tidak akan hidup karena dari sinar itulah segala sumber kehidupan manusia.

Apabila diamati dari sinar nurcahya tersebut, akan nampak bermacam-macam warna. Ternyata matahari mengeluarkan berupa zat warna hijau, kuning, merah, ungu, putih, biru, orange dan terdapat warna pink. Warna warni tersebut yang telah dipancarkan  ke hamparan alam,  menjadikan tumbuhan atau pepohonan berpengaruh terhadap warna daun, bunga, kulit pohon  maupun bentuk tanaman. Jika diperhatikan dengan seksama, nampak warna sinar surya mendominasi tumbuhan yang warna bunga, dedaunan, batang pohon maupun ranting walau kadang terdapat juga warna yang kombinasi. Itulah kekuatan sang surya padahal jutaan kilometer jarak bumi dan matahari. Tetapi sungguh menakjubkan kekuatannya dapat dirasakan dan dilihat pengaruhnya sangat besar bagi kehidupan makhluk dibumi.

Alang-alang bukan penghalang perjalanan

Sebaliknya bumi juga sebagai saksi alam, seolah menyambut kehangatan matahari dengan mengeluarkan zatnya berupa aneka tumbuhan yang dikodratkan sesuai kehendak Pencipta-Nya.  Sehingga terkesan antara  matahari yang nun jauh disana dengan hamparan bumi seolah-olah terdapat koordinasi yang terjalin baik. Maka dari atas jagat raya ini tumbuh pepohonan beraneka macam bentuk, jenis dan rumpunya serta terlihat warna dominan yang dikeluarkan sinar matahari. Ragam corak tumbuhan  terlihatlah oleh kasat mata berwarna-warni yang sesuai dari zat sinar matahari yaitu; warna hijau, kuning, merah, ungu, putih, biru, orange dan pink. Tujuh warna tersebut, melambangkan dengan jumlah tujuh edaran waktu bumi berevolusi selama hampir 24 jam yang diciptakan Allah SWT dan diberi nama oleh manusia sebagai penghuni alam dengan sebutan hari ; Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu.

Keharmonisan saksi kehidupan manusia disertai pula oleh air. Dengan kekuatan matahari pula zat air diserap ke atas. Kemudian setelah air menggumpal, didorong oleh kekuatan angin, setelah itu maka hancurlah gumpalan mega menjadi cairan hujan. Dengan kesejukan air dan kehangatan matahari, seluruh embrio yang berada dihamparan bumi, tumbuhlah sesuai kehendak-Nya. Apabila manusia sengaja menanam atau sekalipun tidak sengaja tetap alam menyediakan tumbuhan bagi manusia. Namun entahlah manusia memanfaatkan pepohonan untuk apa, tetapi selama ini akal manusia memanfaatkan tumbuhan diantaranya :

1. Memanfaatkan bunga 
Untuk penyejuk pemandangan mata. Keindahan bunga banyak dipuja, dihirup harumnya. Bahkan digunakan untuk tanda cinta terhadap lawan jenis, untuk tanda simpati kepada keluarga yang berkabung, untuk tanda simpati terhadap arwah. Malah ada bunga tertentu di jadikan obat maupun kosmetik. Dari zat bunga itu pula lebah menghisap. Kemudian lebah menghimpun di suatu sarang. Setelah melewati waktu tertentu, manusia pula yang memanfaatkan madunya. 

2. Memanfaatkan buah
Buah-buah untuk dikonsumsi penyempurna vitamin, untuk dimakan sebagai penyedap masakan, untuk obat bahkan ada buah untuk persembahan kepada roh leluhur.

Buah Nan Nam yang mulai langka

3. Memanfaatkan daun
Daun-daun banyak dimanfaatkan untuk makanan manusia dan binatang ternak. Terdapat daun untuk teman makan, penyedap masakan, untuk kemasan makanan,  Malahan untuk komunitas masyarakat tertentu banyak daun dijadikan obat-obatan. Terdapat juga daun untuk bahan upacara ritual persembahan terhadap arwah leluhur.

4. Memanfaatkan Kayu
Kayu banyak diburu manusia untuk bahan bangunan, untuk kenyamanan manusia beristirahat santai, tidur atau kebutuhan rumah tangga lainnya. Malah sekalipun yang terkecil masih dibutuhkan sebagai bahan bakar. Dilain pihak, terdapat kayu untuk kepentingan kesehatan manusia  dan banyak lagi hajat hidup manusia yang selalu menggunakan kayu.

5. Memanfaatkan akar
Sekalipun hanya akar manusia juga dengan akalnya memanfaatkan akar-akaran untuk dijadikan obat-obatan. Apalagi jika akar berupa wujud umbi-umbian yang dapat dikonsumsi, maka dilahap pulalah.

6. Memanfaatkan sebagai peneduh
 Jika suatu pohon belum diketahui manfaatnya, apalagi berukuran tinggi dan besar, maka manusia memanfaatkan pohon tersebut untuk dijadikan peneduh dari terik matahari.

7. Memanfaatkan sebagai penghijauan
Terdapat sebaran manusia yang tidak terkendali, kadang tanpa perhitungan membangun tempat tinggal dikawasan bahaya longsor, namun dengan kecerdesannya manusia menanam pepohonan yang dianggap mampu menjadi penahan longsor dengan dalih penghijauan lingkungan hidupnya.

Sungguh luar biasa akal manusia memanfaatkan tumbuhan atau pepohonan untuk kepentingannya. Dari zat tumbuhan maupun fisik pepohonan itu hampir  seluruhnya dikelola manusia untuk privasi kehidupannya agar lebih tenang, nyaman, sehat, kenyang dan segalanya terpenuhi. Memang jika tanaman dikelola dengan kasih sayang dan benar, maka lingkungan manusia akan menjadi asri dan menyimpan serta menghasilkan kandungan air yang melimpah. Tetapi kadang kehendak dintara manusia sering tidak seiring, seirama, dan tidak berpikiran yang sama. Hal itu perlu dimaklumi. Dilain tempat memelihara lingkungan hidup, namun dilain tempat memberangus pepohonan. Maka jika terjadi bencana,  dan alamlah yang divonis bersalah. Seringkali fenomena alam dalih yang enteng dinyatakannya. Padahal tanaman dan air, bagai keharmonisan kasih sayang layaknya memadu cinta abadi.

Saksi Alam dan saksi kehidupan manusia selanjutnya yaitu air. Manusia tanpa air, dipastikan kering kerontang. Sebab manusia dipenuhi oleh kadar air, maka tanpa air manusia lambat laun akan mengering dan kemudian akan mengalami kematian. Oleh karena itu, keberadaan air sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia sehingga manusia menggunakan air untuk kebutuhannya, sebagai ilustrasi antara lain  :
  1. Untuk Minum
  2. Untuk Mencuci
  3. Untuk Mandi
  4. Untuk Memasak
  5. Untuk Peliharaan Tanaman, Kolam dan Ternak
  6. Untuk Membantu Penggerak Mesin
  7. Untuk Usaha ; transportasi, kolam ikan, pembuatan garam dan lain-lain
  8. Untuk Kesenangan ; Rekreasi dan olahraga
  9. Untuk Obat
  10. Untuk Upacara Ritual
Banyak lagi manfaat air dan berjasa bagi kehidupan manusia, walaupun tanpa disadari  dan manusia sering melupakannya, tetapi   air tidak  menuntut sesuatu dari manusia. Hanya alangkah nisbinya jika manusia mengabaikan keberadaan air padahal air yang menjadi salah satu zat hidupnya. Sangat beretika jika manusia yang berakal memelihara dan menghormati air sekaligus menyadari siapa Pencipta-Nya. Cobalah renungkan sejenak tatkala akan memanfaatkan air. Sebab kenyamanan hidup manusia banyak ditentukan diantaranya oleh air dan hawa angin. Air dan angin, bagai kelembutan sutera namun suatu saat keduanya bisa berubah menjadi malapetaka. Maka tergantung cara manusia memperlakukannya. Apakah diperlakukan sebagai sahabat yang bermartabat atau diposisikan sebagai lawan berseteru ?, terserah.

Saksi alam lainnya bagi kehidupan manusia, yaitu angin. Udara sejuk yang disertai angin sepoi-sepoi sering meninabobokan kenyamanan aktifitas manusia. Tanpa disadari semilir angin tengah sirkulasi kedalam tubuh manusia, bahkan gerakan angin sering membawa zat yang tanpa diketahui, apakah yang terhirup hidung membawa kenikmatan atau malah sebaliknya akan menjadi petaka. Dialah angin yang suka dinyatakan gaib, terasa hidup bergerak  tetapi tidak terlihat.
 Deburan ombak diterpa angin

Angin merupakan bagian dari tubuh manusia melalui pernapasan dan sejatinya selalu memompa detak jantung, tetapi jika manusia kurang beradab dengan kehadiran angin dalam tubuhnya mungkin saja dari kenyamanan bisa berubah menjadi penyakit. Angin atau udara telah banyak berjasa terhadap kehidupan manusia. Mendesaknya keperluan hajat hidup manusia, banyak memotivasi manusia merekayasa alat agar menghasilkan udara maupun kekuatan angin semata. Sungguh cerdas manusia yang menerima wahyu akal sehingga mampu memanfaatkan angin. Sadar ataupun tidak kehadiran angin sangat penting dan Pencipta-Nya tidak menunggu dari manusia walau hanya basa-basi telah menggunakan angin hawa mul mujijati Allah. Malah mungkin beranggapan bahwa angin, produk dari fenomena alam. Begitulah manusia. Namun suatu saat anginpun kadang menuntut kesadaran manusia yang telah memanfaatkan tanpa bersyukur  kepada Sang Pencipta-Nya. Apabila tanpa bersyukur, tunggulah Saksi Alam maupun Saksi  Manusia tersebut beraksi yang akhirnya menjadi bencana bagi manusia.

Sering manusia menamakan amukan Sang Bayu diistilahkan puting beliung, angin puyuh, tornado atau dudung dan apa pula namanya, namun yang jelas kedasyatan angin oleh siapapun manusia tidak akan mampu menahannya. Bahkan suka terjadi gerakan angin seolah-olah berlari saling berkejar-kejaran, saat itulah angin tengah melakukan perkawinan. Ternyata perkawinan tidak hanya melulu dilakukan manusia atau binatang saja, angin pun sama melakukan perkawinan. Sungguh sangat luar biasa dan apabila menyaksikan kedasyatan angin, kiranya  manusia wajar menyatakan dengan berdoa : Haldamma Kolama Hawa Mul Qodrat Ya Allah. 

Oleh karena itulah, dari rangkaian Saksi Alam Matahari, Bumi, Air dan Angin serta saksi alam lainnya, Siliwangi senantiasa menganjurkan khususnya kepada keluarga dan keturunannya agar menghormati seisinya alam jagat raya serta kepada Pencipta-Nya. Siliwangi sangat komitmen memelihara alam dan menjunjung tinggi Saksi Alam. Karena saksi tersebut, diyakini merupakan suatu utusan langsung dari Sang Maha Pencipta-Nya.

Orangtua tengah berdoa khusu

Dibeberapa tempat Siliwangi menyukai meditasi, suatu cara menyatukan jiwa dengan zat alam sekitarnya, dan prilaku itu pun salah satu upaya menghormati terhadap Saksi Alam. Siliwangi terus memelihara lingkungan hidup dengan harapan anak keturunannya akan terus bisa hidup dari kekayaan alam. Oleh  karena itu, Siliwangi senantiasa senang membuat hutan.  Saking menyukai lingkungan hutan, selalu buatannya dinyatakan “keramat” atau “hutan larangan”. Padahal itu semata-mata agar anak keturunannya selalu menjaga kelestarian hutan. Sebab jika hutan rusak, maka sumber kehidupannya akan menjadi sengsara. Sebagaimana dimaklumi, bahwa Siliwangi menyenangi makan tumbuh-tumbuhan dan binatang liar seperti rusa maupun ikan.

 Maka disamping hutan selalu dinyatakan “keramat” juga Siliwangi senang memelihara aliran sungai bahkan membuat segara/situ/danau. Dari konservasi itulah diharapkan ikan kesukaannya akan melimpah. Itulah leluhur Siliwangi dalam upaya memelihara Alam Semesta, sehingga pantas ditiru dalam konteks konservasi alam kini, setiap hutan lindung sebaiknya dinyatakan “KERAMAT” dan perusak lingkungan patut dinyatakan sebagai “PELOPOR KIAMAT”, setujukah anda ?

Terima kasih dan salam hormat untuk orang tuaku di Cipaku yang telah membimbing penyusunan tulisan ini.
Baca Selengkapnya

MISTERI SANGIANG TAPAK PAJAJARAN

Oleh : H. Akbar Saefulloh

 Garis tangan merupakan identitas setiap manusia yang diberikan oleh Pencipta-Nya, karena segala tingkah gerak laku lampah manusia banyak didominasi oleh gerakan tangan. Bahkan cara berkomunikasi dengan orang bisupun banyak diisyaratkan dengan gerakan tangan. Identitas seseorang agar lebih valid dan akurat, dibubuhi oleh tanda tangan. Untuk menentukan pemilik nama seseorang yang tepat dan pasti, diperlukan sidik jari. Oleh karena itulah, tangan berperan penting dalam kehidupan setiap manusia.


                                                                        Misteri Sangiang Tapak Pajajaran


Dilain pihak kaki sebagai penopang untuk berpijak diatas bumi memiliki peran penting pula bagi manusia. Dengan kakilah manusia dapat menelusuri hamparan dunia ini. Tanpa kaki manusia sangat menderita, hanya sayang kaki merupakan bagian vitalpun jarang diingat jasanya yang telah membawa kebahagiaan bagi manusia.

            Organ tubuh tangan dan kaki merupakan  bagian yang mencatat perbuatan dan pengalaman manusia, benarkah demikian ?. Selama penelusuran PERJALANAN PAJAJARAN SILIWANGI, banyak hikmah dan intisari yang dapat dipetik sehingga menarik untuk direnungkan sebagai bekal kehidupan manusia. Sebab ternyata TELAPAK TANGAN memiliki memori dan sebagai alat sensor yang patut dibanggakan. Oleh karena itu, marilah berbagi informasi mengenai telapak tangan dan kaki manusia semoga bermanfaat dan menjadi bahan kajian bersama.

            TELAPAK TANGAN, merupakan kodrat yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia. Hal ini ternyata telah diingatkan oleh leluhur PAJAJARAN SILIWANGI yang diisyaratkan melalui Telapak Tangan dan Jejak Kaki pada batu tertentu. Salah satu bekas Telapak Tangan yang terdapat pada batu, diantaranya terdapat di Gunung Manangel. Kemudian juga telah disinggung pada artikel yang berjudul Mengkaji Tulisan Karuhun, dimana pada salah satu alenia disimak selintas mengenai yang ditulis dengan jatidiri sebagai Sangiang Tapak. Sedangkan TELAPAK KAKI, terdapat pada batu diantaranya yang terletak   di Lemah Duhur situs Batutulis, di situs Ciampea, situs Pasir Awi Cipamingkis dan lain-lain. Ternyata artifak tersebut setelah direnungkan sebagai isyarat yang menarik bagi kehidupan manusia.




TELAPAK TANGAN, bukan hanya identitas pribadi seseorang tetapi juga terdapat nuansa kepentingan  didalamnya, antara lain ; dengan tangan manusia beraktifitas mencari nafkah, melakukan hiburan, beribadah, beraktifitas sosial bahkan melakukan kejahatan, maka organ tangan sangat dominan dan hampir semua aktifitas seseorang menggunakan tangan. Dari kesibukan manusia tersebut, tangan juga bagaikan menyimpan alat sensor dimana indra perabanya dapat mengetahui secara pasti suatu kondisi panas, dingin, halus kasar, berat maupun sebaliknya. Sungguh sangat luar biasa peran tangan beserta telapak garisnya, dapat merasakan suatu kondisi dan langsung menghubungi otak untuk menyebutkan hasil sensornya.

Selain itu, satu persatu jemari tangan seseorang memiliki makna, kedudukan tertentu dan menunjukkan pribadi pemiliknya; lihatlah ketika jari telunjuk bergerak apakah kesan yang ingin disampaikannya bersifat memerintah ! menunjukkan sesuatu ! mengusir atau mengandung perintah lainnya !.    Dari telunjuk itulah lawan komunikasinya akan mengetahui siapa yang dihadapinya, apakah seorang atasan, apakah seorang bos, apakah pelayan atau teman akrabnya. Jari telunjuk itu pula, menunjukkan kepribadian seseorang  yang berpendidikan atau tidak. Malah bisa pula menggambarkan seseorang kurang berpendidikan tetapi memiliki tingkat etika yang tinggi karena kebiasaan dan pengalaman. Kemudian juga jari-jari lainnya, tidak jauh berbeda mempunyai fungsi tersendiri.

Sedangkan jari jempol tangan juga gambaran kepribadian pemiliknya. Jika jempol digunakan untuk menunjukkan sesuatu, maka orang tersebut santun sekali. Malah dari jempol pula seringkali diperlihatkan yang menandakan pujian  untuk seseorang. Jari lainnya seperti kelingking, jari manis maupun jari tengah, juga memiliki fungsi dan makna tertentu. Itulah jemari satu sama lain berbeda tetapi dapat bekerjasama secara berbarengan, sehingga nampak bagai satu kesatuan yang kuat dan menakjubkan. Jika jemari tangan digunakan bersatu, maka menjadi suatu kekuatan yang istimewa. Hanya tinggal mengetahui apakah dipergunakan untuk kegiatan yang bermanfaat, kebaikan, kejahatan atau penghormatan sebagaimana layaknya gerakan penghormatan militer. Namun pasti tangan-tangan tersebut juga digerakan secara reflek oleh naluri kemanusiaan dan juga tergantung sifat serta laku lampah yang biasa dan menjadi kebiasaannya. Dan rutinitasnya tersebut, pasti meninggalkan bekas pada garis telapak tangan sebagai catatan apa yang telah dilakukannya. Benarkah garis tangan mencatat ?.


                                                 Jejak kaki dan goresan tangan artifak Pajajaran Siliwangi


Oleh karena itulah, para ahli banyak menggunakan garis tangan sebagai  alat pembuktian identitas seseorang dengan tanda tangan maupun sidik jari. Hal itu menunjukkan bahwa tanda tangan maupun sidik jari merupakan isyarat pasti yang dapat diselidiki kebenaran pemiliknya. Tetapi memang ampuh terutama dari sidik jari, penyelidik dapat membuktikan hal itu. Sungguh penemuan luar biasa kepandaian orang pertama yang menggunakan cara itu. Hasil karya orang tersebut patut dibanggakan karena dapat menjabarkan qodrat yang diberikan Allah SWT, sebab tidak mungkin Allah SWT menciptakan dari sekian juta manusia di bumi ini yang memiliki garis tangan yang sama.

            Dilain pihak dalam artifak PERJALANAN PAJAJARAN SILIWANGI, juga meninggalkan jejak kaki. Hal inipun memberi makna tersendiri dalam pengembaraannya. Kenapa demikian ? marilah kita simak pula sejenak tentang jejak kaki. Jejak itu terlihat jelas pada situs Batutulis, situs Ciampea, Situs di Gunung Manangel dan situs-situs lainnya. Kaki ternyata memiliki peran penting pula, karena menyatakan bahwa ditempat itu pernah disinggahi oleh leluhur Pajajaran.


Artifak telapak tangan hampir punah ditelan masa

Jika direnungkan, setiap muslim manakala berwudhu mula-mula yang di bersihkan adalah tangan dan diakhiri dengan membersihkan kaki. Apa mungkin ada hubungannya antara artifak Pajajaran dengan wudhu ?. Karena tangan dan kaki sering di ulas pada kisah Pajajaran Siliwangi. Tetapi yang nyata tidaklah sembarang leluhur Pajajaran meninggalkan jejaknya. Mungkin terdapat pesan yang ingin disampaikan terutama bagi keturunannya. Memang sepintas yang terlihat hanya  jejak kaki, namun yang menjadi misteri adalah jejak kaki dan kenapa harus pada permukaan batu !?. Kondisi batu merupakan benda padat keras dan kuat menunjukkan  sifatnya yang tahan lama. Karakter itulah yang menjadi lambang keteguhan hati dan kepribadian yang kuat. Oleh karena itu wajarlah  jika pendahulu Pajajaran memilih jejak kakinya ditinggalkan di atas batu. Dan jika diamati pada telapak kakipun, ternyata terdapat garis-garis sebagaimana yang terdapat pada garis telapak tangan.

Garis tangan maupun garis jejak kaki memiliki kesamaan. Maka cobalah perhatikan pada garis-garis kecil pada bagian sisi tangan maupun kaki itu semakin lama akan terdapat perubahan, kecuali pada ujung jari tangan bersifat permanen. Jika berubah apa mungkin garis ditelapak tangan maupun kaki karena mencatat setiap perbuatan pemiliknya ?. Hal itu mungkin saja mencatat setiap perbuatan manusia sehingga sangat berkaitan erat dengan pendapat yang menganjurkan agar setiap muslim ketika beribadah di Mekah memperbanyak jejak kaki. Bukan sewaktu di Masjidil Haram saja, tetapi juga di anjurkan disetiap mesjid memperbanyak salat sunat serta berpindah-pindah untuk memperbanyak jejak kaki, karena semakin banyak jejak yang ditinggalkan semakin banyak pula pahala yang akan dicatatnya. Mungkinkah demikian !

                                         Telapak Kaki Karuhun Siliwangi

 Pada dasarnya jejak kaki maupun telapak tangan mendominasi aktifitas manusia, kiranya kita patut bersyukur memiliki organ tubuh yang utuh sehingga dianjurkan memelihara dan menjaga jejak keduanya dari  perbuatan yang tercela. Sebab tidak mustahil kelak akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Ilahi Robi yang berkaitan dengan amal perbuatan yang dilakukan oleh tangan maupun kaki setiap manusia. Kiranya pesan misterius Telapak Tangan dan Jejak Kaki Pajajaran sedikit terungkap, ternyata semua itu  untuk dipergunakan sebaik-baiknya agar kelak tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Jadi jika hendak untuk perbuatan yang tidak bermanfaat, sebaiknya perlu dipikirkan secara bijaksana. Oke !
Baca Selengkapnya

PENGEMBARAAN SILIWANGI TOLERANSI HIDUP BERAGAMA


Sebagaimana diulas dalam tulisan terdahulu yang berjudul Siliwangi dalam catatan uga”, bahwa kehidupan Siliwangi layaknya kaum petualang dan tidak menetap permanent di suatu daerah saja. Keluarga Siliwangi selalu berpindah-pindah tempat dan terkesan mencari daerah yang cocok dengan kebiasaannya. Memang awal mulanya bermukim di Gunung Galuh, yaitu gunung yang tidak begitu tinggi di kawasan Rumpin Bogor. Nama Gunung Galuh yang berarti asalmula, disana terhampar hanya bebatuan tanpa  “rumah” berteduh. Tentunya definisi “rumah” yang pertama terbayang adalah tempat tidur yang nyaman yang dinaungi benda sehingga terhindar dari terik panas matahari maupun hujan, dan tentu saja didalamnya terdapat  berbagai alat aktifitas manusia. Tetapi, Gunung Galuh benar-benar tanpa “rumah”.
                                        Gua Kutawesi, konon sebagai "kaputren" Siliwangi


Disana hanya terdapat bebatuan karang yang tidak beraturan dan terkesan alamlah yang membentuk bebatuan berserakan. Namun yang menarik, disana terdapat batu karang yang menjulang tinggi. Jika diamati dengan seksama, batu yang menjulang tersebut akan nampak seperti Menara. Dari kejauhan Menara tersebut seperti menara yang melambang sebuah mesjid atau suatu tempat adzan pada saat memanggil beribadat kaum muslimin. Batu menara itulah yang kelak menjadi ciri khas sehingga masyarakat sekitar menamakan gunung itu dengan nama Gunung Munara. Terkesan Islami, padahal semasa itu belum ada agama Islam.
Tidak jauh dari itu ada pula   karang yang berlubang datar, seolah-olah sebuah gua dan banyak lagi karang yang menjorok semacam tempat berteduh. Konon tempat semacam itulah yang menjadi tempat tinggal para leluhur manusia dulu yang kelak bergelar Siliwangi. Peradaban manusia yang belum maju mendesak penghuni Gunung Munara, mencari akal yaitu dengan cara membuat gua atau sela-sela batu yang dibuat berteduh senyaman mungkin. Keterbatasan itulah yang dicari solusinya dan mungkin juga untuk menghindari dari keganasan alam terutama dari serangan binatang buas.
Sosok leluhur yang tengah dibahas ini adalah kakek-nenek Siliwangi yang memiliki “kekasih” Sangiang Agung Batara Agung  dan Gilang Kencana Wungu. Sebelumnya makanan pokok mereka selalu dedaunan dan binatang, tetapi setelah itu mulai menyukai makanan tambahan sejenis umbi-umbian, kacang-kacangan, hanjeli, gandum, jagung, dan akhirnya padi. Oleh karena itulah, masa-masa kehidupan “Ibu” yang bernama Gilang Kencana Wungu sehari-harinya disebut Ambu, juga dikenal oleh anak cucunya dengan sebutan Sri Pohaci oleh anak keturunannya karena membiasakan mengkonsumsi padi yang diolah menjadi beras. 
Sejak itulah anak keturunan Pajajaran menyukai padi dan sebutan nama Sri Pohaci bagi keturunannya berlanjut terus. Sehingga secara khusus mereka sampai kini terhadap Sri Pohaci amat menghormati, sebab leluhur Pajajaran tersebut terkesan nama lain dari padi. Oleh karena itu, jika memasuki lumbung padi mereka membudayakan adab hormat yang diyakini seolah tempat padi masih diayomi Sri Pohaci.


                                                                           Dalkon


Kembali ke pengembaraan leluhur Pajajaran, setelah beberapa lama menetap di Rumpin, salah satu keturunannya berpindah ke Gunung Ciampea. Sedangkan Rumpin hanya didiami oleh Sangiang Nata Boga. Didaerah Ciampea, mereka memulai membuat semacam patung.   Walaupun arca yang mereka bentuk tidak begitu bagus, mungkin karena kebudayaan mereka yang belum begitu maju dan terampil. Namun upaya itu menunjukkan bahwa patung yang dibuat hanya untuk sekedar mengenang jejak leluhur semata bahwa disitulah petilasan keluarga. Disana, terdapat patung yang berjumlah 2, 3, 4 dan 5. Namun sayang  pada tahun 1974, gunung tersebut terkena penambangan kapur, sehingga kedudukan patung dipindah ke Pasir Angin Leuwiliang dan bentuknya juga telah mengalami kerusakan sehingga tidak seutuh bentuk aslinya lagi.
Masih disekitar Ciampea pula, tulisan yang pertama dibuat Siliwangi terdapat ditepian pertemuan air sungai Ciareuteun dengan sungai Cisadane.  Goresan tersebut belum membentuk huruf hanya berupa lika-liku berikal yang dikenal dengan hurup bunga.  Entah maknanya apa, tetapi kemungkinan tulisan tersebut dibuat pada saat mereka tengah emosi atau mungkin kasmaran. Karena terlihat sekali, lekuk garisnya kasar, tetapi jika emosi kasmaran juga wajarlah, sebab mereka sangat menyukai suasana ditepian sungai sebagai tempat berkencan memadu kasih. 
Selanjutnya, pengembaraan dan penyebaran keluarga tersebut juga sempat singgah di Panyaungan Pasir Jambu. Disana juga beliau menyiratkan goresan tulisan pada batu serta memperkenalkan dirinya dengan nama Sangiang Sangkala Gotama.  Namun rupanya di Jasinga inipun tidak menetap lama, dan kemudian bergerak ke arah timur tepatnya di Salaka Domas yang kelak bernama Kebun Raya. Di tempat yang baru ini semakin banyak keturunannya, mungkin daerah baru tersebut lebih cocok dan mendukung ditempati karena  terdapat hamparan segara yang mereka namakan Cipatuhunan. 
Cipatahunan ini bagaikan sebuah danau atau situ. Sedangkan Cipatahunan dialiri sungai Ciliwung dan hulunya dimulai dari Sukasari yang dikenal dengan nama Leuwi (lubuk) Cempaka. Leuwi Cipatahunan membentang dari Sukasari belakang Balai Binarum, Pulo Asem, Pulo Geulis,  Sempur, Bantarjati dan berujung di jembatan Situ Duit Warung Jambu. Pemeliharaan Leuwi Cipatahunan dipercayakan kepada Mbah Dato dan khusus di Leuwi Cempaka dan Leuwi Jiman kepada Mbah Sibli Amsori.
Ketika tinggal di tepian Cipatahunan ini tokoh yang Sangiang Sangkala Gotama, memperkenalkan dirinya dengan panggilan baru lagi yaitu Sangiang Sri Nalendra. Oleh karena itu beliau membuat prasasti yang berdampingan dengan Banteng Lilin Suku Gading. Sementara saudara-saudaranya sebagian tinggal di Cibedug mayak yang terletak dilembah Gunung Geulis. Gunung itu dinamakan geulis karena telahan tempat yang didiami oleh Sangiang Dayang Sumbi. Sangiang Dayang Sumbi sendiri mempunyai putra antara lain : Joko Dolok, dan Bandung Bondowoso serta Boko yang kelak dirajakan di sekitar daerah Kedu.

 Setelah Sri Nalendra diwastu di kampung Lemah Duhur, namanya berganti lagi menjadi Sri Baduga  Disana beliau juga membuat prasasti untuk anak keturunannya yang dikenal dengan nama Prasasti Batutulis. Batutulis merupakan salah satu tempat yang disukai dijadikan tempat musyawarah para leluhur. Di Kampung Lemah Duhur inilah leluhur Pajajaran sering bercengkrama diantaranya : Sangiang Lodaya Sakti, Sangiang Ki Ajar Padang, Mbah Eyang Buyut Wali Haji Sakti Mangkurat Jagat, serta Sangiang Batara Guru sebagai Pinisepuh Pajajarannya.
                                                       Situs Cengkuk berada pada tahun 187 SM

Pada tahun Saka 187 Sebelum Masehi, salah seorang anak Sangiang Gilang Kencana Wungu, yaitu Sri Dewi Penutup dan keluarganya membuka lahan baru yaitu di Cengkuk.  Jauh sebelum masa di tempat baru ini, diantara mereka sudah sering terjadi  melakukan perkawinan antara saudara. Dan di Cengkuk pun mereka menjalin perkawinan antara saudara para putra-putri Sri Dewi Penutup yang berjumlah 47 orang. 
Cengkuk merupakan hamparan bebatuan yang luasnya sekitar 1 Ha dan terletak di lembah Gunung Lawang sekitar kawasan Gunung Halimun. Disana terdapat batu berukuran besar yang menancap menjulang dan setinggi 4,85 m dan ditopang disekelilingnya dengan bebatuan berbagai macam bentuk. Menuruni ke arah bawah sejauh kurang lebih 30 m terdapat batu berbentuk seperti meja. Malah terdapat juga batu dalkon, batu yang berlubang kiri kanan berjumlah 8 buah dan 2 lubang masing-masing diujungnya, sebagaimana layaknya batu congklak (suatu permainan rakyat dahulu). Dan diantara batu-batu yang menghampar, terdapat 2 batu yang berbentuk westavel serta banyak lagi batu dengan bentuk lainnya. Bahkan terdapat batu dengan goresan yang melambangkan persegi empat dan tiga. Sekilas nampak seperti gambar tiara yang sering dipergunakan raja atau ratu.
                                          Batu yang menyerupai wastafel
Sebagaimana diungkapkan oleh leluhur Pajajaran, bahwa diantara keturunan Sri Dewi Penutup yang berkulit putih dan yang berkulit hitam di bagi untuk daerah pengembaraannya. Orang tua mereka menganjurkan anak-anaknya yang berkulit putih agar mengembara ke arah timur, sedangkan yang berkulit hitam ke arah barat. Ternyata keturunan Sri Dewi Panutup yang berkulit putih diantaranya ; Hariang Banga, Hayam Wuruk, Tunggul Ametung, Boko dan Gajah Mada serta Joko Merkolo/Joko Dolok. Pengembaraan mereka menetap di daerah Salam Magelang, kemudian ke atas Gunung Dieng di sekitar Telaga Warna. Selanjutnya ke Sendang Jumprit dan Boko. Seterusnya ke Gunung Lawu, kemudian ke  Butuh sekitar Kediri.  Bahkan dikawasan Tengger mereka lebih lama menetap sebab diwilayah itu mereka bersepakat menentukan pembagian daerah kekuasaan dengan warna merah dan hijau diantara keturunan Pajajaran.
Sedangkan pengembaraan ke wilayah barat, di awali oleh Pucuk Umun. Beliau salah seorang keluarga adik misan Sri Baduga, ke Pahit Lidah sekitar Tulang Bawang. Kemudian ke Pagaruyung, ke Nias, ke Pulau Samosir, ke Pulau Natuna, bahkan ke Kota Baru Banjarmasin. Sri Baduga sendiri, ketika masih usia muda banyak menghabiskan waktu di Pagaruyung sehingga ditempat itu dikenal dengan nama Adityawarman. Selain itu Sri Baduga juga dalam pengembaraan diusia remaja, sempat menetap di Kutai Kartanegara dengan nama Mulawarman. Banyak tempat beliau singgahi lagi, seperti Tomohon, Danau Merah maupun Kelimutu.
  Tetapi yang  ingin disimak disini bukan suatu cara penjelajahan Sri Baduga ke seantero Nusantara, hanya sikapnya tidak selalu memaksanakan kehendak sehingga anak keturunannya   dalam menganut ajaran kepercayaan di tiap-tiap tempat tidak dipaksakan dengan dogmanya. Sebagaimana dimaklumi bahwa Siliwangi dalam agemannya selalu menghormati tempat yang baru diinjaknya dan selalu menjunjung tinggi harkat martabat setiap manusia. Dimana setiap tanah dan tempat berlainan zat dan pengaruh bagi kehidupan manusia. Di sisi lainnya, leluhur Siliwangi telah menyadari kemunculan setiap Rasul sebagai pengayom manusia merupakan keputusan Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam. Oleh karena itu, nampaknya Siliwangi menyadari bahwa perjalanan waktu dan perputaran dunia dengan peradabannya bakal muncul ajaran dan kepercayaan manusia terhadap Tuhan-Nya.
Oleh sebab itu, Sri Baduga membiarkan ketika   salah seorang cucunya  “Tolabul ilmi” belajar ilmu agama Islam ke jazirah Arab bahkan dikemudian hari dinikahi putra mahkota petinggi dari Arab. Selain itu pun, ketika Sri Baduga jumeneng Batu Bertulis di Lemah Duhur sudah diberi julukan kiasan ‘ Syaiful haq bil goib”.  Jika diterjemahkan kira-kira “Setajam (ilmu) dari goib”.  Sedangkan kawasan Gunung Cupu juga di beri sebutan “Likuli amrin wal hidayati” yang diartikan “setiap perbuatan akan ada petunjuk”. Area makam Sangiang Adi Sakti atau Ciung Wanara, diberi nama : “ Latadinuhum wal goib” dan makam Puspa Raja di Cikembar dengan julukan :” Jurumiyah qolbu mujarobat”. Di lain tempat seperti di Tengger, lain pula tata cara penyembahannya terhadap Sanghiyang Widi sebagaimana tata cara di Bali dan sama halnya dengan di daerah Baduy Banten. Bahkan keturunan dari Bogor, Cirebon maupun Banten lebih banyak menjadi pengikut ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Dan malahan  banyak kerabat dan anak keturunannya yang kelak menjadi penganut non muslim, terutama yang mengembara ke Belanda, Rumania, Muldova, Brazilia, Mongolia, Thailand, Kamboja maupun Jepang dan lain-lain.
                                                Hindu Tengger
Memang sungguh arif bijaksana, Siliwangi beserta keturunannya tidak memaksakan dogma terhadap ageman yang harus diikuti. Dan kebebasan tersebut senantiasa diserahkan mutlak kepada anak keturunannya. Hanya satu hal yang harus menjadi pegangan seumur hidup bagi  keturunannya yaitu tidak boleh membunuh, apalagi  mengatasnamakan agama. Karena cara menghilangkan jiwa seseorang menjadi hak mutlak Pencipta-Nya. Dan Siliwangi sekali lagi sangat menghormati harkat martabat manusia sebab di hadapan Pencipta-Nya manusia sama yang membedakan adalah ketaqwaan.
Semoga catatan ini bermanfaat dan sumbangsih bagi kerukunan hidup antar agama khususnya di tanah air tercinta ini agar senantiasa saling menghormati terhadap sesama manusia yang sudah memeluk kepercayaan dan agama masing-masing.



Baca Selengkapnya