Sedikit Mengulas Tulisan karuhun "KUJANG"

Kujang - Antara Falsafah dan Mitologi


Kujang adalah senjata unik dari daerah jawa barat, tepatnya di Pasundan (Tatar Sunda) Kujang mulai dibuat abad ke 8 atau ke 9. dari segi desain tidak ada yang menyamainya dari daerah manapun. Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan dan melambangkan kekuatan juga keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran.

Deskripsi

Dalam Wacana dan khasanah kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat sunda dan dikenal memliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah kujang berasal dari kata 'Kudihyang" dengan akar kata Kudi dan Hyang. diambil dari bahasa Sunda Kuno. 

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para Dewa, sejak dahulu hingga saat ini menempati satu posisi yang sangat khusus dikalangan masyarakat sunda sebagai lambang atau simbol dengan nilai filosofis yang terkandung didalamnya. Kujang dipakai sebagai satu Estetika dalam beberapa lambang organisasi dan pemerintahan. 

Dimasa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian, Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa kanda Ng karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang dibeberapa daerah di jawa barat dan banten. Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat sunda kujang pun mengalami perubahan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna dari sebuah peralatan pertanian  kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata pusaka bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Dalam Pantun Bogor seperti yang dituturkan Anis Djatisunda (996-2000) kujang memiliki beberap fungsi dan bentuk, Berdasarkan Fungsinya kujang terbagi menjadi empat : 

1. Kujang Pusaka (Lambang keagungan dan perlindungan dan keselamatan)

2. Kujang Pakarang (Untuk berperang)

3. Kujang Pangarak (Sebagai alat Upacara)

4. Kujang Pakarang (Sebagai alat berladang)


Sedangkan dalam bentuk bilah ada yang disebut sebagai : 

1. Kujang Ciung (Menyerupai burung Ciung)

2. Kujang kuntul (Menyerupai burung kuntul/bango)

3. Kujang Jago (Menyerupai ayam jantan)

4. Kujang Naga (Menyerupai Binatang Mitologi Naga)

5. Kujang Badak (Menyerupai Badak)

6. Kujang Bangkong (Menyerupai Katak)

7. Kujang Wayang (Tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol      (kesuburan)


Bagian-bagian Kujang : 

1. Papatuk (Congo) Bagian ujung yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.

2. Eluk (Siih) lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung sebelah atas gunanya untuk    mencabik perut musuh.

3. Waruga nama bilahan "badan" kujang.

4. Mata, Lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya itu tertutupi oleh logam seperti emas atau perak atau juga batu permata.  tetapi kebanyakan hanya ditemukan sisanya yang hanya lubang saja, dan gunanya sebagai lambang tahap status pemiliknya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata dan ada juga yang tanpa mata/lubang yang disebut sebagai "Kujang Buta".

5. Pamor, Garis-garis atau bintik-bintik pada bilah yang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, selain untuk keindahan juga untuk mematikan musuh dengan cepat.

6. Tonggong, sisi yang tajam pada bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat atau mengiris.

7. Beuteung, sisi yang tajam pada bagian perut kujang, gunanya sama seperti bagian punggung kujang.

8. Tadah, Lengkung kecil pada bagian perut kujang, gunanya untuk menangkis atau mlintir senjata musuh agar terlepas dari genggaman.

9. Paksi, Bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukan kedalam gagang kujang.

10. Combong, lubang pada gagang yang untuk memasukan peksi kujang.

11. Selut, Ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman pada gagang kujang pada ekor(paksi)

12. Ganja (Landean), Nama khas gagang atau tangkai kujang.

13. Kowak atau Kopak nama khas sarung kujang.

Diantara bagian-bagian kujang diatas ada satu bagian yang memilik lambang "Ke-Mandalaan" yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan beberapa tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap. diantaranya urutan dari bawah : Mandala Kasungka, Mandala Parmana. Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala Suda, Mandala Jati, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala adalah tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana karma atau Jagat Pancaka yaitu Neraka.


Mitologi :

Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhdap Kujang : "Ku-Jang-Ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang. 

Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang atau nenek moyang yaitu menegakan cara -ciri manusa dan cara-ciri bangsa. yaitu : 

Cara-Ciri Manusa ada 5 : 

1. Welas Asih (Cinta kasih)

2. Tata Krama (Etika Berprilaku)

3. Unduk Usuk (Etika Berbahasa)

4. Budi Daya Budi Basa.

5. Wiwaha Yuda Na Raga (Ngaji Badan)


Cara-Ciri Bangsa ada 5 :

1. Rupa.

2. Basa

3. Adat.

4. Aksara

5. Kebudayaan.

Kujang bukan sekedar senjata pusaka, Kujang merupakan ajaran simbol berketuhanan tentang asal-usul alam semesta yang dijadikan dasar konsepsi sistem ketatanegaraan sunda purba. Bentuknya merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna, wujud Kujang merupakan manifestasi Alam Semesta.


Pemakai Kujang.

Kujang Identik dengan Kerajaan Pajajaran dimasa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa kujang dipakai oleh seluruh masyarakat umum, Kujang ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu : Para Raja, Prabu Anom(Putera Mahkota), Golongan Pangiwa, Golongan Panengen, Golongan Agama, Para Puteri serta kaum wanita tertentu dan Para Kokolot. 

Setiap Menak (Bangsawan), Para Pengagung (Pejabat Negara), sampai Para Kokolot. dalam kepemilikan kujang tidak sembarangan memilih bentuk namun hal itu ditentukan oleh status sosial masing-masing. Bentuk Kujang untuk para Raja tidak boleh sama dengan milik Balapati. Demikian pula seorang Balapati bentuk kujangnya mesti berbeda dengan para pratulup dan seterusnya.

1. Kujang Ciung mata 9 : hanya dipakai khusus Para Raja.

2. Kujang Ciung mata 7 : hanya dipakai oleh Prabu Anom dan Mnatri Dangka.

3. Kujang Ciung mata 5 : hanya dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis, Bupati Pakuan.

4. Kujang Jago : dipakai oleh Balapati, Para Lulugu dan Sambilan.

5. Kujang Kuntul : dipakai oleh Para Patih, Para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paseban dll)

6. Kujang Bangkong : dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk.

7. Kujang Naga : dipakai oleh Para Kanduru, Para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan.

8. Kujang Badak : dipakai oleh Para Pangwereg, Para Pamatang, Para Palongok, Parajurit, Para Tulup. sawarsa dll.


Banyak orang yang memberikan makna Kujang, Para Peneliti menyatakan istilah kujang dari kata kudihyang dengan akar kata kudi & hyang, Kudi berarti senjata sakti, hyang berarti Rajanya para Dewa, sehingga Kudihyang dimaknai senbagai senjata sakti milik para Dewa.

Kujang Identik dengan identitas dan eksistensi masyarakat Sunda ( Anis Djatisunda), Kujang digambarkan sebagai senjata (Djamadil AA dkk), Kujang yang memiliki kekuatan supranatural (Mr Moebirman), dan simbol konsep ajaran sunda besar (Aris Kurniawan Joedamanggala).

"Belajar mengenal dan memahami Kujang bisa menjadi bekal kita kita untuk berdiri sejajar dengan bangsa lain didunia. jangan kita kita terus-terusan nuturkeun atau mengikuti budaya barat yang ujung-ujungnya kita kehilangan jati diri sebagai bangsa di Nusantara. 

Salam Waras...!

-Didik Saptacakra-

Baca Selengkapnya

NASKAH SANGHYANG DEWATA

 



Isinya ada 46 alinea yang ditulis dengan bahasa/Aksara Sunda Kuno, dan yang saya kutip ada 2 alinea :

//o//  Ndh ujarrakna wwa ni kaidr ku lupa. katutupan ku si lupa. apanya ning [ng] amingt. kasilib ka siliptkeun, ku mala jati ning raga. Kna ku tutur ning jagat, malapat di sarira. Suptapada ngaranya turu, jagra ngaranya tanghi. Yata ingtakna ring sangng amitutur, memehnya ring atu-ru, suptapada ngaranya. Ari pinh ari hetas, kna ku mala naraka.

//0//  Ieu Ucapan jalma-jalma anu ti teuleum na jero ka teu sadaran, katutup ku poho, sebab maranehna (dina kaayaan) henteu sadar, kalengkahan kasumputkeun, ku pangkal kanistaan dina awak. Kapangaruhan ku dunya, jadi kalangkang dina awak. Suptapada ngarana sare, jagra ngarana jaga. Nyaeta nu kudu diinget ku saha bae anu cumarita, erek sare suptapada ngaranna, lamun sare akhirna pegat, kakeunaan ku nista naraka.

[02] Kna ku mala // na tutur, malanang raka, lipi lupa di jati di maneh, hilang na tutur yyatna. Ja leungitna kapa geuhan. kasaputan(ku) ikang lupa,  kapa ringkus ku ikang tutur, lupa di jati di maneh pun. Haywa tuturaknang ri, suptapada ngaranya turu, jagra ngaranya tanghi. Prayat-nakna ring sang atapa pun. Ku sang awruh ring tapa, tan adoh ring sarira pun papa, na rasa den tan enak[a] den ta[n] turu. Sangng awruh ri carita.

Kakeunaan ku kotor// ucapan, (jeung) nista naraka. Sabab poho kana diri sorangan, ngakibatkeun ilangna ucapan anu sabenerna. leungit tina keteguhan, katutup ku poho, kaiket ku nu diucapkeun, poho kana jati diri sorangan. Anu kitu montong diturutan. Suptapada artina sare, jagra artina jaga. Ati-ati kasaha wae anu arek tatapa, patali reujeung aturan-aturan tatapa(sabab) teu jauh tina diri urang oge , dosa eta karasana teu nikmat(nepika) ngaganggu sare,  Anu apal kan carita manusa. Cag...

Salam waras..!

Baca Selengkapnya

KUDJANG

Oleh : Saptacakra 

Kemashuran Keris Pajajaran, Pamor Pajajaran, atau "Tangguh" Pajajaran, dapatlah kiranya untuk sementara kita ketahui dari empat sumber,walaupun tidak begitu sempurna.
-Yang pertama adalah relief candi yang menunjukan berbagai bukti peralatan dan senjata.
-Yang kedua adalah peninggalan-peninggalan lama baik yang tersimpan dimasyarakat, maupun berbagai museum.
-Sumber ketiga berupa naskah lama yang menyebut jenis dan namanya.
-Sumber keempat berupa berbagai catatan dan penelitian tentang hal tersebut.


Senjata tak dapat dipisahkan dari para Empu/Guruteupa/Pande yang namanya masih terus dikenang sampai sekarang, Beberapa Empu Sakti disebut dalam berbagai Naskah.

-Begawan Empu Ramadi(Serat Manikmaya, I:45-47)
-Empu Brama Kedali
-Empu Somkahadi

Dikisahkan bahwa disurga terjadi perang tanding dengan mempergunakan Keris dan diantara adalah buatan para Empu-empu diatas. Sebutan dalam Serat Manikmaya adalah Kudi yang dipakai oleh Kyahi Tuwa untuk melawan binatang buas. 

Sumber lain(Wirasoekadga, t t 3, 7-9) menyebut limabelas jenis(type) tangguh.  Tangguh Pajajaran adalah yang tertua, dan jauh lebih tua dari majapahit. Dikemukakan oleh sumber yang sama pula bahwa pada tangguh-tangguh Pajajaran terdapat 7 Empu  yaitu : 

1. Guruteupa Ki Keleng, 
2. Guruteupa Ki Kuwung, 
3. Guruteupa Ki Loning,  
4. Guruteupa Ki Angga,  
5. Guruteupa Ing Bagelen,  
6. Guruteupa Ki Sikir  Dusun Tapan, 
7. Guruteupa Ciung/Siyung Wanara.

Dari 7 Empu/Guruteupa Sakti itu hanya kedua Empu yang kita ketahui hasil tempaannya mereka :


Empu Keleng membuat Keris Kyai Kopek( Keris lurus dapur Tilam Upih Tambal) dari besi seperti        batutulis.



Dalam Cariosan Prabu Siliwangi kita memperoleh dua kali sebutan tentang keris, yang kedua nya dikatakan dan dipakai oleh Prabu Siliwangi, salah satu Keris yang di pakai Prabu Siliwangi disebut Dhuhung Ginanja Pitu.
Dalam Pupuh ke VII, Naskah Sang Nata Agung (KBN no 545.Inv.EFEO-Bdg no 2032, sebelum Prabu Siliwangi berangkat menuju ke Prabu Singguru untuk berunding, Beliau bersenjatakan Keris Pusaka karuhun Prabu Ciung Wanara yang diberi nama Keris Kebo Teki. Dalam Naskah-naskah Sunda ditemukan pula senjata-senjata yang digunakan rakyat Pajajaran atau keturunan Raja-Raja Pajajaran.
Dan yang perlu dicatat adalah bahwa dari sekian banyak senjata yang disebut dalam naskah, belum terdapat sebutan tentang salah satu senjata yang kemudian dijadikan Lambang dan Simbol Kebanggaan masyarakat Sunda yaitu KUJANG.
Dari berbagai peninggalan tertulis, kiranya kita dapat ketahui alam pikiran masyarakat dan lingkungan hidupnya, Carita Purnawidjaya(kropak 416) dengan ajaran Kunjarakarna dan Sang Siksa kandang Karesian(kropak 630).
Kiranya ahli pikir nenek moyang Sunda telah memadukan inti-inti ajaran Yamadipati dan Budha Wairocana, contoh ini adalah sesuatu yang unik dan sangat mandiri sehingga cukup menyulitkan  penelitian para sarjana Belanda. Begitu pula hal nya tentang pokok-pokok dasar ajaran keagamaan yang diuraikan dalam  Sang Hyang Siksa Kandang yang terangkum lengkap dalam 10 dasar sila kebaktian.


Anak Bakti di bapa.
Ewe bakti di laki
Hulun bakti di pantjadaan
Sisa bakti di guru
Orang tani bakti di dewata
Wadon bakti di mantri
Mantri bakti di mangkubumi
Mangkubumi bakti di Ratu
Ratu bakti di Dewata
Dewata bakti di Hyang


HYANG dengan demikian digambarkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Penguasa jagat raya (mayapada dan marcapada). HYANG digambarkan sebagai sesuatu yang abadi, yang ghaib dan lambang kesucian. Kewajiban untuk bersembah/berbakti kepada HYANG itu sampai sekarang istilahnya masih tetap berlaku yaitu sembahyang. Pada jaman Pajajaran kata-kata HYANG telah demikian melekat erat di kalangan masyarakatnya. Dari generasi ke generasi terus berlangsung beratus tahun, Jejak-jejak itu diabadikan dalam nama-nama tokoh raja sebagai personifikasi HYANG di dunia (Lingga Hyang; Sanghyang Susuk Tunggal dll.). Dari naskah Cariosan Prabu Silihwangi serta naskah-naskah lainnyal nampak pula pergeseran nama HYANG ini kepada beberapa tempat/daerah yang dianggap keramat. Nama-nama tempat itu sampai kini masih ada. Umpama-nya: Danau Sanghyang di TALAGA, Sanghiyang Keukeum-bingan (Cariosan Prabu Silihwangi), Sanghiyang Roronjatan, Sanghiyang Tikoro dan lain-lain.
Satu hal yang sangat menonjol dan khas adalah pergeseran konsep KEKUASAAN dari para Dewa/DEWATA yang asalnya dari unsur tertinggi telah turun sedemikian rupa hampir sederajat barangkali dengan manusia biasa sehingga mereka harus berbakti juga kepada HYANG.
Diatas telah disinggung tentang adanya peranan bahasa dan istilah untuk mengukirnya dalm bentuk nama-nama atas segala sesuatu yang berhubungan dengan sosio-budayanya, maka secara Fillogis nama-nama yang terukir dalam setiap jenis benda.



DESKRIPSI KUDJANG : 

Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat(Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memilik nilai Sakral serta mempunyai kekuatan magis, Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari KudiHyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.

Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa Mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan diatas para Dewa, hal ini tercermin dalam ajaran DASA PREBAKTI dalam Naskah SangHyang Siksa Kandang Karesian disebutkan Dewa bakti di Hyang.

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.

Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), Kujang memiliki fungsi dan bentuk.

Berdasarkan Fungsi Kujang dibagi menjadi 4 antara lain :

1. Kujang Pusaka (Lambang Keagungan dan perlindungan keselamatan)

2. Kujang Pakarang (Berperang)

3. Kujang Pangarak (alat Upacara)

4. Kujang Pamangkas (alat berladang)


Sedangkan Kujang berdasarkan bentuk bilah nya  yaitu :

1. Kujang Ciung, (Menyerupai Burung Ciung)

2. Kujang Kuntul.(Menyerupai Burung Kuntul)

3. Kujang jago (Menyerupai Ayam Jago)

4. Kujang Bangkong.(Menyerupai Katak)

5. Kujang Badak (Menyerupai Katak)

6. Kujang Naga.Menyerupai binatang Mitologi Naga)


Kujang Berlanjut

Deskripsi: Kujang berlanjut adalah kujang yang jika dilihat dari bentuknya menyerupai bentuk pra kujang dan fungsinya sebagai alat untuk keperluan praktis (terutama sebagai alat pertanian). Kujang berlanjut diperkirakan berkembang setelah abad ke-12. Berdasarkan bahan yang dipergunakannya, umumnya telah berusia 50 tahun atau lebih. Adapun lubang yang terdapat pada bilahnya berfungsi sebagai lubang untuk digantungkan pada sebuah paku atau pasak di dinding ketika tidak digunakan.


Kujang Naga

Deskripsi: Bentuknya menyerupai naga yang melambangkan dunia atas. Dalam mitologi Hindu, Naga merupakan perpaduan antara binatang burung, ular dan rusa. Karakteristik dari kujang Naga memiliki waruga besar dengan siih yang meyebar di bagian tonggong. Menurut berita lisan pantun Bogor, kujang Naga digunakan oleh para Kanduru dan para Jaro.


Nambihan Saur Sepuh...

Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai; "Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang" Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu? Cara-ciri Manusia ada 5: Welas Asih (Cinta Kasih), Tatakrama (Etika Berprilaku), Undak Usuk (Etika Berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan". Cara-ciri Bangsa ada 5: Rupa, Basa, Adat, Aksara, Kebudayaan.

Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya. Kujang bisa juga dijadikan sebagai senjata dalam setiap pribadi manusia untuk memerangi prilaku-prilaku diluar "rel" kemanusaiaan. Memang sungguh "gaib sakti" (falsafah) Kujang. Kenapa setiap kujang mempunyai jumlah bolong/ mata yang berbeda-beda??? Umumnya ada yang 3, 5 (kombinasi 2 dn 3), 9. Itu pun mengandung nilai falsafah yang sangat tinggi dengan istilah "Madep/Ngiblat ka Ratu Raja 3-2-4-5-Lilima-6". Itu semua kaya akan makna yang dapat membuka mata kita tentang siapa aku? dari mana asalnya aku? untuk apa aku hidup? dan menuju kemana aku?


Kujang Pamor

Kujang adalah sebuah bentuk senjata yang unik dan dikenal di daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari bahan besi, baja, dan baja pamor, panjangnya sekitar 20 cm sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.


Semoga Berguna dan Salam Waras...!


Baca Selengkapnya

Gua Pawon

 Perjalanan kali ini di wilayah Bandung Barat atau tepatnya didaerah Gua Pawon yang berada dikawasan Karst Padalarang atau batu kapur Citatah didesa Gunung Masigit, kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.


Gua Pawon memiliki panjang 38 meter dan lebar 16 meter sedangkan tinggi atap gua nya belum diketahui karena semenjak ditemukan atap gua sudah runtuh. Nama Gua Pawon sendiri karena masyarakat sekitar yang menyebut atap gua mirip seperti Pawon atau Dapur. Berdasarkan penelitian ahli geologi jutaan tahun lalu disekitar gua pawon adalah lautan yang mengalami proses pergerakan tektonik lempeng bumi dan menjadi gugusan gunung purba. munculnya gunung-gunung purba ini membuat cekungan yang besar dan akhirnya membuat sebuah danau, dan kita kenal dengan danau sunda purba. Dan Cekungan danau Sunda purba ini lama lama mengering dan ditempati oleh manusia. cekungan ini juga akibat dari letusan gunung sunda purba pada 105.000-210.000 tahun yang lalu. Dan menurut penelitian juga cerita turun temurun adalah awal dari peradaban leluhur orang sunda disekitar gua pawon, karena di gua pawon pernah ditemukan kerangka manusia purba yang sudah berusia sekitar 10.000 tahun. 



Di Situs Gua Pawon ini kita bisa menyaksikan peninggalan Mahkluk Purba yang pernah hidup dimasanya, antara lain : Kerangka manusia purba, monyet ekor panjang, pohon Binong dan Bambu hitam yang dijaman sekarang bambu hitam dipergunakan sebagai bahan pembuat Calung, Angklung, Gambang, juga kerajinan industri yang lainnya.



Begitu kita sampai di sekitar Gua pawon, medan yang dilalui untuk sampai di Gua Pawon cukup berat karena menuruni bukit dengan kemiringan sekitar 15-30 derajat. 
Suasana mistis sangat berasa juga pemandangannya sangat eksotik, ada rasa merinding begitu memasuki goa yang tergelap ada perasaan senang juga pengap apalagi disudut goa ada tulang tulang manusia purba, kita sebagai bangsa dengan budaya mistis yang kental banyak juga yang datang ke Gua pawon untuk ritual atau meminta "petunjuk".
Dengan penemuan Gua Pawon juga bukti peninggalan kebudayaannya menunjukan bahwa pada saat itu ada aktifitas kehidupan manusia diwilayah Gua pawon, dan membuka wawasan kita mengenai kehidupan jaman prasejarah. dan diharapkan kita sebagai generasi penerus bisa menjaga, merawat dan melestarikan peninggalan yang sangat berharga ini 


Abah H. Darma dan Abah H. Apep




“Lihatlah gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” 
(QS An Naml 27:88)




Baca Selengkapnya

Asal-Usul Nama Sunda (Perjalanan Sejarah)

Tadinya saya hanya mencari cari asal usul nama jalan yang ada di Bandung karena namanya sangat berkesan dengan cerita sejarah yang diceritakan waktu kecil. yaitu nama jalan Purnawarman, Sawunggaling, Mundinglaya, Ciung Wanara, Rangga Gading, Hariangbanga, Geusan Ulun. Suryakencana, Dipati Ukur, Bahureksa, Wastukencana, Gajah Lumantung, Singaperbangsa dan lain-lain. dan saya mencoba untuk mencari referensi untuk bisa saya ceritakan di blog saya ini.


Nama Sunda sudah mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman pada sekitar tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya "Tarumanagara". Tarusbaya Penguasa ke 13 ingin mengembalikan kejayaan Tarumanagara yang semakin menurun di Purasaba(Ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda( selanjutnya punya nama lain yang menunjukan wilayah pemerintahan yang sama seperti Galuh, kawali, Pakuan pajajaran.) Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbaya. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Maharaja Tarusbaya menerima tuntutan Raja galuh yang ingin memisahkan diri, akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua Kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan batas Sungai Citarum, sebelah barat sungai ciarum adalah Kerajaan Sunda dimulai dari wilayah cianjur kearah barat dan sebelah timur sungai citarum adalah wilayah Kerajaan galuh dimulai dari wilayah Bandung ke arah timur. 


Menurut Sejarah, pembagian wilayah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh adalah sebagai berikut : 

1.   Pajajaran berlokasi di Kota Bogor dan beribukotakan di Pakuan.
2.   Galuh Pakuan beribukotakan di Kawali (Ciamis)
3.   Galuh Sindula yang berlokasi Lakbok dan beribukota di Medang Gili.
4.   Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukotanya di Medang Pangramesan.
5.   Galuh Kalongan berlokasi di Alas Roban dengan ibukotanya di Medang pangramesan
6.   Galuh Lalean berlokasi di Cilacap dengan ibukotanya di Medang Kamulan.
7.   Galuh Pataruman berlokasi di Bnajarsari dengan ibukotanya Banjar Pataruman.
8.   Galuh Kalingga berlokasi di Bojong dengan ibukotanya Karang kamulyan.
9.   Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung dengan ibukotanya Bagola.
10. Galuh Kumara berlokasi di Tegal dengan ibukotanya di Medang kamulyan.


Maharaja Tarusbaya bersahabat baik dengan Raja Galuh Prabu Bratasenawa atau Prabu Sena. Purbasora yang merupakan cucudari pendiri Kerajaan Galuh melakukan perebutan tahta kerajaan Galuh pada tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Prabu Sena, akibat perebutan kekuasaan itu Prabu Sena melarikan diri ke Kalingga (karena Istri Prabu Sena adalah cucu penguasa kalingga yaitu Maharani Sima Ratu kalingga).
Sanjaya putra dari Prabu Sena berniat menuntut balas kepada Purbasora, Sanjaya yang menjadi menantu Prabu Tarusbaya mendapatkan mandat memimpin Kerajaan Sunda langsung untuk memimpin pasukan  untuk menyerang Kerajaan Galuh yang dipimpin Purbasora, Galuh yang diserang habis-habisan, hingga yang selamat hanya Senopati Karajaan Galuh yaitu Balangantrang.

Awalnya Sanjaya hanya berniat balas dendam saja dengan terpaksa harus naik tahta  menjadi raja di Kerajaan Galuh, sebagai Raja Sunda makanya Sanjaya juga harus berada di Sundapura, akhirnya Sunda-galuh pun disatukan kembali hingga akhirnya Kerajaan Galuh diserahkan kepada tangan kananya yaitu Premana Dikusuma yang beristrikan Naganingrum yang memiliki putra bernama Suratoma alias Manarah.
Premana dikusuma adalah cucu dari Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi Premana dikusuma juga hormat kepada Sanjaya yang sangat disegani, bahkan disebut juga sebagai Rajaresi karena nilai keagamaannyayang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman, Premana Dikusuma juga menikah dengan Dewi Pangreyep(keluarga Kerajaan Sunda sebagai ikatan Politik).

Ditahun 732M mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya sebelum ia meninggalkan wilayah Kerajaan Sunda (jawa Barat) ia mengatur pembagian kekuasaan untuk kedua putranya (Tamperan dan Resiguru demunawan), Sunda-Galuh menjadi kekuasaan Tamperan dan Resiguru Demunawan memimpin Kerajaan Kuningan juga Galunggung.
Premana Dikusuma akhirnya lebih sering bertapa dan semua urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan mata juga telinga sang ayah (Sanjaya), Tamperan terlibat skandal dengan Dewi Pangreyep hingga lahirlah jabang bayi yang diberi nama Banga(dalam cerita rakyat disebut dengan Hariangbanga).Tamperan memerintahkan pembunuh bayaran untuk membunuh Premana Dikusuma yang sedang bertapa dan akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, akan tetapin semua nya tercium dan diketahui oleh Balangantrang.

Ki Balangantrang dan Manarah(Suratoma) merencanakan untuk balas dendam kepada Tamperan dalam cerita rakyat kita mengenal Manarah sebagai Ciung Wanara, akhirnya penyerangan pun dimulai bersama pasukan geger sunten yang dibangun diwilayah Kuningan, Ciung Wanara menyarang galuh dalam semalam, semua ditawan tapi Banga dilepaskan, namun Banga kemudian berniat membebaskan kedua orangtuanya hingga terjadi pertempuran yang mnengakibatkan Tamperan dan Dewi pangreyep tewas dan akhirnya Banga pun kalah menyerah.
Perang saudara itu akhirnya terdengar oleh Sanjaya yang mempimpin Medang atas titah ayahnya, Sanjaya kemudian menyerang Ciung Wanara tetapi Ciung Wanara telah bersiap dan akhirnya perang terjadi kembali ditengah peperangan muncullah Resiguru demunawan yang melerai dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan ke Ciung Wanara dan Sunda diserahkan ke Banga.

Konflik terus terjadi, kehadiran orang galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan  belum bisa diterima secara legawa dan secara umum.sama hal nya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik itu setiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan setiap kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan.
Dengan demikian pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah, antara tahun 895M sampai dengan tahun 1311M kawasan jawa Barat selalu diramaikan oleh iring-iringan rombongan Raja baru yang pindah tempat pemerintahannya.

Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki atau lereng gunung dan orang Galuh sebagai orang air yang biasa menetap atau bermukim dipinggiran sungai maupun danau. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan.
Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M-1303M). gejala ibukota mulai bergeser kearah timur ke Saunggalah hingga ke Kawali, Ragasuci sebenarnya bukan putra Mahkota, Raja sebelumnya Jayadarma beristrikan Dyah Singamurti dari wilayah Jawa bagian timur dan memiliki putra yang bernama Sanggramawijaya atau kita kenal dengan Raden Wijaya lahir di Pakuan, setelah Jayadarma wafat akan tetapi istrinya tidak mau tinggal diPakuan dan memilih kembali di daerah Jawa wilayah timur.Kelak Raden Wijaya mendirikan Kerajaan yang diberi nama Majapahit yang besar dan keturunannya yang bernama Hayam Wuruk yang mempunya mahapatih bernama Gajah Mada akan mempersatukan Nusantara, kecuali Kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Raja Linggabuana, dan gugur bersama anaknya yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi dalam Perang Bubat tahun 1357M, sejak peristiwa Bubat tersebut keturunan kerabat Keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan Keraton Majapahit.


Menurut Kidung Sundayana, inti kisah Perang Bubat adalah sebagai berikut, dikutip dari  Jawa Palace

Jadi nama jalan Purnawarman, Sawunggaling, Mundinglaya, Ciung Wanara, Rangga Gading, Hariangbanga, Geusan Ulun. Suryakencana, Dipati Ukur, Bahureksa, Wastukencana, Gajah Lumantung, Singaperbangsa dan lain-lain belum saya tuliskan karena masih mencari cerita versi yang satu dengan yang lain agar tidak menjadi sebuah perdebatan.
Demikian lah sepenggal tulisan sejarah yang terlupakan dan mungkin akan tergerus jaman juga peradaban sekarang ini, 
Mohon maaf apabila saduran juga tulisan ini keluar dari Judulnya.
Salam Waras...!

Baca Selengkapnya