LANJUTAN 1
TAPAK TAPAK PAJAJARAN
Oleh Moh. Sjafei & SC
Sebagaimana telah disinggung pada
tulisan Tapak Tapak Pajajaran, bahwa Siliwangi dibilang ada, ada. Dibilang
tidak ada, memang karena tidak terlihat kasat mata. Dan telah diulas pula, bahwa Tapak Tapak Pajajaran diantaranya Tapak Tangan
dan Tapak Kaki. Namun khusus Tapak
Tangan maupun Tapak Kaki ternyata memiliki makna yang inspiratif terutama bagi
keturunan Pajajaran. Jika direnungkan, setiap muslim manakala berwudhu hendak
melakukan salat, diawali membersihkan
telapak tangan dan diakhiri dengan membersihkan telapak kaki. Apa mungkin ada
hubungannya antara artefak Pajajaran dengan berwudhu ?. Karena wudhu identik
dengan mensucikan diri untuk menghadap Ilahi Robbi. Lalu kenapa Siliwangi selalu menandai telapak
tangan dan telapak kaki, apa hal itu
symbol isyarat dimasa mendatang akan ada ajaran agama anyar atau agama Islam ? dan setiap orang perlu
menjaga kesucian diri. Mungkin, namun
silahkan renungkan dan artikan secara paripurna serta bijaksana.
Di
Batutulis inilah tapak petilasan tokoh
diabadikan disamping batutulis, ada pula bekas Salaka Domas, bekas Nawang
Wulan. Disebelah selatannya terdapat petilasan
Sangiyang Resi Sinuhun Agung Purwakalih dan diseberangnya terdapat
petilasan Embah Dalem Batutulis. Namun ampun paralun sebenarnya pituin itu
adalah Eyang Buyut Wali Haji Sakti Jaya Mangkurat Jagat. Jika kembali berjalan
kearah utara, persis di depan Pasar Bale Kambang, terdapat bekas Prabu Pucuk
Umun. Sedang di Jalan Sangkuriang,
terdapat petilasan Ranggapati dan di Jalan Jaya Tunggal terdapat petilasan Kupa
Landak, salah seorang kepercayaan Siliwangi.
Salah satu tapak Sangiyang Tapak
Di
Bogor inilah Siliwangi menetap dan
tetap menghuni gua, sehingga komunitas kecil ini lebih memilih menghuni tempat ditepian
situ (danau) Sipatuhunan. Situ itu sesuai dengan harapan mereka karena
disekitar itu banyak terdapat ikan dan binatang yang menjadi bahan makanan
pokok. Situ Sipatahunan adalah danau
yang dialiri dan bersumber dari sungai Ciliwung bukan Cihaliwung. Cihaliwung
adanya di arah Selatan Batutulis sekarang.
Tentang Situ
Sipatahunan, letaknya memanjang dari
mulai aliran Ciliwung Gadog sampai Situ Duit Warung Jambu. Situ Sipatahunan
menyisakan tanah landai seperti Jalan Jalak Harupat Sempur, Jalan Otista dan
perkampugan-perkampungan lainnya yang seolah berada di daratan rendah atau lembah.
Sementara itu yang dapat menunjukan ketinggian tanah seperti sama tingginya di
Sukasari dengan di Bantarkemang, maupun Jalan Jend. Sudirman dengan Jalan
Ceremai. Sebab, jika kita berdiri di seberang Bogor Permai dan memandang kearah
timur, maka akan terasa sejajar berada diketinggian tanah di Jalan Ceremai
seberang sana. Sama halnya dengan di Sukasari Jalan Siliwangi, jika kita
melihat kearah timur, maka seakan sama berada diatas ketinggian tanah yang sama
seperti di Jalan Pajajaran Baranangsiang. Kondisi tanah yang sama tingginya
dapat diidentifikasi merupakan tanggul bibir Sipatahunan adalah mulai di
Sukasari terus memanjang kearah utara yaitu ; ke lokasi Kebun Raya, Istana,
Jalan Jend. Sudirman terus ke Jalan Jend. A. Yani. Sementara hal yang sama juga
dapat ditemui mulai dari Bantarkemang terus memanjang ke arah utara yaitu ; Jalan
Pajajaran ( Kebun Raya sebelah Timur ), terus ke arah Kalibata Warung Jambu.
Sehingga dahulu Situ Sipatahunan seluas dan selebar perkampungan yang sekarang
menjadi dataran rendah seperti Babakan Asem, Pulo Armin, Sukamulya, Pulo
Geulis, Belong, Babakan Pasar, Kebon Kelapa, bagian tengah Kebun Raya, Lebak
Kantin, Sempur, Kamp. Rambutan, Lebak Pilar, Bantarjati, Yapis dan Warung Jambu. Itulah daerah-daerah
genangan Situ Sipatuhunan. Dari dataran rendah itulah, maka jika hendak kearah
barat maupun ke timur harus mendaki karena jalan naik. Di lain pihak, posisi
Warung Jambu sebagai lahan akhir Sipatuhanan juga berada didataran rendah sebab
jika hendak ke arah selatan (Sukasari) apakah melalui Tanah Sareal maupun Kalibata,
jalannya menanjak mayat. Itulah Sipatahunan hanya kenangan belaka dan telah
berjasa telah memberi sumber kehidupan. Namun kepercayaan Pajajaran masih
setia mendiami bekas Situ Sipatahunan, disebelah
selatannya oleh Sibli Anshori dan di sebelah utara oleh Embah Dato.
Hilir Sipatahunan
Diperkirakan
Situ Sipatahunan jika dari hulu Sungai Ciliwung mulai dari Bantarkemang dan
berakhir di Warung Jambu. Mengenai lokasi danau itu, marilah selintas kita
simak ketika zaman Belanda. Kedatangan
Belanda perlu disinggung sebab terdapat korelasi dengan lokasi maupun
kepentingan bangsa Belanda. Setelah
beberapa tahun kehadiran Belanda di Boitenzorg, gundukan tanah yang
membentengi akhir situ itu dijebol dan dialirkan. Inisiatif Belanda beralasan agar air tidak
menggenangi serta untuk memudahkan menata pertanian. Sebagaimana diketahui
bahwa Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1602. Sedangkan G. W. Baron Van
Imhoff, membuat Istana Bogor pada tahun 1745. Kemungkinan pengerjaan
mengalirkan Sipatahunan waktunya mundur
sepuluh atau duapuluh tahun sebelum mendirikan Istana Bogor karena mereka
memerlukan jembatan untuk membawa
material bahan bangunan menuju lokasi yang kelak bernama istana Bogor. Sehingga
jembatan Situ Duit atau hilir Sipatahunan pengerjaannya dilakukan sekitar tahun
1725.
Situ
Sipatahunan dijaga kelestariannya karena Siliwangi
sangat berkepentingan dengan ikan dan binatang disekitarnya. Wilayah
Sipatuhunan yang berada dalam kawasan Salaka Domas atau hamparan bumi, Siliwangi menyebutnya salah satu Leuweung
Larangan ( Hutan Lindung), sebab disana banyak bahan makanan. Keberadaan hutan
tersebut dibarengi dengan kebiasaan larangan atau pamali (tidak boleh) memetik dedaunan apalagi pucuk pohon atau
bahkan menebang. Namun kini yang tersisa
hanya Kebon Raja, yang sekarang lebih terkenal dengan nama Kebun Raya dan
itulah yang disebut Leuweung Larangan. Leuweung Larangan ternyata menjadi
inspirasi bagi seorang bangsa Jerman yang bernama Profesor C.G.C Reinwardt. Ia
pada tahun 1817 di lokasi itu membuat kebun percobaan yang kelak bernama Kebun
Raya.
Hulu Sipatahunan
Kebon
Raja, begitulah orang tua dulu menyebut Istana dan Kebun Raya. Ternyata dalih
itu dikatakan karena di lokasi itu pertama bekas leluhur Pajajaran dan kedua
pernah dipergunakan oleh Ratu Wihelmina ketika zaman pendudukan Belanda. Bahkan
para pembesar Belanda pernah menghuni gedung Istana ini antara lain : G. W.
Baron Van Imhoff, Jacob Mosel, Wiliam Deanles, Thomas Stamford Raffles dan
pembesar lainnya. Para pejabat itulah yang dikatakan oleh penduduk Bogor
sebagai raja, sehingga menyebut Kebun Raya adalah Kebon Raja.
Pada
tahun 1935, gedung ini telah mencatat sejarah dan bahkan sagat berkesan bagi penduduk Bogor ketika
Ratu Wihelmina menikahkan putrinya Ratu Juliana dengan Pangeran Berhard.
Seluruh perkampungan dan jalan-jalan menuju gedung itu dihias sebagus mungkin agar terkesan meriah karena dalam acara hajatan itu Ratu
Wihelmina mengundang para kepala pemerintahan dari berbagai negara. Bagi
penduduk Bogor yang paling menyenangkan dijinkan memasuki halaman istana,
bahkan bagi siswa sekolah diberi kupon untuk ditukarkan dengan macam-macam kue
dan makanan hidangan. Dan setelah usai acara pernikahan ratu, beberapa saat
kemudian keluarlah cetakan uang logam Belanda yang disebut oleh orang tua dulu
“benggolan bolong”. Tanda bolong atau lubang ditengah-tengah uang
logam itu konon menurut kisah adalah konotasi atau menandakan ratu telah
menikah.
Di sekitar itulah Tapak-tapak Pajajaran dahulu berada.
Salah satu yang mungkin ingin ditunjukkan oleh leluhur pernah terjadi pada
tanggal 20 Februari 1970. Ketika itu di Istana Bogor diselenggarakan kegiatan
kemanusiaan untuk masyarakat Irian Jaya.
Kegiatan itu dimeriahkan oleh hiburan Band yang didukung oleh artis-artis
Ibukota. Kegiatan itu sangat meriah dan semua pengunjungpun merasa terhibur,
namun sekitar pada jam 13.00 lebih,
tiba-tiba dari arah selatan terlihat gulungan awan hitam mengarah ke Kebun
Raya. Ternyata gumpalan awan hitam itu disertai hujan angin sngat kencang dan
kuat. Maka sekejap saja dikawasan itu menjadi
hingar bingar karena hujan angin puting beliung. Pengunjung Kebun Raya maupun
di Istana berlarian tunggang langgang ketakutan karena angin begitu kuat dan
merobohkan pepohononan. Keadaan itu juga disertai teriakan histeris pengunjung
Kebun Raya yang menyelamatkan diri berdesakan menuju pintu keluar. Walaupun
kejadian itu hanya beberapa saat, namun banyak pohon yang roboh. Ditengah hiruk pikuk kecemasan
pengunjung, tiba-tiba dilantai salah satu ruangan Istana terlihat sebelah tapak kaki seolah-olah
lantai itu lunak, karena sebagaimana layaknya orang menginjak lumpur.
Orang-orang berusaha memotret obyek itu, namun hari itu juga setelah mereka
cuci film, ternyata tak nampak
gambarnya. Hasil foto mereka hanya menghasilkan hitam gelap. Kemudian ada
beberapa orang yang ingin kembali mengabadikan tapak kaki tadi, disana sudah
tidak ada lagi obyek yang akan dipotret dan lantainya kembali utuh seperti
tidak terjadi apa-apa.
Mungkin begitulah cara leluhur menampakan diri
dan alam disana menjadi saksi bisu. Kini bagian kecil Sipatuhunan, telah
berubah tetapi masih terdapat artefak Banteng Lilin Suku Gading, patung dan
Tulisan Sankala. Sementara tidak jauh dari bibir sungai Ciliwung terdapat
petilasan Guru Gantangan atau Pandan Soka, berdekatan dengan mulut goa yang
pernah dihuni oleh komunitas Siliwangi.
“Tonden Pakokolot Gadog”
Dilain
pihak tentang Cihaliwung yang beken dilantunkan oleh Pujangga Embah Pantun,
terletak di sebelah selatan Batutulis, persis di bawah petilasan Embah Dalem
Batutulis. Sungai kecil itu mengalir kearah selatan betemu dengan Kalimusana
selanjutnya bersama-sama bermuara ke sungai Cisadane yang mengalir kearah utara. Sungai Ciliwung maupun Cisadane merupakan
dua aliran sungai yang menjadi saksi bisu adanya Siliwangi, karena kedua sungai tersebut banyak kontribusi terhadap
kehidupan Siliwangi maupun
catatan terhadap petilasannya.
Tapak-tapak
lainnya yang ditinggalkan Siliwangi
di Sungai Ciliwung maupun di Sungai Cisadane, antara lain ; Batu di Ciliwung
Gadog pertemun dengan Ciesek, ketika disana saat Siliwangi menginjak usia remaja bernama Paksi Jaladara yang kelak orang menyebutnya Pakokolot Gadog. Sementara itu di Cisadane, disebelah barat
Rancamaya terdapat Batu Putih dan masyarakat sekitar menyebutnya Padungukan Haji Putih bertapa. Sedangkan tidak jauh dari Batu Putih terdapat Curug Bengkung dan kini curug itu
tidak berair lagi hanya tinggal kenangan saja. Namun biarlah musnah tanpa
kerana, hanya keturunan Siliwangi seringkali
menghibur diri dengan lantunannya :
Cihaliwung nungjang ngidul Cisadane nunjang ngaler
Pupuh putih Kalimusana Sakala Sangkuriang
Batu Putih sirna agung Patapaan Prabu Siliwangi
Sasaka Domas Curug Bengkung
Sirna tapa anu agung adalah Siliwangi
Hayu urang babarengan sasaka merah putih
Nu mantrang Batara Agung
Pusaka nu ngadeg di Pulo Jawa
Eyang Mbah Dalem Sri Pohaci
Ratu Agung Pajajaran cirina Situ Cipatahunan
Anu jadi Kebon Raya Sri Agung Tapak Agung
Anu nyalikan
Pajajaran
Mangadeg sang
pangadeg, pupuh rahayu pulo Jawa
Sasaka Sunda
Besar Sunda Kecil, nyatana Pajajaran Siliwangi
Laut Jawa anu
katelah nirwana cahaya rohman rohim.
Bait demi bait
itu silahkan terjemahkan secara arif bijaksana. Namun, walaupun Tapak Siliwangi
menjelang musnah, jejak leluhur tetap melekat disanubari keturunannya dan mereka
akan terus menelusuri sebagai upaya mencari
jatidiri. Memang tidak mudah mengungkap perjalanan leluhur, karena memerlukan
waktu lama dan memerlukan keikhlasan hati. Sejatinya. leluhur tidak menghendaki
laku lampahnya dipublikasikan maka sifatnya wenang. Kalau bisa ditelusuri
silahkan, tidak juga tidak masalah cuma
kalau “calutak” atau “nyeleneh” akan tahu akibatnya.
Konfirmasi Tapak Tulisan Batu dengan Buku
Tapak, diartikan
oleh masyarakat Bogor adalah bekas atau petilasan tersebar luas kemana arah
jejak leluhur menapakkan kakinya. Hanya saja tergantung memaknainya sebab ada yang bersifat bawaan
alam dan ada juga yang sengaja dibuat oleh leluhur. Memang yang sengaja
dibuatpun tetap dari alam, namun dibalik itu dikandung maksud sebagai tugu
peringatan bahwa leluhur pernah ada dan hidup disitu. Hanya batu yang dapat
dipergunakan waktu itu, karena batu dianggap paling banyak ditemui, kuat tahan
lama, sehingga batu dianggap efektif dapat mencatat jejaknya.
Mengenai
batu-batu yang dibuat sengaja sebagai prasasti, kenapa begitu mudah direka
seolah batu lembek ?!. Padahal zaman itu tidak ada alat yang lebih kuat
daripada batu !. Sebut saja contoh Batu
Tapak, Batu Tulis atau prasasti, Arca di
Gunung Gumuling di petilasan Purwakalih, artefak di Gunung Galuh Rumpin atau Batu Kedok, walau telah lekang karena usia zaman,
tapi masih nampak membekas dan terkesan jelas direka oleh andil tangan manusia.
Benarkah ?. Sejatinya bisa saja, karena kemurnian hati dan kesucian jiwa, dapat
melemahkan dan merubah benda sekeras apapun sesuai keinginan penciptaannya.
Itulah, selintas alasan leluhur
Pajajaraan terhadap benda keras yang disebut batu.
Batu Tapak lainnya terdapat di Cibalagung.
Jika berada di selatan maka harus melalui dulu Empang. Empang atau kulah
(bahasa Sunda) merupakan genangan hamparan air dari muara pertemuan kali Cipakancilan
dengan sungai Cisadane. Oleh karena itu Empang berada di daratan rendah jika dilihat
dari Jalan Pahlawan maupun dari Kampung
Muara. Kondisi demikian lagi-lagi oleh prakarsa Belanda dimanfaatkan untuk
mengairi lahan pertanian yang berada didaerah hilirnya. Maka pada tahun 1890,
bangsa asing membuat beberapa dam untuk pengaturan aliran sungai itu.
Batu Tapak Dakon Cibalagung Pasir Jaya
Mengenai Batu
Tapak di Cibalagung, lebih dikenal masyarakat daripada nama kampung yang menguasainya. Batu Tapak
itu berbentuk dakon yaitu batu berlubang seukuran diameter 7 cm dan berjumlah 8
lubang. Konon batu tersebut dipergunakan untuk meracik dedaunan maupun bahan makanan. Dan batu dakon
semacam itu juga terdapat di Cengkuk Pelabuhan Ratu serta di daerah Raga Wacana
Kuningan. Kedua tempat terakhir itupun adalah petilasan leluhur Pajajaran,
namun akan diuraikan dilain kesempatan.
Tapak-tapak
lainnya seperti yang terdapat di Jalan Sangkuriang, sangat membahagiakan karena situs Ranggapati itu
terawat lumayan baik. Ranggapati merupakan salah seorang kepercayaan Siliwangi. Sedangkan kepercayaan
lainnya yaitu ; Eyang Rangga Gading, Eyang Kidang Pananjung, Eyang Natadani,
Eyang Kupa Landak. Petilasan Eyang Rangga Gading di Pamoyanan, Eyang Kidang
Pananjung yang dikenal Mbah Dalem Kedug Badak, Eyang Kupa Landak tidak jauh
Eyang Ranggapati. Hanya menuju ke lokasi Eyang Kupa Landak tidak ada akses
malah terkesan susah, jadi memerlukan turun tangan pemerintah. Sementara lokasi Eyang Natadani cukup baik
karena perhatian dari pihak yang berkompeten walaupun tempatnya bergeser dari
semula dengan alasan tergerus kali. Dan disekitar Eyang Natadani dahulu masih
terdapat batu yang dinamakan Pangapungan. Konon menurut kisah orang tua dulu,
bahwa batu pangapungan itu sebagai
sarana semedi bila leluhur akan menuju ke suatu daerah tertentu. Namun sayang
batu itu telah lenyap, entah kemana. Dilain pihak bukit punden Badigul yang
dahulu kala suka digunakan sebagai tempat pertapaan, sudah mulai diabaikan.
Situs Ranggapati
Memang sangat
disayangkan tapak bekas nenek moyang banyak yang hilang padahal mungkin ada
baiknya petilasan tidak berpindah tempat atau berpindah tangan dan menjadi
milik pribadi. Disamping orang-orang kepercayaan
tadi diatas, sebenarnya masih perlu perhatian dari pihak yang merasa keturunan
memperhatikan karuhun kepercayaan Siliwangi,
seperti ; Eyang Pangiring, Eyang Nurbuat, Eyang Surya Lukman yang lokasinya
tidak jauh dari Batutulis. Bahkan Petilasan Eyang Ciung Wanara yang merupakan
keluarga dekat Siliwangi kondisinya
memprihatinkan.
Jika diabaikan
oleh anak keturunan, apalagi pihak lain
yang tidak ada kaitannya. Lalu siapa yang akan merawat atau melestarikan Tapak
Tapak Pajajaran ? Silahkan renungkan.
Cag...
Penulisan markup di komentar
- Untuk menulis huruf bold silahkan gunakan
<strong></strong>
atau<b></b>
. - Untuk menulis huruf italic silahkan gunakan
<em></em>
atau<i></i>
. - Untuk menulis huruf underline silahkan gunakan
<u></u>
. - Untuk menulis huruf strikethrought silahkan gunakan
<strike></strike>
. - Untuk menulis kode HTML silahkan gunakan
<code></code>
atau<pre></pre>
atau<pre><code></code></pre>
, dan silahkan parse dulu kodenya pada kotak parser di bawah ini.
Show Parser Box
Facebook
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai
5 komentar
sebagai keturunan nya hanya bisa berdoa supaya urang sunda ulah poho ka Rajana moal aya cai lamun euweh liangna ?pajajaran lain milik katurunanna hungkul tapi milik urang kabeh nu rumasa kusaha deui atuh mun lain ku urang umumna di jawabarat
Balassalam kasadayana ti abdi urang sunda nu nyaah kana budayana yu urang sauyunan jaga sajarah karuhun/seuseupuh cikal bakal urang sadayana lestarikan dina hate ulah poho kana wiwitan .Wasalam kang prabu sampurasun
BalasSenopati ranggapati diwulung.. karuhun kuring. Eyang kuring.. ieu incu kersa bkal nyondong ti pakudulan nepangan k peristirahatan terakhir eyang. Insyaallah.. gening di tepangkeun ku gaib th aya nyatana..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)