TAPAK TAPAK PAJAJARAN

TAPAK TAPAK PAJAJARAN
Oleh : Moh. Sjafei & Sapta Cakra


Tapak atau bekas atau peninggalan atau patilasan atau artefak merupakan bukti bahwa  dahulu kala   dibuat oleh manusia yang hidup pada zaman itu. Memang menurut artefak yang dibuat itu, tidak meninggal catatan siapa yang membuat,  dimana dan  kapan dibuatnya. Oleh karena itu, memang sangat menyulitkan sehingga tidak  ada kepastian untuk pertanggungjawaban secara teoritis. Jika menelusuri jejak Pajajaran, harus dikunjungi bekas jejaknya dan tidak bisa mengandalkan dari cerita saja atau dari buku saja. Apalagi dari meditasi, tidak akan mendekati akurasi. 

Salah satu tulisan sankala saat ini

Tentang Pajajaran  yang diketahui selama ini dan berkembang ditengah-tengah keturunannya, banyak bersumber dari sejarah referensi perjalanan bangsa Belanda. Sebagaimana diketahui, bahwa catatan tim ekspedisi bangsa Belanda perlu di hormati namun alangkah nisbinya keturunan Pajajaran malah lebih yakin terhadap catatan bangsa lain. Padahal tim ekspedisi Belanda tidak mengalami zaman itu, mereka  hanya mencatat penemuan yang diperoleh informasi dari penduduk yang ditemuinya. Dan paling kurang berkenan, bahwa awal kehidupan nenek moyang berasal dari India ?. Tetapi malah sebaliknya India menjadi salah satu tempat pengembaraan Pajajaran.

Selain itu, mengenai Pajajaran-Siliwangi belum menjadi  kesepakatan khususnya masyarakat yang mengakui keturunannya. Taruma-Sunda-Pajajaran, tidak dalam kawasan sempit suatu wilayah, dan tidak menetap selama-lamanya disuatu tempat. Tetapi melakukan pengembaraan jauh dari jangkauan perkiraan manusia sekarang.  Leluhur itu melakukan petualangan bertujuan memperbanyak keturunan. Untuk hal itu diperlukan jembar manah. Memang tidaklah mudah untuk mencapai kesepakatan, karena Pajajaran telah meninggalkan bekas di setiap daerah sesuai perjalanannya.

            Pajajaran, pengertiannya menjajarkan keturunan. Pada masa itu, Siliwangi yang menjadi tokoh Pajajaran hadir di jagat raya ini sebelum banyak manusia. Menurut catatan sumber kami, kelahiran Siliwangi terjadi pada tahun Ha. Tahun Ha, adalah huruf  tetapi jika dikonfirmasi ke angka kira-kira tahun berapa ?. Entahlah. Malah belum ada yang namaya Pajajaran pada zaman itu. Penyebutan Pajajaran mulai diperkenalkan setelah Siliwangi melakukan perjalanan pengembaraannya. Sehingga jika dikatakan terdapat kerajaan Pajajaran juga kiranya kurang tepat karena tidak ada bekas yang menunjukan adanya bangunan keraton. Sebab yang namanya kerajaan akan identik jika dihubungkan dengan adanya  bangunan istana atau keraton.  Jika terdapat bangunan istana atau keraton, logikanya di zaman itu sudah adanya bahan bangunan maupun alat-alat yang mendukungnya. Sedangkan pada zaman Siliwangi jumlah manusia saja sedikit, belum ada alat alat untuk pembangunan apalagi ada seorang arsitek tidak ada sama sekali. Apalagi jika dikatakan terdapat bahan besi untuk membuat keraton, sama sekali tidak ada.

Realita yang ditemui bahwa besi adanya berbarengan dengan kehadiran bangsa Belanda membuat jalan kereta api sekitar abad ke 18. Malah ada informasi bahwa pembuatan jalan kereta api Semarang-Jogya dilakukan pada tahun 1864. Jadi perlu ditinjau lagi yang menyebutkan zaman Siliwangi sudah ada istana, tetapi kalau zaman keturunannya mungkin saja.  Zaman Siliwangi itu benar-benar dalam suasana gelap dan bahkan terkesan primitif atau masih pra budaya.

Salah satu mulut goa yang pernah dihuni Siliwangi

             Budaya menurut pengertian penulis, adalah sesuatu sikap, tindakan, perbuatan yang dilakukan berulang-ulang yang disepakati, diakui dan dilanjutkan menjadi kebiasaan pada masa itu serta dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Sedangkan pada saat itu populasi keberadaan manusia masih terbatas dan amat sedikit. Sikap maupun perilaku manusia belum mengenal etika pergaulan dan budaya bersolek.  Konkritnya, cara berpakaian saja asal-asalan, badannya hanya ditutupi dengan kulit binatang atau dengan upih atau pelepah pinang. Sementara rambutnya panjang gimbal. Kukunya panjang tak terurus. Cobalah bayangkan, postur tubuh yang tinggi besar dengan rambut jabrik, kuku panjang serta busana hanya seadanya menutup organ tubuh,  sehingga layak jika dikatakan belum berbudaya secara paripurna.

            Kondisi zaman itu, hukum yang berlaku adalah hukum rimba siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Suasana alam kehidupan yang tidak diiringi dengan aturan, siapapun memiliki kesempatan sama untuk berkuasa dengan syarat dapat menaklukan alam dan manusia sekitarnya. Menundukkan alam menjadi penting karena alam dipenuhi binatang buas untuk dijadikan makanan manusia, dan sebaliknya binatang buas juga selalu mengincar manusia itu sendiri untuk menjadi santapannya.    Sehingga antar  manusia dengan binatang menjadi saling mengancam kehidupannya masing-masing.  Dilain pihak  hubungan antar manusia juga tidaklah harmonis, mereka saling membunuh untuk memperebutkan sesuatu yang menjadi keinginannya. Pertikaian antar mereka, banyak disebabkan perebutan makanan, penguasaan kawasan dan pula karena memperebutkan wanita. Namun pertikaian antar manusia tidak sesering dengan binatang, sebab jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Apalagi jika digambarkan adanya peperangan, mana mungkin terjadi dan apa penyebab peperangan ? sedang cara berpikir mereka saja tidak semaju manusia sekarang tetapi qodrat akal telah dimiliki. 

Benarkah Pajajaran Siliwangi terjadi pada zaman itu pra budaya ? Marilah disimak sejenak ke masa lalu. Salah satu peninggalan Pajajaran adalah batu dan batu,  karena memang benda itulah salah satu peninggalan leluhur. Batu yang kita kenal merupakan benda keras yang memiliki sifat tidak berubah usik maliknya dari sejak diciptakan bersamaan dengan jagat ini.  Batu tidak mudah lekang oleh waktu dan zaman. Ia merupakan benda padat sebagai saksi kehidupan mahluk sekitarnya.

 
Padatala tapak kaki

 Oleh karena itu, kiranya wajar jika Siliwangi meninggalkan jejaknya yang ditandai dengan batu karena batu bisa berumur lama, panjang dan tidak berubah jika tidak diusik oleh manusia. Siliwangi menyiratkan tulisan pada batu, dan batu pula yang senantiasa dijadikan tanda tempat-tempat yang pernah disinggahinya. Batu selain ditandai dengan tulisan, juga ditandai dengan tapak kaki atau tapak tangan. Sehingga ada 5 kesaksian pada batu yang ditandai Siliwangi.  Pertama batu, kedua tulisan, ketiga lambang matahari, keempat padatala tapak tangan dan kelima padatala tapak kaki. 

Karena batu itu pula, yang memudahkan penulis ke obyek yang dituju untuk menelusurri Pajajaran dan Siliwangi. Selain batu yang dijadikan tonggak petilasannya, terdapat pula batu yang dijadikan untuk tempat berlindung sebagaimana layaknya tempat hunian kelompok manusia. Bebatuan, disusun sedemikian rupa sebagaimana lajimnya goa sehingga mereka terlindung dari hujan, angin dan terik  panas matahari maupun ancaman binatang buas.

Batu batu yang mengisyaratkan petilasan itu, dapat ditemukan di atas dataran tinggi atau malah di pinggir sungai. Hal itu dilakukan ternyata dengan alasan tertentu, misalnya dipinggir sungai ;  karena salah satu makanan pokoknya adalah ikan. Alasan pembuatan tempat bernaung di dataran tinggi, karena dahulu di bagian bawahnya terdapat genangan air. Sehingga sekarang nampak berada di dataran tinggi padahal karena penyusutan  air dan perubahan alam seolah-olah berada atas.

Untuk menunjang dan mempertahankan hidup, terpenting mereka membuat alat untuk membela diri semacam gada.  Kemudian, mereka buat batu yang diruncingkan seperti kapak yang digunakan untuk memotong atau membelah  benda. Mereka juga  membuat batu lonjong dibagian ujungnya runcing, yang kita kenal  semacam tombak atau linggis.  Batu dan batu itulah dibuat sebagai alat untuk kebutuhan  hidup. Dan batu batu itulah yang kemudian oleh cerdik pandai diberi  nama ; Batu tulis, batu punden berundak, batu lingga, batu yoni, batu dakon, batu karut, batu dongdang, batu kasur, batu pengapungan dan lain sebagainya. Pemberian nama untuk memudahkan pengenalan dan nama-nama itu yang diidentifikasi sesuai bentuknya. Selain batu model tersebut, terdapat pula pembuatan  patung banteng yang diberi nama Banteng Lilin Suku Gading atau Sapi Gumarang. Konon arca banteng tersebut identik dengan symbol Banteng Andini tunggangan Batara Guru. Patung Sapi Gumarang itu berada di kawasan Kebun Raya.


 
Banteng Lilin Suku Gading atau Sapi Gumarang

Batu,  yang kemudian di jadikan artefak, selama ini banyak yang tidak lagi berada ditempat awal Siliwangi meninggalkannya. Padahal dengan berpindah tempat menyebabkan kesulitan untuk penelusuran rekam jejak  Pajajaran,  dan kepindahan  letak batu disebabkan oleh banyak kepentingan. Malah mungkin ada pula  yang menjadi milik pribadi. Memang ironis, banyak yang tidak terawat serta nyaris hancur. Selama ini, batu-batu bersejarah yang berada di tempat-tempat tertentu bukanlah berasal dari lokasi itu, tetapi dikumpulkan dari beberapa tempat yang tidak didiskrifsikan sehingga agak menyulitkan malah nantinya bisa mengaburkan alur sejarah.

Walaupun hanya sebuah batu, kiranya diperlukan perhatian dari semua pihak terutama keturunan Pajajaran, sebab perjalanan pengembaraan Siliwangi  selalu ditandai dengan batu. Petualangan  Siliwangi ke seantaro jagat bukan hal mustahil hanya untuk memperbanyak keturunan, namun yakin Yang Maha Kuasa Pencipta-Nya mempunyai rencana selain itu pula.

Batu Dakon

Siliwangi walaupun  diwarisi senjata alam yang bernama Kujang jarang dipergunakan, hanya sewaktu-waktu dalam keadaan darurat saja. Konon Kujang yang dimiliki oleh Siliwangi berbahan besi kuning. Senjata itu tidak sembarang orang dapat memiliki karena kujang tersebut bukan semacam pisau atau keris yang selalu disandang tetapi digunakan pada hal tertentu saja. Konon, apabila pemiliknya memerlukan Kujang, bisa muncul secara tiba-tiba sehingga wujud pemiliknya tidak nampak terlihat mata seolah-olah tidak ada. Itulah Kujang yang sejatinya.

Perjalanan Siliwangi juga selalu diiringi dengan kegiatan perburuan binatang untuk bahan makan dagingnya, sementara kulitnya untuk penutup badan. Namun dalam perburuan keluar masuk belantara, jika menjumpai wanita maka tak ayal langsung dikawin. Dimanapun dan kapanpun sepanjang petualangan itu berlangsung, maka Siliwangi memiliki banyak isteri dan keturunan. Dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu gunung ke gunung lain, selalu ditandai oleh Siliwangi dengan batu untuk dijadikan tonggak peringatan seolah tanah itu telah disinggahi. Ada batu yang pernah dijadikan pertapaan ada pula yang disusun semacam gundukan batu yang diperkirakan mengubur sesuatu didalamnya.

Selama pengembaraan, Siliwangi berjiwa gigih, tidak pernah kalah dan menyerah  dalam pertarungan menaklukan binatang buas maupun pertarungan dengan manusia. Oleh karena itu, ditiap tempat namanyapun harum mewangi dan disegani. Sedangkan nama-nama lainnya banyak disesuaikan dengan waktu, kejadian, atau nama panggilan kesayangan dan  kadang sekedar julukan. Nama lain Siliwangi  atau alias yaitu ; Sangiyang Tapak. Nama itu terjadi pada saat kejadian menandai tulisannya pada batu yang disertai padatala Tapak Tangan atau Tapak Kaki. Atau nama Badak Buana atau Cakra Buana atau Sangiyang Kilat Buana. Nama Kilat Buana, bila berkenan ke suatu tempat bisa datang secepat kilat.  Sangiyang Sankala Gotama atau Sisinga Puspa Dewa Gotama atau Puspa Raja atau Prabu Siliwangi. Ada pula nama Mulawarman, Purnawarman dan Adityawarman serta Jalak Sutra. Selain itu ada pula sebutan Kuncung Putih atau Haji Putih atau Haji Qodratulah dan banyak lagi julukan lainnya. Tetapi ketika masa kecil nama Siliwangi adalah Pancawala. Putra Mahadewata Agung Sangiang Tunggal (salah satu sebutannya) dan Ibunya Ratu Ayu Rangrang Kembang Kolengkangsari (salah satu sebutannya).

Dari Gunung Galuh yang kelak bernama Gunung Munara Bogor, Siliwangi mengawali hidupnya. Masa kini, disebut Gunung Munara karena disana terdapat batu menjulang tinggi bagaikan menara mesjid. 
Gunung Galuh atau Munara

Adapun nama dan gelar Siliwangi tersebut sejalan dengan zaman yang menyertai alam. Seperti gelar Sangiyang, sebutan itu digunakan ketika alam dinamai zaman Hindu. Selanjutnya gelar Prabu, hal itu juga diistilahkan pada zaman Budha. Sampai zaman Islam nama Siliwangi juga menyandang nama Islam seperti Haji Putih dan Haji Qodratullah. Jika demikian, Siliwangi berada sepanjang zaman ?. Mungkin ! Siliwangi dibilang ada, bisa. Karena masih ada orangtua tertentu dapat berkomunikasi secara batiniah serta menyiratkan dalam bentuk tulisan. Dikatakan tidak ada, memang. Karena Siliwangi tidak nampak berwujud. Jadi tergantung dari sudut mana memandang.
 
Tujuan utama pengembaraan Siliwangi adalah untuk meramaikan jagat nusantara, dalam perjalananpun tidak dengan kekerasan maupun peperangan tetapi  dengan misi Aji Muroh yang berarti mencari jati diri dan mengasah pangaweruh tanpa guru. Sehingga seisi alam yang diciptakan Yang Maha Kuasa, oleh  Siliwangi dianggap sesama mahluk maka perlu menyelaraskan antara ilmu pangeweruh dengan alam. Karena pada alam terdapat tempat-tempat tertentu yang bernuansa bermanfaat dan bermaunat bagi diri sendiri maupun bagi orang banyak.

Dari Gunung Galuh, kemudian menghuni Gunung Gumuling yang kelak bernama Gunung Kapur Ciampea. Dinamakan Gunung Gumuling, karena salah satu nama Siliwangi alias Sangiyang Gumuling. Beberapa waktu setelah menghuni Gunung Gumuling, disana meninggalkan  arca walaupun dibuat terkesan asal-asalan. Arca tersebut kini tinggal satu berada ditempatnya, sedangkan arca yang lainnya sejak tahun 1976 dipindahkan ke Pasir Angin Leuwiliang. Tentang bentuk arca yang asal jadi,   menunjukan  bahwa komunitas manusia pada zamannya belum begitu terampil membuat arca, sehingga tidak sebagus bentuk aslinya bahkan mungkin terkesan kurang memiliki nilai seni.

Batu Kedok

Di arah sebelah barat Gunung Gumuling, tepatnya dipinggir sungai pertemuan Cisadane dengan sungai Ciareuten,  terdapat batu ditandai dengan tulisan sankala dan Tapak Kaki.  Pergerakan rombongan kecil Siliwangi dan keluarga diperkirakan juga bergerak menuju Panyaungan Pasir Jambu terus berlanjut ke Pasir Awi Jonggol.

Setelah menggalkan artefak tulisan dan padatala kaki di Jonggol, kemudian bergerak kearah selatan dan menetap di Cibedug Raden. Disini garwa Siliwangi melahirkan seorang putra yang kelak menjadi tokoh Siliwagi generasi berikutnya.  Di lokasi Cibedug Raden, terdapat Batu Kedok, Batu Dongdang, Batu Karut dan Batu Kasur. Khususnya Batu Kedok menggambarkan wajah seseorang, namun sayang batu tersebut nyaris hancur. Padahal kawasan itu salah satu terpenting peninggalan Siliwangi dan cikal bakal adanya Pajajaran. Lokasi itu dinamai Hang Tua Pajajaran, malah ada nama Fadlatuh laduni wal yaumil kiamah sodakallahu Sapujagat.  

Dan ketika Siliwangi berada di Batutulis, menamai tempat itu Syaiful haq bil goib.  Jika diartikan   bagai pedang tajam dari alam yang tidak terlihat. .Mungkin maksudnya, berdoa atau ilmu ditempat itu setajam pedang goib !. Lalu kenapa dengan kalimat Islam ? Padahal zaman itu belum ada yang namanya agama yang ada ageman benarkah ?. Hanya perlu dimaklumi, konon Siliwangi ketika lahir ke dunia keadaan kulupnya sudah bersunat, maka Siliwangi dikatakan juga Slam Tunggal.

.
Batutulis

            Memang antara zaman Siliwangi dengan kehadiran zaman Islam berbeda jauh, tetapi Siliwangi telah diwarisi ilmu pengetahuan tentang Islam yang disebutnya agama anyar.  Padahal zaman Batutulis ketika membuat tulisan dan padatala tapak kaki pada bulan terang pada 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan adanya Islam pada tahun 625 Masehi seiring dengan zaman Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana keyakinan keturunan Pajajaran, menyatakan bahwa Siliwangi dibilang ada, ada. Dibilang tidak ada, memang karena tidak terlihat kasat mata. 

Di Batutulis  inilah tapak petilasan tokoh diabadikan diantaranya bekas Salaka Domas, bekas Nawang Wulan. Disebelah selatannya terdapat petilasan  Sangiyang Resi Sinuhun Agung Purwakalih dan diseberangnya terdapat petilasan Embah Dalem Batutulis. Namun ampun paralun sebenarnya pituin itu adalah Eyang Buyut Wali Haji Sakti Mangkurat Jagat. Jika kembali berjalan kearah utara, persis di depan Pasar Bale Kambang, terdapat bekas keluarga Siliwangi yaitu Prabu Pucuk Umun.  Sedang di Jalan Sangkuriang, terdapat petilasan Ranggapati dan di Jalan Jaya Tunggal terdapat petilasan Kupa Landak, salah seorang kepercayaan Siliwangi.

Tapak Tapak Pajajaran diataranya Tapak Tangan dan Tapak Kaki.  Namun khusus Tapak Tangan maupun Tapak Kaki ternyata memiliki makna yang inspiratif terutama bagi keturunan Pajajaran. Jika direnungkan, setiap muslim manakala berwudhu hendak melakukan salat, diawali  membersihkan telapak tangan dan diakhiri dengan membersihkan telapak kaki. Apa mungkin ada hubungannya antara artefak Pajajaran dengan berwudhu ?. Karena wudhu identik dengan mensucikan diri untuk menghadap Ilahi Robbi. Lalu kenapa Siliwangi selalu menandai telapak tangan dan telapak  kaki, apa hal itu symbol isyarat dimasa mendatang akan ada ajaran agama anyar  atau agama Islam ? dan setiap orang perlu menjaga  kesucian diri, namun silahkan renungkan dan artikan secara paripurna serta bijaksana.

            Cag !


Baca Selengkapnya

TAPAK TAPAK PAJAJARAN


LANJUTAN  1
TAPAK TAPAK PAJAJARAN
Oleh Moh. Sjafei & SC

            Sebagaimana telah disinggung pada tulisan Tapak Tapak Pajajaran, bahwa  Siliwangi dibilang ada, ada. Dibilang tidak ada, memang karena tidak terlihat kasat mata.  Dan telah diulas pula, bahwa  Tapak Tapak Pajajaran diantaranya Tapak Tangan dan Tapak Kaki.  Namun khusus Tapak Tangan maupun Tapak Kaki ternyata memiliki makna yang inspiratif terutama bagi keturunan Pajajaran. Jika direnungkan, setiap muslim manakala berwudhu hendak melakukan salat, diawali  membersihkan telapak tangan dan diakhiri dengan membersihkan telapak kaki. Apa mungkin ada hubungannya antara artefak Pajajaran dengan berwudhu ?. Karena wudhu identik dengan mensucikan diri untuk menghadap Ilahi Robbi. Lalu kenapa Siliwangi selalu menandai telapak tangan dan telapak  kaki, apa hal itu symbol isyarat dimasa mendatang akan ada ajaran agama anyar  atau agama Islam ? dan setiap orang perlu menjaga  kesucian diri. Mungkin, namun silahkan renungkan dan artikan secara paripurna serta bijaksana.
           
Di Batutulis  inilah tapak petilasan tokoh diabadikan disamping batutulis, ada pula bekas Salaka Domas, bekas Nawang Wulan. Disebelah selatannya terdapat petilasan  Sangiyang Resi Sinuhun Agung Purwakalih dan diseberangnya terdapat petilasan Embah Dalem Batutulis. Namun ampun paralun sebenarnya pituin itu adalah Eyang Buyut Wali Haji Sakti Jaya Mangkurat Jagat. Jika kembali berjalan kearah utara, persis di depan Pasar Bale Kambang, terdapat bekas Prabu Pucuk Umun.  Sedang di Jalan Sangkuriang, terdapat petilasan Ranggapati dan di Jalan Jaya Tunggal terdapat petilasan Kupa Landak, salah seorang kepercayaan Siliwangi.

Salah satu tapak Sangiyang Tapak

            Di Bogor inilah Siliwangi menetap dan tetap menghuni gua, sehingga komunitas kecil ini lebih memilih menghuni tempat ditepian situ (danau) Sipatuhunan. Situ itu sesuai dengan harapan mereka karena disekitar itu banyak terdapat   ikan dan binatang yang menjadi bahan makanan pokok.   Situ Sipatahunan adalah danau yang dialiri dan bersumber dari sungai Ciliwung bukan Cihaliwung. Cihaliwung adanya di arah Selatan Batutulis sekarang.

Tentang Situ Sipatahunan,  letaknya memanjang dari mulai aliran Ciliwung Gadog sampai Situ Duit Warung Jambu. Situ Sipatahunan menyisakan tanah landai seperti Jalan Jalak Harupat Sempur, Jalan Otista dan perkampugan-perkampungan lainnya yang seolah berada di daratan rendah atau lembah. Sementara itu yang dapat menunjukan ketinggian tanah seperti sama tingginya di Sukasari dengan di Bantarkemang, maupun Jalan Jend. Sudirman dengan Jalan Ceremai. Sebab, jika kita berdiri di seberang Bogor Permai dan memandang kearah timur, maka akan terasa sejajar berada diketinggian tanah di Jalan Ceremai seberang sana. Sama halnya dengan di Sukasari Jalan Siliwangi, jika kita melihat kearah timur, maka seakan sama berada diatas ketinggian tanah yang sama seperti di Jalan Pajajaran Baranangsiang. Kondisi tanah yang sama tingginya dapat diidentifikasi merupakan tanggul bibir Sipatahunan adalah mulai di Sukasari terus memanjang kearah utara yaitu ; ke lokasi Kebun Raya, Istana, Jalan Jend. Sudirman terus ke Jalan Jend. A. Yani. Sementara hal yang sama juga dapat ditemui mulai dari Bantarkemang terus memanjang ke arah utara yaitu ; Jalan Pajajaran ( Kebun Raya sebelah Timur ), terus ke arah Kalibata Warung Jambu. Sehingga dahulu Situ Sipatahunan seluas dan selebar perkampungan yang sekarang menjadi dataran rendah seperti Babakan Asem, Pulo Armin, Sukamulya, Pulo Geulis, Belong, Babakan Pasar, Kebon Kelapa, bagian tengah Kebun Raya, Lebak Kantin, Sempur, Kamp. Rambutan, Lebak Pilar, Bantarjati, Yapis  dan Warung Jambu. Itulah daerah-daerah genangan Situ Sipatuhunan. Dari dataran rendah itulah, maka jika hendak kearah barat maupun ke timur harus mendaki karena jalan naik. Di lain pihak, posisi Warung Jambu sebagai lahan akhir Sipatuhanan juga berada didataran rendah sebab jika hendak ke arah selatan (Sukasari) apakah melalui Tanah Sareal maupun Kalibata, jalannya menanjak mayat. Itulah Sipatahunan hanya kenangan belaka dan telah berjasa telah memberi sumber kehidupan. Namun kepercayaan Pajajaran masih setia   mendiami bekas Situ Sipatahunan, disebelah selatannya oleh Sibli Anshori dan di sebelah utara oleh Embah Dato.

                                                                                   Hilir Sipatahunan

            Diperkirakan Situ Sipatahunan jika dari hulu Sungai Ciliwung mulai dari Bantarkemang dan berakhir di Warung Jambu. Mengenai lokasi danau itu, marilah selintas kita simak ketika zaman Belanda.  Kedatangan Belanda perlu disinggung sebab terdapat korelasi dengan lokasi maupun kepentingan bangsa Belanda. Setelah  beberapa tahun kehadiran Belanda di Boitenzorg, gundukan tanah yang membentengi akhir situ itu dijebol dan dialirkan.  Inisiatif Belanda beralasan agar air tidak menggenangi serta untuk memudahkan menata pertanian. Sebagaimana diketahui bahwa Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1602. Sedangkan G. W. Baron Van Imhoff, membuat Istana Bogor pada tahun 1745. Kemungkinan pengerjaan mengalirkan  Sipatahunan waktunya mundur sepuluh atau duapuluh tahun sebelum mendirikan Istana Bogor karena mereka memerlukan jembatan  untuk membawa material bahan bangunan menuju lokasi yang kelak bernama istana Bogor. Sehingga jembatan Situ Duit atau hilir Sipatahunan pengerjaannya dilakukan sekitar tahun 1725.

            Situ Sipatahunan dijaga kelestariannya karena Siliwangi sangat berkepentingan dengan ikan dan binatang disekitarnya. Wilayah Sipatuhunan yang berada dalam kawasan Salaka Domas atau hamparan bumi, Siliwangi menyebutnya salah satu Leuweung Larangan ( Hutan Lindung), sebab disana banyak bahan makanan. Keberadaan hutan tersebut dibarengi dengan kebiasaan larangan atau pamali (tidak boleh) memetik dedaunan apalagi pucuk pohon atau bahkan menebang.  Namun kini yang tersisa hanya Kebon Raja, yang sekarang lebih terkenal dengan nama Kebun Raya dan itulah yang disebut Leuweung Larangan. Leuweung Larangan ternyata menjadi inspirasi bagi seorang bangsa Jerman yang bernama Profesor C.G.C Reinwardt. Ia pada tahun 1817 di lokasi itu membuat kebun percobaan yang kelak bernama Kebun Raya.

Hulu Sipatahunan

            Kebon Raja, begitulah orang tua dulu menyebut Istana dan Kebun Raya. Ternyata dalih itu dikatakan karena di lokasi itu pertama bekas leluhur Pajajaran dan kedua pernah dipergunakan oleh Ratu Wihelmina ketika zaman pendudukan Belanda. Bahkan para pembesar Belanda pernah menghuni gedung Istana ini antara lain : G. W. Baron Van Imhoff, Jacob Mosel, Wiliam Deanles, Thomas Stamford Raffles dan pembesar lainnya. Para pejabat itulah yang dikatakan oleh penduduk Bogor sebagai raja, sehingga menyebut Kebun Raya adalah Kebon Raja.

            Pada tahun 1935, gedung ini telah mencatat sejarah dan bahkan  sagat berkesan bagi penduduk Bogor ketika Ratu Wihelmina menikahkan putrinya Ratu Juliana dengan Pangeran Berhard. Seluruh perkampungan dan jalan-jalan menuju gedung itu dihias sebagus mungkin  agar terkesan  meriah karena dalam acara hajatan itu Ratu Wihelmina mengundang para kepala pemerintahan dari berbagai negara. Bagi penduduk Bogor yang paling menyenangkan dijinkan memasuki halaman istana, bahkan bagi siswa sekolah diberi kupon untuk ditukarkan dengan macam-macam kue dan makanan hidangan. Dan setelah usai acara pernikahan ratu, beberapa saat kemudian keluarlah cetakan uang logam Belanda yang disebut oleh orang tua dulu “benggolan bolong”.   Tanda bolong atau lubang ditengah-tengah uang logam itu konon menurut kisah adalah konotasi atau menandakan ratu telah menikah.

Di sekitar  itulah Tapak-tapak Pajajaran dahulu berada. Salah satu yang mungkin ingin ditunjukkan oleh leluhur pernah terjadi pada tanggal 20 Februari 1970. Ketika itu di Istana Bogor diselenggarakan kegiatan kemanusiaan untuk  masyarakat Irian Jaya. Kegiatan itu dimeriahkan oleh hiburan Band yang didukung oleh artis-artis Ibukota. Kegiatan itu sangat meriah dan semua pengunjungpun merasa terhibur, namun sekitar  pada jam 13.00 lebih, tiba-tiba dari arah selatan terlihat gulungan awan hitam mengarah ke Kebun Raya. Ternyata gumpalan awan hitam itu disertai hujan angin sngat kencang dan kuat.  Maka sekejap saja dikawasan itu menjadi hingar bingar karena hujan angin puting beliung. Pengunjung Kebun Raya maupun di Istana berlarian tunggang langgang ketakutan karena angin begitu kuat dan merobohkan pepohononan. Keadaan itu juga disertai teriakan histeris pengunjung Kebun Raya yang menyelamatkan diri berdesakan menuju pintu keluar. Walaupun kejadian itu hanya beberapa saat, namun banyak pohon  yang roboh. Ditengah hiruk pikuk kecemasan pengunjung, tiba-tiba dilantai salah satu ruangan Istana   terlihat sebelah tapak kaki seolah-olah lantai itu lunak, karena sebagaimana layaknya orang menginjak lumpur. Orang-orang berusaha memotret obyek itu, namun hari itu juga setelah mereka cuci  film, ternyata tak nampak gambarnya. Hasil foto mereka hanya menghasilkan hitam gelap. Kemudian ada beberapa orang yang ingin kembali mengabadikan tapak kaki tadi, disana sudah tidak ada lagi obyek yang akan dipotret dan lantainya kembali utuh seperti tidak  terjadi apa-apa.
    
 Mungkin begitulah cara leluhur menampakan diri dan alam disana menjadi saksi bisu. Kini bagian kecil Sipatuhunan, telah berubah tetapi masih terdapat artefak Banteng Lilin Suku Gading, patung dan Tulisan Sankala. Sementara tidak jauh dari bibir sungai Ciliwung terdapat petilasan Guru Gantangan atau Pandan Soka, berdekatan dengan mulut goa yang pernah dihuni oleh komunitas Siliwangi.

“Tonden Pakokolot Gadog”

            Dilain pihak tentang Cihaliwung yang beken dilantunkan oleh Pujangga Embah Pantun, terletak di sebelah selatan Batutulis, persis di bawah petilasan Embah Dalem Batutulis. Sungai kecil itu mengalir kearah selatan betemu dengan Kalimusana selanjutnya bersama-sama bermuara ke sungai Cisadane yang   mengalir kearah utara.   Sungai Ciliwung maupun Cisadane merupakan dua aliran sungai yang menjadi saksi bisu adanya Siliwangi, karena kedua sungai tersebut banyak kontribusi terhadap kehidupan Siliwangi maupun catatan  terhadap petilasannya. 

Tapak-tapak lainnya yang ditinggalkan Siliwangi di Sungai Ciliwung maupun di Sungai Cisadane, antara lain ; Batu di Ciliwung Gadog pertemun dengan Ciesek, ketika disana saat Siliwangi menginjak usia remaja bernama Paksi Jaladara yang kelak orang menyebutnya Pakokolot Gadog. Sementara itu di Cisadane, disebelah barat Rancamaya terdapat Batu Putih dan masyarakat sekitar menyebutnya  Padungukan Haji Putih bertapa. Sedangkan tidak jauh dari Batu Putih  terdapat Curug Bengkung dan kini curug itu tidak berair lagi hanya tinggal kenangan saja. Namun biarlah musnah tanpa kerana, hanya keturunan Siliwangi seringkali menghibur diri dengan lantunannya  :

Cihaliwung nungjang ngidul Cisadane nunjang ngaler
Pupuh putih Kalimusana Sakala Sangkuriang
Batu Putih sirna agung Patapaan Prabu Siliwangi
Sasaka Domas Curug Bengkung
Sirna tapa anu agung adalah Siliwangi
Hayu urang babarengan sasaka merah putih
Nu mantrang Batara Agung
Pusaka nu ngadeg di Pulo Jawa
Eyang Mbah Dalem Sri Pohaci
Ratu Agung Pajajaran cirina Situ Cipatahunan
Anu jadi Kebon Raya Sri Agung Tapak Agung
Anu nyalikan Pajajaran
Mangadeg sang pangadeg, pupuh rahayu pulo Jawa
Sasaka Sunda Besar Sunda Kecil, nyatana Pajajaran Siliwangi
Laut Jawa anu katelah nirwana cahaya rohman rohim.

Bait demi bait itu silahkan terjemahkan secara arif bijaksana. Namun, walaupun Tapak Siliwangi menjelang musnah, jejak leluhur tetap melekat disanubari keturunannya dan mereka akan terus menelusuri sebagai upaya  mencari jatidiri. Memang tidak mudah mengungkap perjalanan leluhur, karena memerlukan waktu lama dan memerlukan keikhlasan hati. Sejatinya. leluhur tidak menghendaki laku lampahnya dipublikasikan maka sifatnya wenang. Kalau bisa ditelusuri silahkan,  tidak juga tidak masalah cuma kalau “calutak” atau “nyeleneh” akan tahu akibatnya.

Konfirmasi Tapak Tulisan Batu dengan Buku


Tapak, diartikan oleh masyarakat Bogor adalah bekas atau petilasan tersebar luas kemana arah jejak leluhur menapakkan kakinya. Hanya saja tergantung  memaknainya sebab ada yang bersifat bawaan alam dan ada juga yang sengaja dibuat oleh leluhur. Memang yang sengaja dibuatpun tetap dari alam, namun dibalik itu dikandung maksud sebagai tugu peringatan bahwa leluhur pernah ada dan hidup disitu. Hanya batu yang dapat dipergunakan waktu itu, karena batu dianggap paling banyak ditemui, kuat tahan lama, sehingga batu dianggap efektif dapat mencatat jejaknya.

Mengenai batu-batu yang dibuat sengaja sebagai prasasti, kenapa begitu mudah direka seolah batu lembek ?!. Padahal zaman itu tidak ada alat yang lebih kuat daripada batu !.  Sebut saja contoh Batu Tapak,  Batu Tulis atau prasasti, Arca di Gunung Gumuling di petilasan Purwakalih, artefak di Gunung Galuh Rumpin  atau Batu  Kedok, walau telah lekang karena usia zaman, tapi masih nampak membekas dan terkesan jelas direka oleh andil tangan manusia. Benarkah ?. Sejatinya bisa saja, karena kemurnian hati dan kesucian jiwa, dapat melemahkan dan merubah benda sekeras apapun sesuai keinginan penciptaannya. Itulah,  selintas alasan leluhur Pajajaraan terhadap benda keras yang disebut batu.

 Batu Tapak lainnya terdapat di Cibalagung. Jika berada di selatan maka harus melalui dulu Empang. Empang atau kulah (bahasa Sunda) merupakan genangan hamparan air dari muara pertemuan kali Cipakancilan dengan sungai Cisadane. Oleh karena itu Empang berada di daratan rendah jika dilihat dari Jalan Pahlawan maupun dari  Kampung Muara. Kondisi demikian lagi-lagi oleh prakarsa Belanda dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian yang berada didaerah hilirnya. Maka pada tahun 1890, bangsa asing membuat beberapa dam untuk pengaturan aliran sungai itu.

 
Batu Tapak Dakon Cibalagung Pasir Jaya

Mengenai Batu Tapak di Cibalagung, lebih dikenal masyarakat daripada  nama kampung yang menguasainya. Batu Tapak itu berbentuk dakon yaitu batu berlubang seukuran diameter 7 cm dan berjumlah 8 lubang. Konon batu tersebut dipergunakan untuk meracik  dedaunan maupun bahan makanan. Dan batu dakon semacam itu juga terdapat di Cengkuk Pelabuhan Ratu serta di daerah Raga Wacana Kuningan. Kedua tempat terakhir itupun adalah petilasan leluhur Pajajaran, namun akan diuraikan dilain kesempatan.

Tapak-tapak lainnya seperti yang terdapat di Jalan Sangkuriang, sangat  membahagiakan karena situs Ranggapati itu terawat lumayan baik. Ranggapati merupakan salah seorang kepercayaan Siliwangi. Sedangkan kepercayaan lainnya yaitu ; Eyang Rangga Gading, Eyang Kidang Pananjung, Eyang Natadani, Eyang Kupa Landak. Petilasan Eyang Rangga Gading di Pamoyanan, Eyang Kidang Pananjung yang dikenal Mbah Dalem Kedug Badak, Eyang Kupa Landak tidak jauh Eyang Ranggapati. Hanya menuju ke lokasi Eyang Kupa Landak tidak ada akses malah terkesan susah, jadi memerlukan turun tangan pemerintah.  Sementara lokasi Eyang Natadani cukup baik karena perhatian dari pihak yang berkompeten walaupun tempatnya bergeser dari semula dengan alasan tergerus kali. Dan disekitar Eyang Natadani dahulu masih terdapat batu yang dinamakan Pangapungan. Konon menurut kisah orang tua dulu, bahwa batu pangapungan itu  sebagai sarana semedi bila leluhur akan menuju ke suatu daerah tertentu. Namun sayang batu itu telah lenyap, entah kemana. Dilain pihak bukit punden Badigul yang dahulu kala suka digunakan sebagai tempat pertapaan, sudah mulai diabaikan.


Situs Ranggapati

Memang sangat disayangkan tapak bekas nenek moyang banyak yang hilang padahal mungkin ada baiknya petilasan tidak berpindah tempat atau berpindah tangan dan menjadi milik pribadi.  Disamping orang-orang kepercayaan tadi diatas, sebenarnya masih perlu perhatian dari pihak yang merasa keturunan memperhatikan karuhun kepercayaan Siliwangi, seperti ; Eyang Pangiring, Eyang Nurbuat, Eyang Surya Lukman yang lokasinya tidak jauh dari Batutulis. Bahkan Petilasan Eyang Ciung Wanara yang merupakan keluarga dekat Siliwangi kondisinya memprihatinkan.

Jika diabaikan oleh anak keturunan, apalagi pihak  lain yang tidak ada kaitannya. Lalu siapa yang akan merawat atau melestarikan Tapak Tapak Pajajaran ? Silahkan renungkan. 

Cag...
Baca Selengkapnya

ALAM DAN TANAM-TUMBUHAN UNTUK OBAT MANUSIA



H. Akbar Saefulloh


Kehidupan manusia senantiasa berhubungan erat dengan alam, karena alam telah membuktikan selalu menyertai dan menyediakan kebutuhan bagi umat manusia. Bukan hanya zat saripati saja yang dibutuhkan bagi manusia untuk bekal makanannya tetapi ternyata banyak dari dari tumbuhan di hamparan alam ini yang dibutuhkan manusia khususnya untuk dijadikan obat-obatan. Manusia sebagai mahluk yang berakal senantiasa memanfaatkan satu jenis pohon tumbuhan memiliki ragam macam multi kepentingannya. Satu sisi tanaman tersebut sebagai bahan makanan, dan kepentingan lainnya dimanfaatkan sebagai obat. Contohnya seperti ; ganyong, singkong atau umbi jalar, beras merah, gandum dan buah-buahan disamping dimakan lezat ternyata tidak sedikit memiliki kandungan vitamin pula sehingga banyak diperlukan sebagai obat untuk penyakit tertentu.

Bahkan tanaman tertentu selain sebagai obat dan makanan ternyata bisa juga sebagai tanaman hias malah ada juga yang berfungsi sebagai peneduh atau tanaman pelindung.

Dahulu ketika zaman mengalami krisis pangan, makanan rakyat miskin banyak mengandalkan pada tumbuhan seadanya. Tanaman yang banyak tumbuh pada masa pendudukan Jepang itu ganyong, sueg, gadung. Sedangkan singkong dan jagung dianggap makanan agak istimewa. Sungguh ironis jika dibandingkan dengan zaman sekarang. Untuk makan juga sering dicari rebung bambu, ternyata bambu muda itu diakalin buat sayur. Khususnya sueg dan gadung, walau makanan tersebut riskan, tetap saja dikonsumsi padahal apabila jika tidak bisa memasaknya akan menyebabkan kematian karena getahnya beracun.

            Namun ternyata, setelah lama zaman itu berlalu tanaman tersebut kembali dikonsumsi. Hanya kali ini bukan berarti terjadi lagi zaman krisis pangan seperti zaman penjajahan, tetapi sering dimanfaatkan untuk mengobati penyakit tertentu. Namun sayang karena lama tidak dimanfaatkan sehingga menjadi tanaman langka dan susah diperoleh.

            Memang tanaman-tanaman tersebut sudah jarang ditemukan, namun setelah sering menelusuri jejak Tapak Tapak Pajajaran Siliwangi ternyata masih ada dan ditemukan walaupun berkeliaran diantara semak-semak belukar. Oleh karena itu, sangat bersyukur dalam perjalanan yang melelahkan keluar masuk belukar hutan maupun pendakian gunung banyak manfaat yang diperoleh selain dapat mengetahui letak tempat Siliwangi menetap, juga dapat lebih mengenal alam dan tanaman atau tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Memang sungguh fantastis, seperti pepatah mengatakan sekali mendayung dua tiga pulau terlampui.

            Bahkan ketika menelusuri sungai, sebersit kisah Siliwangi terungkap. Sebab ternyata Siliwangi menyukai sungai bukan hanya mengandalkan makanan ikan saja, tetapi juga seringkali sungai menjadi tempat memadu kasih sekaligus menjadi tempat persalinan atau melahirkan dalam genangan air sungai. Hal itu dilakukan tentu memiliki resep tersendiri, tetapi jika anda mau mencoba tidak ada salahnya. Sebab apa yang telah dilakukan para leluhur dipastikan sebagai bahan pelajaran bagi anak keturunannya. Adapun tanam-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia yang sempat dicatat dalam jeda kaki melangkah menelusuri jejak Tapak Tapak Pajajaran Siliwangi antara lain berguna untuk pengobatan :

NARKOBA
Daun dadap serep sebanyak 20 lembar ditumbuk sampai halus kemudian diseduh dengan air panas sebanyak 1 (satu) gelas dan dibuat minum sehari 3 (tiga) kali.



HIV
Daun kemboja atau dengan papagannya direbus 3 gelas sampai 1 gelas, minum sehari 3 kali



PARU-PARU
Daun kahitutan ditumbuk kemudian diseduh air panas. Atau daun singawalang ditumbuk secukupnya dan diminum airnya. Tetapi bisa juga daun muda singawalang dikukus dilalap buat makan.



DIABETES
1.       Papagan jamblang atau dawet dicampur dengan ager-ageran, direbus dan diminum 3 (tiga) kali sehari.
2.       Buah petey china yang matang disangray dan dibuat kopi
3.       Daun papagan jengkol direbus airnya diminum setiap hari
4.       Daun Salam 5 lembar dicampur dengan akar dan daun kembang tapak dara kemudian diseduh satu gelas air panas.
5.       Daun pucuk alpukat yang setengah tua direbus airnya diminum

DARAH TINGGI
1.       Makan buah Bidara China yang sudah matang
2.       Pepaya gandul yang masih muda diparud (jangan dikasih air) kemudian diperas dan diminum airnya
3.       Pepaya gandul yang biru dengan daun sukun direbus airnya diminum
4.       Daun mengkudu atau pace ditumbuk dan diberi air secukupnya. Dibiasakan tiap hari

JANTUNG
1.       Ager-ageran atau ganyong diparud airnya diminum
2.       Bunga kemuning secukupnya direndam dalam air segelas untuk minum sehari-hari
3.       Daun Binahong sebanyak  9 lembar direndam segelas  dan diminum pagi dan malam hari

KANKER PAYUDARA
Daun Handeuleum secukupnya direbus, airnya diminum kemudian daun bekas rebusan ditempel pada payudara yang kena kanker




STRES
Harus banyak makan jamur lember pohon teh  bisa dimasak apapun asal banyak jamurnya.



WASIR ATAU BATU GINJAL
Daun Waru sebanyak 9 lembar diblender diseduh air panas, setelah dingin diminum malam atau pagi hari



STRUK AKIBAT DARAH TINGGI
1.       Sirip ikan hiu atau ikan cucut dikeringkan lalu dibuat kopi atau dimasak khusus siripnya saja terutama hiu atau cucut yang berwarna belang
2.       Daun Pacing sama daun sembung direbus minum airnya

LEMAH SYAHWAT
Buah Kersen ditumbuk atau dibuat jus lalu diminum, tetapi jangan makan jambu bol, sebab jambu bol melemahkan syahwat




ASMA
1.       Daun kanyere dan lempuyang ditumbuk diseduh dengan air panas setelah dingin diminum tiap hari
2.       Daun Bidara China 7 lembar diseduh air segelas setelah dingin diminum
3.       Daun Binahong 9 lembar diseduh satu gelas air dan minum sehari 2 kali

MELANCARKAN YANG MELAHIRKAN
1.       Rebus atau direndam pohon madinah airnya diminum
2.       Daun wera ditumbuk airnya diminum

KANKER
Daun nangka sirsak direbus atau di tumbuk / dijus dan airnya diminum sehari 2 – 3 kali.

LIVER
1.       Daun handeuleum dengan jawer kotok direbus airnya diminum
2.       Remis, rebung bambu kuning dan daun klewih yang kuning direbus lalu diminum
3.       Daun Binahong 7 lembar diseduh 1 gelas dan diminum tiap hari

LUKA KENA BENDA TAJAM
1.       Getah pohon pisang dikenakan kulit yang luka
2.       Getah daun talas/keladi di dikenakan kulit yang luka
3.       Bambu merangnya dikerok lalu dikenakan pada kulit yang luka
4.       Asam sama gula aren diaduk sampai  merata lalu tempelkan pada yang luka

SAKIT GIGI
1.       Telor ayam kampung yang mentah, putihnya di tempelkan pada pipi yang bengkak dan kuningnya dimakan
2.       Madu 1 sendok, bawang putih sebiji, cuka 1 sendok dan garam sedikit ditumbuk halus kemudian tempelkan pada pipi yang bengkak.
3.       Kelopak jengkol yang hitam ditumbuk setelah halus dicampur air agar menjadi kental lalu di tempelkan pada gigi yang sakit


ANYANG-ANYANG
Daun alpukat, daun kumis kucing dan daun katuk direbus airnya diminum

BAU BADAN
Daun beluntas di lalab mentah atau direbus dan airnya diminum

        DIARE
Daun Jambu batu, kunyit dan beras secukupnya disangray sampai  kering hitam, lalu ditumbuk dan diseduh buat 1 (satu) gelas dan dibuat selama 3 kali.

PANU
Daun ketepeng ditumbuk dan digosokan ke kulit yang kena panu atau pakai laja merah

LUKA DALAM
Daun Kluwih yang kering, daun nangka dan rebung bambu kuning direbus dan airnya diminum. Atau daun beluntas dan daun babadotan  secukupnya ditumbuk airnya diminum.  Bisa juga daun babadotan aja ditumbuk secukupnya airnya diminum.

BOROK ATAU KUDIS
1.       Daun jarak ditumbuk kemudian ditempelkan
2.       Papagan kemboja ditumbuk dan ditempelkan pada kulit yang kena penyakit
3.       Daun kembang mawar atau ros ditumbuk dan ditempelkan

STAMINA TUBUH
Pedes hitam, sirih merah dan pinang ditumbuk kemudian diseduh air panas, setelah dingin diminum

PENCUCI MATA
1.       Air dari bambu merambat, dipotong pada ujungnya dan airnya dipake cuci mata
2.       Daun korejat getahnya di teteskan pada mata

PENGUAT BULU-BULU
Sering minum daun patat yang sudah  digodog




EKSIM
1.     Kembang Kirinyuh ditumbuk dan ditempel pada kaki yang kena eksimnya
2.     Bakau tampang dihancurkan, bawang merah digoreng jangan sampai matang diangkat kemudian dicampur sama bakau tadi dan ditempelkan hangat-hangat ke kulit yang kena eksimnya.

GATAL-GATAL
1.       Kalau mandi digosok-gosok  daun Kipait ke badan yang gatal
2.       Bisa juga kalau mandi airnya diberi daun Bidara
3.       Konsumsi buah mahoni tiap hari 2 biji diminum

PENCUCI DARAH
1.       Biji manggah dikeringkan kemudian ditumbuk dan diseduh untuk diminum
2.       Daun hanjuang merah 7 lembar direbus airnya diminum

Masih banyak lagi tanam-tumbuhan yang bermanfaat namun belum sempat dituangkan dalam tulisan dan tidak  menutup kemungkinan hal ini  anda lebih mengetahuii  tumbuhan lainnya bahkan kegunaannya. Oleh karena itu, resep ini sekedar informasi untuk menambah khazanah  obat dari tumbuhan dan bahan bagi  yang memerlukan.  Semoga tukar informasi demi kebaikan akan menjadi silaturahmi yang berpahala. Semoga bermanfaat.
Baca Selengkapnya

MENGULAS TULISAN KARUHUN

Oleh : H. Akbar Saefulloh , Moh. Sjafei & Sapta Cakra
        Tulisan merupakan buah pikiran yang dituangkan dalam goresan tangan atau alat mencurahkan sesuatu yang dirangkai dengan huruf dan bahasa sehingga menjadi kalimat yang merupakan informasi bagi orang lain. Jika tulisan telah berupa informasi menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kalangan umum, sehingga hasil tulisan itu menjadi alat informasi penting untuk diketahui materi maupun isinya. Namun tulisan yang dibuat dalam huruf tertentu menjadi keunikan tersendiri dan sangat memerlukan keahlian khusus pula untuk menguraikan pesan dalam tulisan itu. Oleh karenanya, penulis mencoba mengajak peminat budaya baca yang menyangkut tulisan Sangkakala untuk menerawang sejenak apa yang ada didalamnya. Dipastikan penulis dengan huruf Sangkakala ini langka dan mungkin hanya satu-satunya di dunia ini yang memiliki keahlian menulis Sangkakala.

Batutulis yang berada di muara Ciaruteun, diyakini  awal para Leluhur menulis pada batu.

Sangkakala atau Sasakala artinya asal, dipengaruhi dengan kurun waktu zaman, sehingga bahasa maupun tulisannya mengikuti budaya kepercayaan yang berkembang ketika zaman itu. Tulisan dalam huruf Sangkakala tersebut, banyak menyiratkan tentang Pajajaran Siliwangi. Mungkinkah tulisan tersebut, sebagai identitas Pajajaran Siliwangi?, entahlah. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya disimak sebatas yang berkaitan erat dengan Pajajaran Siliwangi.
Sejatinya tulisan tersebut, memiliki keunikan tersendiri dari garis lekukan maupun bentuknya sehingga walau dibuat sesederhana mungkin akan tetapi memiliki arti yang mendalam dan memerlukan pemahaman secara seksama. Hal itulah yang dikatakan unik karena tidak semua orang dapat membaca, memahami dan mengerti arti tulisannya.


Batu Bertulis di Lemah Duhur Batutulis Bogor
Konon orang tua dahulu, mulai menulis diantaranya diilhami dari dzat alam. Nenek moyang banyak belajar diantaranya dari tumbuhan daun-daunan, dari buah duku, maupun dari ikal buah jahe. Contohnya, pada daun-daunan tanaman perdu maupun buah duku. Memang pada dzat alam tersebut tidak terlihat jelas huruf yang digunakan sekarang, terlihat hanya lekukan sembarang sehingga terkesan abstrak oleh karena fenomena alam. 
Tulisan Pada Daun

Namun apabila diperhatikan dengan seksama, pada dedaunan itu akan terlihat garis lekuk putih dan pada buah duku garisnya berwarna coklat. Mungkin ada pula pada tanaman lain yang belum ditemukan. Itulah rangkaian huruf dan ternyata bermakna.

Tulisan Sangkakala

Tulisan Sangkakala yang ada di Cipaku Bogor jika dicermati penuh dengan nilai estetika karena tata letak bentuk, tarikan garis yang disertai dengan warna warni indah mempesona. Tetapi bagi yang awam, merupakan kekaguman sekaligus bertanya-tanya karena lekuk dan goresan hurufnya bagaikan rangkaian penuh misteri. Tulisan pada seukuran manila karton ini ada sebanyak 20 buah dan telah dilengkapi dengan bingkai berkaca. Selain itu, tulisan Sangkakala ada juga berupa buku seukuran polio bergaris maupun buku setengah polio.

Pada tulisan-tulisan tersebut memang tidak nampak judul ataupun topik, hanya yang menulis saja yang tahu dan  dapat menjelaskan tentang isi materi tulisannya. Namun ada juga di beberapa tulisan kaligrafi itu terdapat penjelasan singkat dalam bahasa latin yang terletak disisi pojok bingkai yang berbunyi : Sangiang Sungsang Tunggal, Sangiang Purbawangi dan Siliwangi. Dengan penjelasan singkat itu, minimal sedikit membantu untuk mengartikan bahwa yang tertera dalam tulisan tersebut mungkin bagian dari ceritanya.

Gambar  ini nampak pada tulisannya terdapat bayang-bayang huruf S. Abjad S itu ternyata  menguraikan tentang Solomon atau Nabi Sulaeman. Tulisan itu sepintas menceritakan tentang susunan keluarga Nabi Sulaeman dan tempat-tempat yang mengandung nilai-nilai sejarah semasa Nabi Sulaeman jumeneng.

Konon tulisan berbentuk wafak ini telah menjadi milik seseorang dari Negara Libanon. Sedangkan dalam bagian lainnya yang tersirat pada lembaran berbentuk wafak tertulis huruf S. Bayang-bayang huruf tersebut menunjukkan identitas nama Solomon, menurut siempunya mengisahkan tentang Solomon atau Nabi Sulaeman.

Bayang-bayang huruf S mengkisahkan tentang Solomon

Pada bagian lain, juga terdapat  tentang Gurun Sinai (Gunung Nabi Musa), maupun tentang Sunan Gunung Jati Cirebon serta tentang tempat-tempat lainnya yang ada di dunia ini. Selain sejarah, ada pula isi materinya menceritakan tentang silsilah keturunan, doa, nasihat dan bahkan ada juga yang menceritakan tentang sifat-sifat “Karuhun”. Karuhun yang kami maksudkan adalah para leluhur yang menjadi nenek moyang Pajajaran Siliwangi.

Namun yang menarik dan menantang untuk diulas yaitu tentang penjelasan dari penulisnya, selalu menggunakan bahasa arab. Padahal secara global sebagaimana tulisan dari halaman ke halaman yang ada dalam buku, menguraikan tentang sejarah, nama tempat dan tentang silsilah keturunan manusia, tetapi jika diperlukan penjelasan rinci diuraikan dengan bahasa arab. Sehingga terkesan sangat kontras antara tulisan dengan penjelasan. Oleh karena itulah apabila memerlukan penjelasan dari materi tulisan, diperlukan menjadi pendengar yang baik dan harus sedikit memahami terjemah bahasa Arab.

Sekedar informasi pula bahwa tulisan tersebut ditulis dalam kurun waktu tertentu, hal itu tergantung “Leluhur/Karuhun” mana yang mau menulis dan sempatnya kapan ia mau. Sehingga seluruh tulisan itu tidak ditulis dalam waktu yang sama, tetapi ditulis secara berkala ada yang menulis tiap dua tahun sekali dan ada pula yang mau menoreh goresan tangannya setiap empat tahun sekali. Sedangkan pengerjaan tulisannya hanya memerlukan waktu yang tidak lama, ada yang hanya satu jam tetapi ada juga selama satu minggu. Mengenai karakter tulisannya pun beraneka ragam ada yang dengan hurup besar-besar, namun ada pula dengan huruf kecil dan halus.

Dimanapun kehendak menorehkan sejarah tidak mengenal waktu dan tempat

Sehingga hasilnya bisa diprediksi serta tulisan itu juga terkesan menunjukkan karakter penulisnya. Apabila hurufnya besar-besar menunjukkan karakter penulisnya pemarah, kasar dan galak. Tetapi apabila tulisan hurufnya kecil dan halus, dipastikan penulisnya berhati lemah lembut dan penyayang. Menurut pemilik tulisan Sangkakala ini, budaya mengalihkan riwayat ke atas kertas memiliki kesan tersendiri karena secara tidak langsung mempengaruhi sifat, sikap dan emosinya. Selain itu pula, dalam memulai kegiatan menulis  Sangkakala ini tidak mudah dan melalui proses yang panjang dan melelahkan bagi penulisnya.

Sekitar pada tahun 1960, awalnya menulis menggunakan media sirih lengkap dengan gambir, kapur sirih dan bakau yang dikunyah. Setelah menghasilkan warna merah maka di tampung dalam piring sebagaimana layaknya tinta warna, kemudian cairan tadi  digoreskan pada kertas. Sungguh fantastis.

Rumah Tempo Doeloe yang memiliki nilai sejarah bagi  “orangtua” sebagai penulis

Sekedar informasi, bahwa penulis Sangkakala inipun ternyata mempunyai andil sumbang saran dalam pembangunan Tugu Monas Jakarta, Mesjid Istiqlal Jakarta, maupun Tugu Kujang di Bogor. Sumbang saran yang diberikan diantaranya menentukan lokasi tanah yang akan dibangun, waktu pelaksanaan maupun syarat lainnya secara spiritual.

Selanjutnya, marilah kita coba menyimak hasil tulisan Sangkakala. Tulisan ini diharapkan untuk menambah khasanah budaya daerah dalam upaya memperkokoh budaya nasional mengingat tulisan dan bahasa Sangkakala ini langka dan perlu dipelajari, dipahami, dilestarikan karena merupakan kreatifitas asli dari suku bangsa Sunda. Pada akhirnya nanti tulisan Sangkakala ini, berharap dapat diajukan kepada lembaga hak cipta nasional sebagai legalitas penulisnya. 

Sejatinya tulisan Sangkakala ini memiliki pijakan dasar huruf Ha Na Ca Ra Ka. Disamping itu, memiliki keterkaitan dan kemiripan dengan tulisan yang ada pada prasasti batu peninggalan budaya prasejarah diantaranya yang ada seperti  di Situs Batutulis Bogor, Situs Kebun Raya Bogor, Situs Ciareuteun, Situs Kebon Kopi dan Situs Pasir Jambu Koleangkak serta situs-situs lainnya yang menyebar diseantaro jagat Nusantara yang memiliki hubungan erat dengan Pajajaran Siliwangi. Sehingga kiranya tidak berlebihan jika tulisan Sangkakala ini mempunyai nilai khusus untuk dilestarikan oleh lembaga yang berkompeten.

Dalam mengungkap tulisan ini, seharusnya memerlukan bantuan kemampuan ahli dari kalangan tertentu karena obyeknya rumit dan memerlukan penelaahan mendalam dari segi huruf maupun penggunaan bahasa. Namun demikian, dengan kemampuan ala kadarnya marilah kita ungkap sekilas tulisan Sangkakala ini semoga dapat menjadi bahan informasi yang bermanfaat bagi peminat budaya dan sejarah.

Diawali dengan inventarisasi jumlah obyek berupa kaligrafi sebanyak 20 buah dan buku ukuran polio sebanyak 1 buku dan setengah polio sebanyak 7 buku. Untuk memudahkan pembahasan dari satu obyek ke obyek lainnya, kami beri tanda kode huruf, sedangkan pada halamannya diberi angka. Sehingga jika menunjukkan Buku Besar halaman 1, menjadi Bb-1. Pada buku setengah polio atau Buku Kecil, karena jumlahnya sebanyak 7 buah buku, maka pengkodeannya menjadi Bk 1 sampai dengan kode Bk 7. Jika pada Buku Kecil Nomor 1 halaman 1, akan terlihat Bk 1-1. Kemudian pada tulisan yang seperti kaligrafi, diberikan pengkodean mulai K-1 sampai K-20 sesuai dengan jumlah tulisan kaligrafi yang ada.

Huruf Ha Na Ca Ra Ka yang melatarbelakangi tulisan ini

Secara umum dalam buku Bb-1 yang berwarna merah itu, tulisannya mempunyai awalan Alif, Ba, Ta, Tsa dan seterusnya. Nampaknya huruf hijaiyah tersebut seperti nomenklatur yang akan dibahas kemudian, karena ternyata huruf Alif yang memulai cerita dalam halaman awal pembahasan buku itu. Kemudian huruf Ba, begitu juga uraiannya dan seterusnya. Selain itu, dalam penulisan pada tiap halaman   dari ujung pinggir kiri sampai sisi kanan terisi penuh sepertinya penulis tidak memperdulikan batasan ruang.
Selain itu pula, tarikan tulisan ada yang vertical namun ada pula yang horizontal bahkan ada yang  menoreh miring kalimatnya. Sedangkan suku kata huruf tersebut, ditulis dari atas kebawah atau sebaliknya, namun menurut penulisnya dapat terbaca secara terbalik sekalipun.

Pada kode K-1, terdapat goresan huruf yang melambangkan telapak tangan kiri. Hal ini menunjukkan bahwa yang dibahas dalam tulisan tersebut menceritakan tentang pemilik telapak tangan yang bernama Sangiang Tapak atau Sangiang Purba Prabu Agung.

Nampak Telapak Tangan kiri dan kanan yang menandakan jelas pemiliknya

Lahirnya pada saat Babad Lutung Kasarung. Sangiang Tapak adalah nama lain dari alias Siliwangi. Sejatinya, Sangiang Tapak adalah petualang yang ulung dan selalu meninggalkan jejak kaki dan batu bertulis. Sangiang Tapak selalu begitu pada setiap daerah yang pernah disinggahi dan sekarang menjadi situs yang terdapat dibeberapa daerah.
Terdapat penjelasan mengenai tulisan dengan topik mengenai Gurun Sinai atau Gunung Nabi Musa. Pada lembaran ini diceritakan tentang suasana gurun yang menjadi sejarah kejadian maupun silsilah keturunan Nabi Musa. Menurut informasi, apabila leluhur dari Gurun Sinai menulis di halaman buku ini dengan “KekasihAl-Bahar dan dalam kesehariannya menetap disekitar lokasi yang terdapat curug air di negara Palestina.

Tulisan leluhur yang dibuat di  Gunung Bentang
Pada bagian lain, mengulas tentang Masjidil Al-Aqso yang terdapat di Yerusalem. Seperti pada lembaran buku lainnya, penulis ini bernama “Al-Hajib Hamdani”. Leluhur dari negara yang tak henti-hentinya berkecamuk peperangan ini, seringkali menulis tentang sejarah dan keturunannya.
Terdapat beberapa huruf mirip seperti yang ada pada setiap  prasasti Batu Bertulis
Pada tulisan diatas tersebut, terdapat kemiripan huruf sebagaimana yang tertera dalam Situs Batutulis Bogor, Situs Kebun Raya Bogor, Situs Ciareuteun, Situs Kebon Kopi dan Situs Pasir Jambu Koleangkak serta situs-situs lainnya yang menyebar diseantaro jagat Nusantara yang memiliki hubungan erat dengan Pajajaran Siliwangi.
Tetapi leluhur Pajajaran Siliwangi tidak hanya menyiratkan pada tulisannya tentang sejarah, doa, silsilah maupun rahasia alam lainnya, ternyata juga berkenan dan memperhatikan soal politik kenegaraan. Sebagaimana gambar diatas, dan ada pula yang lainnya menggambarkan beberapa identitas organisasi partai politik.
Pohon Beringin “Pangauban Qolbu”


Tulisan tentang bendera sebelum pecah menjadi 2 negara

Namun yang paling mencengangkan, terdapat asal muasal bendera negara yang terdapat dibelahan Benua Eropa yaitu Inggris dan Jerman.  Kalimat pada tulisan tersebut menjelaskan tentang keturunan keluarga, sebelum negara tersebut pecah menjadi dua negara.

Itulah sekilas mengenai tulisan leluhur Pajajaran Siliwangi dan masih banyak lagi yang belum sempat diungkap karena keterbatasan waktu perbincangan. Sebab ternyata ada tulisan yang tidak dapat diungkap seolah tabu dan takabur bagi pemiliknya.  Dari semua tulisan di atas tersebut, sepintas kilas memang akan bingung dan enteng menarik kesimpulan apa mungkin ?. Tetapi sebelum mengomentari alangkah baiknya meninjau secara langsung. Sehingga diharapkan dengan penjelasan dari pemiliknya, Insya Allah akan memahami sebagaimana yang terkandung maksud dalam tulisan tersebut.

Ulasan tulisan ini hanyalah salah satu upaya penggalian budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk diperkenalkan dan diangkat agar menjadi legalitas warisan budaya Indonesia yang patut dibanggakan dan memperoleh penghargaan. Lebih jauh lagi, agar memelihara dari jangkauan klaim oleh bangsa lainnya. Itulah harapan penulis, kiranya tidak berlebihan jika memuji dan membanggakan hasil kreatifitas, kemampuan dan keahlian bangsa kita sendiri.

Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih dan syukur Alhamdulillah tulisan ini dapat izin pemiliknya untuk dipublikasikan.

Cag...!


Baca Selengkapnya