TAPAK TAPAK
PAJAJARAN
Oleh : Moh. Sjafei & Sapta Cakra
Tapak atau bekas
atau peninggalan atau patilasan atau artefak merupakan bukti bahwa dahulu kala dibuat oleh manusia yang hidup pada zaman
itu. Memang menurut artefak yang dibuat itu, tidak meninggal catatan siapa yang
membuat, dimana dan kapan dibuatnya. Oleh karena itu, memang
sangat menyulitkan sehingga tidak ada
kepastian untuk pertanggungjawaban secara teoritis. Jika menelusuri jejak
Pajajaran, harus dikunjungi bekas jejaknya dan tidak bisa mengandalkan dari
cerita saja atau dari buku saja. Apalagi dari meditasi, tidak akan mendekati
akurasi.
Salah satu tulisan sankala saat ini
Tentang
Pajajaran yang diketahui selama ini dan
berkembang ditengah-tengah keturunannya, banyak bersumber dari sejarah referensi
perjalanan bangsa Belanda. Sebagaimana diketahui, bahwa catatan tim ekspedisi
bangsa Belanda perlu di hormati namun alangkah nisbinya keturunan Pajajaran
malah lebih yakin terhadap catatan bangsa lain. Padahal tim ekspedisi Belanda
tidak mengalami zaman itu, mereka hanya
mencatat penemuan yang diperoleh informasi dari penduduk yang ditemuinya. Dan paling
kurang berkenan, bahwa awal kehidupan nenek moyang berasal dari India ?. Tetapi
malah sebaliknya India menjadi salah satu tempat pengembaraan Pajajaran.
Selain itu,
mengenai Pajajaran-Siliwangi belum menjadi
kesepakatan khususnya masyarakat yang mengakui keturunannya.
Taruma-Sunda-Pajajaran, tidak dalam kawasan sempit suatu wilayah, dan tidak
menetap selama-lamanya disuatu tempat. Tetapi melakukan pengembaraan jauh dari
jangkauan perkiraan manusia sekarang. Leluhur
itu melakukan petualangan bertujuan memperbanyak keturunan. Untuk hal itu
diperlukan jembar manah. Memang
tidaklah mudah untuk mencapai kesepakatan, karena Pajajaran telah meninggalkan
bekas di setiap daerah sesuai perjalanannya.
Pajajaran,
pengertiannya menjajarkan keturunan. Pada masa itu, Siliwangi yang menjadi tokoh Pajajaran hadir di jagat raya ini sebelum
banyak manusia. Menurut catatan sumber kami, kelahiran Siliwangi terjadi pada tahun Ha. Tahun Ha, adalah huruf tetapi jika dikonfirmasi ke angka kira-kira
tahun berapa ?. Entahlah. Malah belum ada yang namaya Pajajaran pada zaman itu.
Penyebutan Pajajaran mulai diperkenalkan setelah Siliwangi melakukan perjalanan pengembaraannya. Sehingga jika
dikatakan terdapat kerajaan Pajajaran juga kiranya kurang tepat karena tidak
ada bekas yang menunjukan adanya bangunan keraton. Sebab yang namanya kerajaan
akan identik jika dihubungkan dengan adanya
bangunan istana atau keraton.
Jika terdapat bangunan istana atau keraton, logikanya di zaman itu sudah
adanya bahan bangunan maupun alat-alat yang mendukungnya. Sedangkan pada zaman Siliwangi jumlah manusia saja sedikit,
belum ada alat alat untuk pembangunan apalagi ada seorang arsitek tidak ada
sama sekali. Apalagi jika dikatakan terdapat bahan besi untuk membuat keraton,
sama sekali tidak ada.
Realita yang
ditemui bahwa besi adanya berbarengan dengan kehadiran bangsa Belanda membuat
jalan kereta api sekitar abad ke 18. Malah ada informasi bahwa pembuatan jalan
kereta api Semarang-Jogya dilakukan pada tahun 1864. Jadi perlu ditinjau lagi
yang menyebutkan zaman Siliwangi sudah
ada istana, tetapi kalau zaman keturunannya mungkin saja. Zaman Siliwangi
itu benar-benar dalam suasana gelap dan bahkan terkesan primitif atau masih pra
budaya.
Salah satu mulut goa yang pernah dihuni Siliwangi
Budaya menurut pengertian penulis, adalah
sesuatu sikap, tindakan, perbuatan yang dilakukan berulang-ulang yang
disepakati, diakui dan dilanjutkan menjadi kebiasaan pada masa itu serta
dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Sedangkan pada saat itu populasi
keberadaan manusia masih terbatas dan amat sedikit. Sikap maupun perilaku
manusia belum mengenal etika pergaulan dan budaya bersolek. Konkritnya, cara berpakaian saja asal-asalan,
badannya hanya ditutupi dengan kulit binatang atau dengan upih atau pelepah
pinang. Sementara rambutnya panjang gimbal. Kukunya panjang tak terurus.
Cobalah bayangkan, postur tubuh yang tinggi besar dengan rambut jabrik, kuku panjang
serta busana hanya seadanya menutup organ tubuh, sehingga layak jika dikatakan belum berbudaya secara
paripurna.
Kondisi
zaman itu, hukum yang berlaku adalah hukum rimba siapa yang kuat dialah yang
berkuasa. Suasana alam kehidupan yang tidak diiringi dengan aturan, siapapun
memiliki kesempatan sama untuk berkuasa dengan syarat dapat menaklukan alam dan
manusia sekitarnya. Menundukkan alam menjadi penting karena alam dipenuhi
binatang buas untuk dijadikan makanan manusia, dan sebaliknya binatang buas juga
selalu mengincar manusia itu sendiri untuk menjadi santapannya. Sehingga antar manusia dengan binatang menjadi saling
mengancam kehidupannya masing-masing.
Dilain pihak hubungan antar
manusia juga tidaklah harmonis, mereka saling membunuh untuk memperebutkan sesuatu
yang menjadi keinginannya. Pertikaian antar mereka, banyak disebabkan perebutan
makanan, penguasaan kawasan dan pula karena memperebutkan wanita. Namun
pertikaian antar manusia tidak sesering dengan binatang, sebab jumlah manusia tidak
sebanyak sekarang. Apalagi jika digambarkan adanya peperangan, mana mungkin
terjadi dan apa penyebab peperangan ? sedang cara berpikir mereka saja tidak
semaju manusia sekarang tetapi qodrat akal telah dimiliki.
Benarkah Pajajaran
Siliwangi terjadi pada zaman itu pra
budaya ? Marilah disimak sejenak ke masa lalu. Salah satu peninggalan Pajajaran
adalah batu dan batu, karena memang
benda itulah salah satu peninggalan leluhur. Batu yang kita kenal merupakan
benda keras yang memiliki sifat tidak berubah usik maliknya dari sejak
diciptakan bersamaan dengan jagat ini.
Batu tidak mudah lekang oleh waktu dan zaman. Ia merupakan benda padat sebagai
saksi kehidupan mahluk sekitarnya.
Padatala tapak kaki
Oleh karena itu, kiranya wajar jika Siliwangi meninggalkan jejaknya yang
ditandai dengan batu karena batu bisa berumur lama, panjang dan tidak berubah
jika tidak diusik oleh manusia. Siliwangi
menyiratkan tulisan pada batu, dan batu pula yang senantiasa dijadikan tanda
tempat-tempat yang pernah disinggahinya. Batu selain ditandai dengan tulisan,
juga ditandai dengan tapak kaki atau tapak tangan. Sehingga ada 5 kesaksian
pada batu yang ditandai Siliwangi. Pertama batu, kedua tulisan, ketiga lambang
matahari, keempat padatala tapak tangan dan kelima padatala tapak kaki.
Karena batu itu
pula, yang memudahkan penulis ke obyek yang dituju untuk menelusurri Pajajaran
dan Siliwangi. Selain batu yang
dijadikan tonggak petilasannya, terdapat pula batu yang dijadikan untuk tempat
berlindung sebagaimana layaknya tempat hunian kelompok manusia. Bebatuan, disusun
sedemikian rupa sebagaimana lajimnya goa sehingga mereka terlindung dari hujan,
angin dan terik panas matahari maupun ancaman
binatang buas.
Batu batu yang
mengisyaratkan petilasan itu, dapat ditemukan di atas dataran tinggi atau malah
di pinggir sungai. Hal itu dilakukan ternyata dengan alasan tertentu, misalnya
dipinggir sungai ; karena salah satu
makanan pokoknya adalah ikan. Alasan pembuatan tempat bernaung di dataran
tinggi, karena dahulu di bagian bawahnya terdapat genangan air. Sehingga
sekarang nampak berada di dataran tinggi padahal karena penyusutan air dan perubahan alam seolah-olah berada
atas.
Untuk menunjang
dan mempertahankan hidup, terpenting mereka membuat alat untuk membela diri semacam
gada. Kemudian, mereka buat batu yang
diruncingkan seperti kapak yang digunakan untuk memotong atau membelah benda. Mereka juga membuat batu lonjong dibagian ujungnya
runcing, yang kita kenal semacam tombak
atau linggis. Batu dan batu itulah dibuat
sebagai alat untuk kebutuhan hidup. Dan
batu batu itulah yang kemudian oleh cerdik pandai diberi nama ; Batu tulis, batu punden berundak, batu
lingga, batu yoni, batu dakon, batu karut, batu dongdang, batu kasur, batu
pengapungan dan lain sebagainya. Pemberian nama untuk memudahkan pengenalan dan
nama-nama itu yang diidentifikasi sesuai bentuknya. Selain batu model tersebut,
terdapat pula pembuatan patung banteng
yang diberi nama Banteng Lilin Suku Gading atau Sapi Gumarang. Konon arca
banteng tersebut identik dengan symbol Banteng Andini tunggangan Batara Guru. Patung
Sapi Gumarang itu berada di kawasan Kebun Raya.
Banteng Lilin
Suku Gading atau Sapi Gumarang
Batu, yang kemudian di jadikan artefak, selama ini banyak
yang tidak lagi berada ditempat awal Siliwangi
meninggalkannya. Padahal dengan berpindah tempat menyebabkan kesulitan untuk
penelusuran rekam jejak Pajajaran, dan kepindahan letak batu disebabkan oleh banyak kepentingan.
Malah mungkin ada pula yang menjadi
milik pribadi. Memang ironis, banyak yang tidak terawat serta nyaris hancur. Selama
ini, batu-batu bersejarah yang berada di tempat-tempat tertentu bukanlah
berasal dari lokasi itu, tetapi dikumpulkan dari beberapa tempat yang tidak didiskrifsikan
sehingga agak menyulitkan malah nantinya bisa mengaburkan alur sejarah.
Walaupun hanya
sebuah batu, kiranya diperlukan perhatian dari semua pihak terutama keturunan
Pajajaran, sebab perjalanan pengembaraan Siliwangi
selalu ditandai dengan batu.
Petualangan Siliwangi ke seantaro jagat bukan hal mustahil hanya untuk
memperbanyak keturunan, namun yakin Yang Maha Kuasa Pencipta-Nya mempunyai
rencana selain itu pula.
Batu Dakon
Siliwangi walaupun diwarisi senjata alam yang
bernama Kujang jarang dipergunakan,
hanya sewaktu-waktu dalam keadaan darurat saja. Konon Kujang yang
dimiliki oleh Siliwangi berbahan
besi kuning. Senjata itu tidak sembarang orang dapat memiliki karena kujang
tersebut bukan semacam pisau atau keris yang selalu disandang tetapi digunakan
pada hal tertentu saja. Konon, apabila pemiliknya memerlukan Kujang, bisa muncul
secara tiba-tiba sehingga wujud pemiliknya tidak nampak terlihat mata
seolah-olah tidak ada. Itulah Kujang yang sejatinya.
Perjalanan Siliwangi juga selalu diiringi dengan kegiatan
perburuan binatang untuk bahan makan dagingnya, sementara kulitnya untuk
penutup badan. Namun dalam perburuan keluar masuk belantara, jika menjumpai wanita
maka tak ayal langsung dikawin. Dimanapun dan kapanpun sepanjang petualangan
itu berlangsung, maka Siliwangi
memiliki banyak isteri dan keturunan. Dari satu daerah ke daerah lain atau dari
satu gunung ke gunung lain, selalu ditandai oleh Siliwangi dengan batu untuk dijadikan tonggak peringatan seolah
tanah itu telah disinggahi. Ada batu yang pernah dijadikan pertapaan ada pula
yang disusun semacam gundukan batu yang diperkirakan mengubur sesuatu
didalamnya.
Selama
pengembaraan, Siliwangi berjiwa
gigih, tidak pernah kalah dan menyerah dalam pertarungan menaklukan binatang buas
maupun pertarungan dengan manusia. Oleh karena itu, ditiap tempat namanyapun harum
mewangi dan disegani. Sedangkan nama-nama lainnya banyak disesuaikan dengan
waktu, kejadian, atau nama panggilan kesayangan dan kadang sekedar julukan. Nama lain Siliwangi atau alias yaitu ; Sangiyang Tapak. Nama itu terjadi
pada saat kejadian menandai tulisannya pada batu yang disertai padatala Tapak
Tangan atau Tapak Kaki. Atau nama Badak Buana atau Cakra Buana atau Sangiyang
Kilat Buana. Nama Kilat Buana, bila berkenan ke suatu tempat bisa datang
secepat kilat. Sangiyang Sankala Gotama
atau Sisinga Puspa Dewa Gotama atau Puspa Raja atau Prabu Siliwangi. Ada pula
nama Mulawarman, Purnawarman dan Adityawarman serta Jalak Sutra. Selain itu ada
pula sebutan Kuncung Putih atau Haji Putih atau Haji Qodratulah dan banyak lagi
julukan lainnya. Tetapi ketika masa kecil nama Siliwangi adalah Pancawala. Putra Mahadewata Agung Sangiang Tunggal
(salah satu sebutannya) dan Ibunya Ratu Ayu Rangrang Kembang Kolengkangsari
(salah satu sebutannya).
Dari Gunung
Galuh yang kelak bernama Gunung Munara Bogor, Siliwangi mengawali hidupnya. Masa kini, disebut Gunung Munara
karena disana terdapat batu menjulang tinggi bagaikan menara mesjid.
Gunung Galuh atau Munara
Adapun nama dan
gelar Siliwangi tersebut sejalan
dengan zaman yang menyertai alam. Seperti gelar Sangiyang, sebutan itu
digunakan ketika alam dinamai zaman Hindu. Selanjutnya gelar Prabu, hal itu
juga diistilahkan pada zaman Budha. Sampai zaman Islam nama Siliwangi juga menyandang nama Islam
seperti Haji Putih dan Haji Qodratullah. Jika demikian, Siliwangi berada sepanjang zaman ?. Mungkin ! Siliwangi dibilang
ada, bisa. Karena masih ada orangtua tertentu dapat berkomunikasi secara
batiniah serta menyiratkan dalam bentuk tulisan. Dikatakan tidak ada, memang.
Karena Siliwangi tidak nampak
berwujud. Jadi tergantung dari sudut mana memandang.
Tujuan utama
pengembaraan Siliwangi adalah untuk
meramaikan jagat nusantara, dalam perjalananpun tidak dengan kekerasan maupun
peperangan tetapi dengan misi Aji Muroh
yang berarti mencari jati diri dan mengasah pangaweruh tanpa guru. Sehingga
seisi alam yang diciptakan Yang Maha Kuasa, oleh Siliwangi
dianggap sesama mahluk maka perlu menyelaraskan antara ilmu pangeweruh dengan
alam. Karena pada alam terdapat tempat-tempat tertentu yang bernuansa
bermanfaat dan bermaunat bagi diri sendiri maupun bagi orang banyak.
Dari Gunung
Galuh, kemudian menghuni Gunung Gumuling yang kelak bernama Gunung Kapur
Ciampea. Dinamakan Gunung Gumuling, karena salah satu nama Siliwangi alias Sangiyang Gumuling. Beberapa waktu setelah menghuni
Gunung Gumuling, disana meninggalkan
arca walaupun dibuat terkesan asal-asalan. Arca tersebut kini tinggal
satu berada ditempatnya, sedangkan arca yang lainnya sejak tahun 1976 dipindahkan
ke Pasir Angin Leuwiliang. Tentang bentuk arca yang asal jadi, menunjukan
bahwa komunitas manusia pada zamannya belum begitu terampil membuat arca,
sehingga tidak sebagus bentuk aslinya bahkan mungkin terkesan kurang memiliki nilai
seni.
Batu Kedok
Di arah sebelah
barat Gunung Gumuling, tepatnya dipinggir sungai pertemuan Cisadane dengan
sungai Ciareuten, terdapat batu ditandai
dengan tulisan sankala dan Tapak Kaki. Pergerakan
rombongan kecil Siliwangi dan keluarga diperkirakan juga bergerak menuju
Panyaungan Pasir Jambu terus berlanjut ke Pasir Awi Jonggol.
Setelah
menggalkan artefak tulisan dan padatala kaki di Jonggol, kemudian bergerak
kearah selatan dan menetap di Cibedug Raden. Disini garwa Siliwangi melahirkan seorang putra yang kelak menjadi tokoh Siliwagi generasi berikutnya. Di lokasi Cibedug Raden, terdapat Batu Kedok,
Batu Dongdang, Batu Karut dan Batu Kasur. Khususnya Batu Kedok menggambarkan
wajah seseorang, namun sayang batu tersebut nyaris hancur. Padahal kawasan itu
salah satu terpenting peninggalan Siliwangi
dan cikal bakal adanya Pajajaran. Lokasi itu dinamai Hang Tua Pajajaran,
malah ada nama Fadlatuh laduni wal yaumil kiamah
sodakallahu Sapujagat.
Dan ketika Siliwangi berada di Batutulis, menamai
tempat itu Syaiful haq bil goib. Jika
diartikan bagai pedang tajam dari alam yang tidak
terlihat. .Mungkin maksudnya, berdoa atau ilmu ditempat itu setajam pedang goib
!. Lalu kenapa dengan kalimat Islam ? Padahal zaman itu belum ada yang namanya
agama yang ada ageman benarkah ?. Hanya perlu dimaklumi, konon Siliwangi ketika lahir ke dunia keadaan
kulupnya sudah bersunat, maka Siliwangi
dikatakan juga Slam Tunggal.
Batutulis
Memang
antara zaman Siliwangi dengan
kehadiran zaman Islam berbeda jauh, tetapi Siliwangi
telah diwarisi ilmu pengetahuan tentang Islam yang disebutnya agama
anyar. Padahal zaman Batutulis ketika membuat
tulisan dan padatala tapak kaki pada bulan terang pada 500 tahun sebelum
Masehi. Sedangkan adanya Islam pada tahun 625 Masehi seiring dengan zaman Nabi
Muhammad SAW. Sebagaimana keyakinan keturunan Pajajaran, menyatakan bahwa Siliwangi dibilang ada, ada. Dibilang
tidak ada, memang karena tidak terlihat kasat mata.
Di
Batutulis inilah tapak petilasan tokoh
diabadikan diantaranya bekas Salaka Domas, bekas Nawang Wulan. Disebelah selatannya
terdapat petilasan Sangiyang Resi
Sinuhun Agung Purwakalih dan diseberangnya terdapat petilasan Embah Dalem
Batutulis. Namun ampun paralun sebenarnya pituin itu adalah Eyang Buyut Wali
Haji Sakti Mangkurat Jagat. Jika kembali berjalan kearah utara, persis di depan
Pasar Bale Kambang, terdapat bekas keluarga Siliwangi yaitu Prabu Pucuk Umun.
Sedang di Jalan Sangkuriang, terdapat petilasan Ranggapati dan di Jalan
Jaya Tunggal terdapat petilasan Kupa Landak, salah seorang kepercayaan Siliwangi.
Tapak Tapak
Pajajaran diataranya Tapak Tangan dan Tapak Kaki. Namun khusus Tapak Tangan maupun Tapak Kaki
ternyata memiliki makna yang inspiratif terutama bagi keturunan Pajajaran. Jika
direnungkan, setiap muslim manakala berwudhu hendak melakukan salat, diawali membersihkan telapak tangan dan diakhiri
dengan membersihkan telapak kaki. Apa mungkin ada hubungannya antara artefak
Pajajaran dengan berwudhu ?. Karena wudhu identik dengan mensucikan diri untuk
menghadap Ilahi Robbi. Lalu kenapa Siliwangi
selalu menandai telapak tangan dan telapak
kaki, apa hal itu symbol isyarat dimasa mendatang akan ada ajaran agama
anyar atau agama Islam ? dan setiap orang
perlu menjaga kesucian diri, namun
silahkan renungkan dan artikan secara paripurna serta bijaksana.
Cag
!