KUDJANG

Oleh : Saptacakra 

Kemashuran Keris Pajajaran, Pamor Pajajaran, atau "Tangguh" Pajajaran, dapatlah kiranya untuk sementara kita ketahui dari empat sumber,walaupun tidak begitu sempurna.
-Yang pertama adalah relief candi yang menunjukan berbagai bukti peralatan dan senjata.
-Yang kedua adalah peninggalan-peninggalan lama baik yang tersimpan dimasyarakat, maupun berbagai museum.
-Sumber ketiga berupa naskah lama yang menyebut jenis dan namanya.
-Sumber keempat berupa berbagai catatan dan penelitian tentang hal tersebut.


Senjata tak dapat dipisahkan dari para Empu/Guruteupa/Pande yang namanya masih terus dikenang sampai sekarang, Beberapa Empu Sakti disebut dalam berbagai Naskah.

-Begawan Empu Ramadi(Serat Manikmaya, I:45-47)
-Empu Brama Kedali
-Empu Somkahadi

Dikisahkan bahwa disurga terjadi perang tanding dengan mempergunakan Keris dan diantara adalah buatan para Empu-empu diatas. Sebutan dalam Serat Manikmaya adalah Kudi yang dipakai oleh Kyahi Tuwa untuk melawan binatang buas. 

Sumber lain(Wirasoekadga, t t 3, 7-9) menyebut limabelas jenis(type) tangguh.  Tangguh Pajajaran adalah yang tertua, dan jauh lebih tua dari majapahit. Dikemukakan oleh sumber yang sama pula bahwa pada tangguh-tangguh Pajajaran terdapat 7 Empu  yaitu : 

1. Guruteupa Ki Keleng, 
2. Guruteupa Ki Kuwung, 
3. Guruteupa Ki Loning,  
4. Guruteupa Ki Angga,  
5. Guruteupa Ing Bagelen,  
6. Guruteupa Ki Sikir  Dusun Tapan, 
7. Guruteupa Ciung/Siyung Wanara.

Dari 7 Empu/Guruteupa Sakti itu hanya kedua Empu yang kita ketahui hasil tempaannya mereka :


Empu Keleng membuat Keris Kyai Kopek( Keris lurus dapur Tilam Upih Tambal) dari besi seperti        batutulis.



Dalam Cariosan Prabu Siliwangi kita memperoleh dua kali sebutan tentang keris, yang kedua nya dikatakan dan dipakai oleh Prabu Siliwangi, salah satu Keris yang di pakai Prabu Siliwangi disebut Dhuhung Ginanja Pitu.
Dalam Pupuh ke VII, Naskah Sang Nata Agung (KBN no 545.Inv.EFEO-Bdg no 2032, sebelum Prabu Siliwangi berangkat menuju ke Prabu Singguru untuk berunding, Beliau bersenjatakan Keris Pusaka karuhun Prabu Ciung Wanara yang diberi nama Keris Kebo Teki. Dalam Naskah-naskah Sunda ditemukan pula senjata-senjata yang digunakan rakyat Pajajaran atau keturunan Raja-Raja Pajajaran.
Dan yang perlu dicatat adalah bahwa dari sekian banyak senjata yang disebut dalam naskah, belum terdapat sebutan tentang salah satu senjata yang kemudian dijadikan Lambang dan Simbol Kebanggaan masyarakat Sunda yaitu KUJANG.
Dari berbagai peninggalan tertulis, kiranya kita dapat ketahui alam pikiran masyarakat dan lingkungan hidupnya, Carita Purnawidjaya(kropak 416) dengan ajaran Kunjarakarna dan Sang Siksa kandang Karesian(kropak 630).
Kiranya ahli pikir nenek moyang Sunda telah memadukan inti-inti ajaran Yamadipati dan Budha Wairocana, contoh ini adalah sesuatu yang unik dan sangat mandiri sehingga cukup menyulitkan  penelitian para sarjana Belanda. Begitu pula hal nya tentang pokok-pokok dasar ajaran keagamaan yang diuraikan dalam  Sang Hyang Siksa Kandang yang terangkum lengkap dalam 10 dasar sila kebaktian.


Anak Bakti di bapa.
Ewe bakti di laki
Hulun bakti di pantjadaan
Sisa bakti di guru
Orang tani bakti di dewata
Wadon bakti di mantri
Mantri bakti di mangkubumi
Mangkubumi bakti di Ratu
Ratu bakti di Dewata
Dewata bakti di Hyang


HYANG dengan demikian digambarkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Penguasa jagat raya (mayapada dan marcapada). HYANG digambarkan sebagai sesuatu yang abadi, yang ghaib dan lambang kesucian. Kewajiban untuk bersembah/berbakti kepada HYANG itu sampai sekarang istilahnya masih tetap berlaku yaitu sembahyang. Pada jaman Pajajaran kata-kata HYANG telah demikian melekat erat di kalangan masyarakatnya. Dari generasi ke generasi terus berlangsung beratus tahun, Jejak-jejak itu diabadikan dalam nama-nama tokoh raja sebagai personifikasi HYANG di dunia (Lingga Hyang; Sanghyang Susuk Tunggal dll.). Dari naskah Cariosan Prabu Silihwangi serta naskah-naskah lainnyal nampak pula pergeseran nama HYANG ini kepada beberapa tempat/daerah yang dianggap keramat. Nama-nama tempat itu sampai kini masih ada. Umpama-nya: Danau Sanghyang di TALAGA, Sanghiyang Keukeum-bingan (Cariosan Prabu Silihwangi), Sanghiyang Roronjatan, Sanghiyang Tikoro dan lain-lain.
Satu hal yang sangat menonjol dan khas adalah pergeseran konsep KEKUASAAN dari para Dewa/DEWATA yang asalnya dari unsur tertinggi telah turun sedemikian rupa hampir sederajat barangkali dengan manusia biasa sehingga mereka harus berbakti juga kepada HYANG.
Diatas telah disinggung tentang adanya peranan bahasa dan istilah untuk mengukirnya dalm bentuk nama-nama atas segala sesuatu yang berhubungan dengan sosio-budayanya, maka secara Fillogis nama-nama yang terukir dalam setiap jenis benda.



DESKRIPSI KUDJANG : 

Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat(Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memilik nilai Sakral serta mempunyai kekuatan magis, Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari KudiHyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.

Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa Mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan diatas para Dewa, hal ini tercermin dalam ajaran DASA PREBAKTI dalam Naskah SangHyang Siksa Kandang Karesian disebutkan Dewa bakti di Hyang.

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.

Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), Kujang memiliki fungsi dan bentuk.

Berdasarkan Fungsi Kujang dibagi menjadi 4 antara lain :

1. Kujang Pusaka (Lambang Keagungan dan perlindungan keselamatan)

2. Kujang Pakarang (Berperang)

3. Kujang Pangarak (alat Upacara)

4. Kujang Pamangkas (alat berladang)


Sedangkan Kujang berdasarkan bentuk bilah nya  yaitu :

1. Kujang Ciung, (Menyerupai Burung Ciung)

2. Kujang Kuntul.(Menyerupai Burung Kuntul)

3. Kujang jago (Menyerupai Ayam Jago)

4. Kujang Bangkong.(Menyerupai Katak)

5. Kujang Badak (Menyerupai Katak)

6. Kujang Naga.Menyerupai binatang Mitologi Naga)


Kujang Berlanjut

Deskripsi: Kujang berlanjut adalah kujang yang jika dilihat dari bentuknya menyerupai bentuk pra kujang dan fungsinya sebagai alat untuk keperluan praktis (terutama sebagai alat pertanian). Kujang berlanjut diperkirakan berkembang setelah abad ke-12. Berdasarkan bahan yang dipergunakannya, umumnya telah berusia 50 tahun atau lebih. Adapun lubang yang terdapat pada bilahnya berfungsi sebagai lubang untuk digantungkan pada sebuah paku atau pasak di dinding ketika tidak digunakan.


Kujang Naga

Deskripsi: Bentuknya menyerupai naga yang melambangkan dunia atas. Dalam mitologi Hindu, Naga merupakan perpaduan antara binatang burung, ular dan rusa. Karakteristik dari kujang Naga memiliki waruga besar dengan siih yang meyebar di bagian tonggong. Menurut berita lisan pantun Bogor, kujang Naga digunakan oleh para Kanduru dan para Jaro.


Nambihan Saur Sepuh...

Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai; "Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang" Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu? Cara-ciri Manusia ada 5: Welas Asih (Cinta Kasih), Tatakrama (Etika Berprilaku), Undak Usuk (Etika Berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan". Cara-ciri Bangsa ada 5: Rupa, Basa, Adat, Aksara, Kebudayaan.

Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya. Kujang bisa juga dijadikan sebagai senjata dalam setiap pribadi manusia untuk memerangi prilaku-prilaku diluar "rel" kemanusaiaan. Memang sungguh "gaib sakti" (falsafah) Kujang. Kenapa setiap kujang mempunyai jumlah bolong/ mata yang berbeda-beda??? Umumnya ada yang 3, 5 (kombinasi 2 dn 3), 9. Itu pun mengandung nilai falsafah yang sangat tinggi dengan istilah "Madep/Ngiblat ka Ratu Raja 3-2-4-5-Lilima-6". Itu semua kaya akan makna yang dapat membuka mata kita tentang siapa aku? dari mana asalnya aku? untuk apa aku hidup? dan menuju kemana aku?


Kujang Pamor

Kujang adalah sebuah bentuk senjata yang unik dan dikenal di daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari bahan besi, baja, dan baja pamor, panjangnya sekitar 20 cm sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.


Semoga Berguna dan Salam Waras...!


Baca Selengkapnya