GUNUNG MUNARA


Gunung Munara
Oleh : Moh Sjafei & Didik Saptacakra


Upaya menuju kehidupan yang lebih sempurna merupakan impian mahkluk yang memiliki qolbu mahabadatum terhadap semua ciptaan Tuhan. Ia senantiasa berusaha mengontrol dan mengendalikan dirinya agar selalu berbuat baik serta bertindak hati-hati dengan ukuran perasaannya sendiri sehingga selalu memuliakan sesama makhluk yang berjiwa termasuk makhluk hewan.

Judul ini terinspirasi pada saat menelusurui jejak leluhur Pajajaran. Konon salah satu  jejak Pajajaran adalah Gunung Munara Bogor. Munara, adalah nama yang diberikan julukan oleh masyaralat sekitar, oleh karena disana terdapat bebatuan yang menjulang tinggi tak ubahnya Menara mesjid. Batu mirip menara tersebut menjulang tinggi, kemungkinan tinggi batu tersebut tidak kurang dari 25 meter. Padahal orang tua dulu, menamakan gunung tersebut adalah Gunung Galuh. Pengertian Galuh bagi orang tua dulu yaitu Asal. Kata asal yang dimaksudkan asal adanya kehidupan semasa jaman Pajajaran. Sebab asalmula leluhur Pajajaran dimulai dari kawasan gunung ini sebelum merambah ke daerah-daerah lainnya dijagat raya ini. 


Kemudian, masih dalam kurun waktu masa lalu, gunung ini menyandang nama Kuta Waringin.    Konotasi Kuta adalah  Kota. Lalu kenapa dikatakan sebuah kota  ?! Ternyata dibilang kota karena didaerah itu banyak dihuni oleh anak keturunan Pajajaran, dan yang menjadi lalu lalang transportasi adalah sungai Cisadane. Namun istilah Kuta tidaklah ditunjang dengan rumah atau gedung-gedung menjulang tinggi. Pada masa itu, anak keturunan Pajajaran yang menghuni Kuta Waringin masih primitive. Sehingga penduduknya masih tinggal disela-sela bebatuan. Dengan cara begitu mereka terhindar dari hujan, angin maupun terik matahari.

Menuju lokasi ke Gunung Munara, sebenarnya tidak terlalu jauh kira-kira 1 Km dari tepi jalan raya Rumpin, sehingga perjalanannya kesana tidak terlalu melelahkan. Sedangkan untuk naik ke puncak gunungnya  kira-kira selama satu jam tanpa henti dan berjalan biasa. Ketinggian Gunung Munara tidak begitu tinggi, namun tetap cukup menguras tenaga walaupun jalannya tidak terjal.

apalagi perjalanan dilakukan pada pagi hari maka beban setiap langkah kaki terasa enteng-enteng saja. Apalagi kondisi medan jalan walaupun berkelok-kelok, namun dikiri kanan  jalan setapak itu dipenuhi oleh rerumputan basah sisa embun malam. Menapaki tanah setapak demi setapak rombongan tim Perjalanan Pajajaran Siliwangi semakin mendekat, tak terasa dengan waktu 25 menit gugus Gunung Papak semakin terlihat jelas.

Pada pandangan pertama yang terlihat disana adalah bongkahan batu berukuran besar kira-kira 6 x 6 meter dengan ketebalan tidak kurang 2 meter. Seorang demi seorang memanjat batu besar itu, dan setelah semua berada diatas batu terasa gembira karena perjalanan telah tercapai sesuai rencana. Udara segar dengan cahaya Sang Surya pagi diiringi dengan kicau burung bersahut-sahutan seolah menambut pajar dan sekaligus menyapa kehadiran kami.



Bait demi bait doa diucapkan sebagai tanda puji syukur kehadirat Ilahi Robi yang telah memberikan anugerah kehidupan kepada ummat manusia. Kiranya manusia patut bersyukur dan berterima kasih kepada Maha Sang Pencipta Alam karena dengan kekuasaanNya jagat raya ini masih berotasi dan nyaman dinikmati oleh jutaan manusia. Namun adakah manusia yang bersyukur dan berterima kasih terhadap alam ?!. Di atas bongkahan batu yang bisu, Tim Perjalanan Pajajaran Siliwangi sejenak merenungi keramahan alam dan memuji kebesaran Sang Maha Pencipta Jagat.

Terik matahari pagi yang memancarkan udara hangat, menggugah qolbu menerawang nun jauh disana ummat yang berada dibelahan dunia lainnya. Bukankah dunia ini dibatasi waktu yang berbeda ?. Di atas batu itu saat pagi hari, mungkin dibelahan dunia lainnya saat malam hari. Kedaan ini dapat disimak  umpama di Bogor Indonesia jam 08.00 sedang di Chicago Amerika jam 20.00, bukankah itu sesuatu yang perlu direnungkan bahwa dunia ini dibelah menjadi 2 bagian waktu yang berbeda tetapi keduanya mendapat bagian yang sama adil atas pelayanan alam.  Suasana pagi ataupun malam, telah ditentukan oleh gerakan matahari apakah pada saat terbit atau terbenam. Sebagai makhluk awam dengan mudah dapat menyimpulkan tanda pagi saat matahari terbit dan saat malam karena matahari telah terbenam. Jika siang oleh pengaruh matahari maka malampun akan diikuti oleh cahaya bulan dan bintang.

Siang dan malam atas kuasa Pencipta Alam ini, dan barometernya adalah cahaya alam (matahari, bulan dan bintang).  Malah ada pendapat bahwa siang dan malam menjadi 2 dunia yang berbeda. Waktu siang adalah hamparan Nabi Adam, karena waktu siang merupakan  saat kaum pria melakukan aktifitas waktu mencari nafkah. Sedangkan malam hari menjadi hamparan Ibu Siti Hawa ( istri Nabi Adam ) karena suasana malam yang cenderung di naungi cahaya redup sinar bulan dan bintang menjadikan suasana berubah romantis sehingga tepat untuk mencurahkan hasrat cinta suami isteri. Maka kedua waktu itulah oleh sebagian manusia khususnya masyarakat muslim yang masih memegang teguh adat ketimuran dimana antara laki-laki dan wanita memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing yaitu ; laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab mencari nafkah dan wanita pada umumnya sebagai ibu rumah tangga. Sehingga waktu siang dikatakan dunia laki-laki dan malam adalah dunia milik wanita. Namun di bagian dunia barat, tentunya berbeda cara sudut pandangnya yang menyangkut tugas dan tanggung jawab antara pria dan wanita.



Namun bukan perbedaan gender maupun kegiatan manusia, tetapi yang perlu disadari  kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta Jagat Raya ini yang penting di renungkan terutama cara mengatur siklus pencahayaan. Penting disadari bahwa tanpa pencahayaan yang tepat manusia akan kehilangan aktifitasnya sebagai makhluk sosial. Disadari atau tidak, bahwa pencahayaan dari matahari, bulan dan bintang semua mempengaruhi kehidupan manusia. Bahkan ada sebagian manusia yang menganggap penting bukan hanya sinarnya saja yang diperlukan tetapi juga keberadaannya  sangat mempengaruhi qolbu setiap manusia, sehingga menjadi kepercayaan tersendiri. Dinamika cara menilai sinar surya alam merupakan hak sepenuhnya manusia, Allah SWT sebagai pemberi anugerah tidak mengharapkan imbal balik namun selayaknyalah manusia terenyuh dan sadar bahwa alam juga memerlukan pengakuan dan penghormatan.



Begitulah kami menerawang, sementara itu batu papak yang kami duduki masih tetap membisu.
Baca Selengkapnya