Oleh Paksi Jaladara
Sejarah yang ditulis jarang
ditulis oleh sang pelaku sejarah, apaagi kejadian sejarah telah berlalu
berpuluh abad yang lampau, tentu hasilnya hanyalah perkiraan-perkiraan saja.
Jauh dari keinginan akan menghasilkan tulisan yang agak benar, obyektif dan akurat. Lebih “kasihan” lagi subyek
sebagai penulis sejarah terdorong oleh kepentingan tertentu seperti ingin lebih
mengedepankan mengangkat dan menonjolkan
kelompoknya atau komunitasnya, sehingga
alur sejarahpun bagaikan letupan-letupan
emosi belaka. Memang penulisan sejarah sangat memerlukan banyak referensi,
namun penyusunan sejarah leluhur perlu hati-hati terutama yang menyangkut kejadian harus ditulis yang benar,
sehingga tiada kesan disepelekan. Sebab selayaknyalah sebagai anak keturunan
harus menghormati leluhurnya yang
sekaligus nenek moyangnya. Bukankah begitu !.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa
selama ini penulisan sejarah masyarakat khususnya Pajajaran banyak dari
referensi bangsa lain. Kenapa tidak digali dari masyarakatnya itu sendiri ya ?.
Tapi memang perlu kehati-hatian sebab selama ini banyak dari “orang tua” yang
mengaku lebih mengetahui dan lebih dekat dengan Siliwangi maupun Pajajaran.
Apapun pengakuan itu perlu dihormati selama tidak berlebihan, asalkan tidak
mengaku dirinya Siliwangi atau merendahkan sifat nenek moyang Pajajaran.
Dikhawatirkan kewalat “habis”.
Sejarah
Inggris yang dibuat Pajajaran
Mengenai sejarah Sunda sungguh
sangat luar biasa, bahkan banyak yang telah
ditulis dengan berbagai sudut pandang. Namun menceritakan keberadaan Pajajaran
dan Siliwangi selalu mencari jejak candi maupun keraton yang menjadi bekas
kerajaannya. Malahan paling hebat lagi,
terdapat kisah Siliwangi lengkap dengan kata-kata dialog. Siliwangi disebutkan
seorang raja !. Seorang raja yang mempunyai permaisuri, yang memiliki anak
sebagai putera mahkota bahkan lengkap dengan tahun tahta yang dijabatnya !.
Tetapi marilah berpikir jernih,
menerawang ke massa lampau membandingkan zaman batu dengan zaman yang serba
canggih sekarang. Kenapa zaman batu ?. Kalau ada kertas, kalau ada computer
kalau ada alat yang bisa ditulis, Siliwangi tidak akan menulis di batu. Huruf
sankala dengan bahasa Kalimulloh tertera pada batu dan batu. Siliwangi
ditakdirkan lahir oleh Maha Pencipta-Nya untuk mengisi dan meramaikan dunia
ini. Nenek moyang yang kelak bergelar Siliwangi
dikatakan seorang raja, dikandung maksud
karena lahir lebih awal menempati suatu domas yang kemudian bernama Pajajaran.
Paling terkesan lucu
terdapat pemikiran bahwa nenek moyangnya termasuk Pajajaran, adalah manusia
hewan berwujud mirip kera dan itu dikatakan
manusia purba. Jika menganggap demikian berarti Allah sebagai pencipta
alam ini tidak Maha Kuasa, tidak Yang Maha Pencipta !!!. Allah tidak bisa
membedakan menciptakan manusia dengan menciptakan hewan atau ada kekeliruan
dalam penciptaan-Nya. Allah sangat Maha
Pintar, Maha Bijaksana, suatu hal yang tidak mungkin manusia awalnya dari
binatang. Al-Kholiq tidak mungkin salah menciptakan, manusia lebih mulya karena
diberikan akal. Akal itulah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Lubang
pori-pori juga berbeda dengan hewan, sehingga bulu-bulu pada manusia terbatas
tidak akan segimbal hewan kera. Cobalah
renungkan kembali, pikirkanlah secara sehat, jangan terkesan menghinakan
derajat manusia maupun Pencipta-Nya.
Sayang sekali pendapat tersebut tidak rasional dan sangat bertentangan
dengan hukumulloh.
Tulisan
Siliwangi. Silahkan baca dan artikan
Kakek nenek Siliwangi,
mengawali hidupnya di Gunung Galuh yang
kelak bernama Gunung Munara. Memang alam sekitarnya senantiasa gelap sebab tanpa
tuntunan budaya kehidupan manusia layaknya, belum ada aturan hidup yang
manusiawi. Mereka tinggal menempati sela-sela bebatuan atau gua. Sudah barang
tentu kondisinya gelap, lembab dan dingin. Jika ditelusuri sekarang posisinya
ada di atas pegunungan, seolah untuk mencapai tempat itu harus menanjak. Tetapi
jika mengkaji posisi itu, besar kemungkinan dahulu bagian bawahnya adalah
genangan air. Hal itu dimungkinkan karena mereka selalu memilih tempat
disekitar tepian air atau tanah pegunungan. Pemilihan tempat didasari untuk
memudahkan aktifitasnya dan lebih gampang memperoleh kebutuhan makanan pokok
mereka yaitu ikan. Selain ikan, untuk menyambung hidupnya mereka juga mencari
makanan lainnya malah menjadi kebutuhan sehari-hari memakan hewan seperti
kelinci, babi atau kijang maupun binatang lainnya. Oleh karena itulah, mereka selalu melakukan berburu binatang ke
arah hutan manapun yang dianggap banyak binatang dan perburuan itupun
memerlukan waktu lama karena bukan hanya disatu pulau saja tetapi menyebar
luas.
Keluar masuk hutan maupun
pendakian pegunungan bagi mereka sudah menjadi kegiatan rutin terdorong hanya
untuk mencari makanan. Namun tanpa disadari seringkali oleh mereka pengejaran
binatang semakin jauh dan jauh sekali. Apabila memperoleh hasil buruan,
dagingnya mereka nikmati serta kulitnya untuk dipergunakan sebagai penutup
badan. Dalam perjalanan itulah tidak jarang Siiwangi menemukan tantangan alam
maupun tantangan dari pemburu lainnya, tetapi Siliwangi tak pernah kalah dalam
pertarungan apalagi dengan sesama manusia.
Dalam pertikaian, menjadi hal
yang wajar kepada sang pemenang, diperoleh
keistimewaan beristirahat dan tidak jarang mendapat persembahan wanita
untuk dijadikan isterinya. Dengan cara sederhana bisa mendapat seorang
perempuan untuk dijadikan isteri. Tapi begitulah yang terjadi pada saat
itu. Jangankan sebelum zaman manusia
berbudaya, pada zaman pendudukan bangsa asingpun yang namanya beristeri tidak
rumit. Sebagai illustrasi, kadang penduduk yang mempunyai anak perawan cantik
akan dijadikan isteri kesatu, kedua atau ketiga oleh sang jawara atau bangsa asing. Caranya, ada orang tua gadis
yang merelakan begitu saja, ada yang dipaksa dengan disertai ancaman jiwa untuk memberikan anaknya, bahkan
ada dengan cara diculik anak gadisnya.
Mungkin saja ada yang lebih tidak berprikemanusiaan. Maka jangan heran jika
tokoh kita dahulu kala memiliki lebih dari
seorang isteri.
Perhatikan
garis huruf S. Tulisan ini mengenai riwayat “Solomon”
Sesungguhnya kemenangan demi kemenangan
setiap pertarungan Siliwangi bukan semata-mata memiliki senjata ampuh kujang.
Sejenis pisau itu berbentuk tidak karuan, karena jika melihat hanya berupa sinar
cahaya. Sehingga betapa sulit menentukan lekuk maupun bentuk yang pasti,
makanya seringkali dikatakan “kujang karancang”. Senjata pamungkasnya itu jarang dipergunakan,
kemenangan Siliwangi lebih didasari
pendekatan paham dan kemanusiaan. Mengalahkan musuh dengan cara dibunuh, adalah
perbuatan keji. Siliwangi tidak pernah membunuh, karena meyakini bahwa membunuh
manusia menjadi hak Pencipta-Nya. Itulah
ajarannya yang sampai kini ditanamkan. Sifat memuliakan manusia telah menjadi
darah dagingnya. Beliau sudah memahami hukum sebelum ajaran itu menjadi agama,
ternyata sejak lahir telah bersunat
seperti layaknya anak dikhitan. Maka
Siliwangi juga bergelar “Slam Tunggal”, sehingga wajar anak keturunannya kelak banyak menjadi penyebar agama
Islam.
Pengembaraan sambil berburu
dilakukan bertahun-tahun, dan setiap tempat yang pernah disinggahi selalu
ditandai dengan batu. Batu-batu berbentuk yang unik kadang dengan batu
bertulis, tanda tersebut seolah pesan
bagi keturunannya bahwa tempat itu adalah petilasannya. Sedang mengenai batu
bertulis, kadangkala dilengkapi dengan goresan gambar matahari dan atau telapak
kaki kalau tidak telapak tangan. Goresan tersebut menandakan bahwa disitu telah
disinggahi Siliwangi dengan nama lain yaitu Sangiang Tapak.
Siliwangi adalah nama gelar
keturunan, namun dalam pengembaraannya selalu menggunakan nama julukan lain dan
setiap kawasan selalu menggunakan nama-nama yang berbeda. Ada nama Sangiang
Jalak Sutera, Sangiang Langlang Buana, Sangiang Sapujagat, Sangiang Kilat
Buana, Sangiang Gagak Lumayung, dan banyak nama alias lainnya. Nama-nama julukan
tersebut banyak didasari dari nama alam.
Hal itu menunjukan bahwa alam telah berperan membentuk sosok tokoh
Siliwangi sehingga diapresiasi menjadi namanya. Nama-nama unik tersebut,
tentunya memiliki kaitan erat dengan kesaktian ilmu maupun peristiwanya.
Seperti ; nama Sangiang Tapak, karena tapak tangan atau tapak kakinya melengkapi
tulisan pada batu. Kemudian nama Sangiang Jalak Sutera, Siliwangi sebagus dan
seindah burung jalak. Seterusnya nama
Sangiang Langlang Buana, Siliwangi adalah pengelana yang melanglang
buana/dunia. Demikianlah seterusnya,
nama-nama yang mempunyai makna istimewa bagi pemiliknya
Tempat-tempat yang telah
disinggahinya, kemudian menjadi perkampungan baru. Disanalah bermukim anak
keturunannya setelah melalui perkawinan antar saudara. Menyinggung tentang
perkawinan mereka mungkin terdengar aneh, tapi begitulah. Pada zaman itu belum ada akidah dan kaidah,
sehingga perkawinan mereka belum diatur sedemikin rupa sesuai hukum yang belaku
seperti sekarang. Walau mereka menjalani
kehidupan dalam sela-sela batu atau gua-gua, namun anggota keluarganya sedikit
demi sedikit bertambah. Masih primitive kondisinya, tetapi hasrat biologis
mereka berjalan sesuai kodrat alam. Dalam mengarungi hidup dan kehidupan mereka juga banyak belajar dari alam
sekitarnya, yang disebut “pangaweruh tanpa guru”.
Selain Siliwangi petarung sejati,
juga dikenal dengan sebutan macan Pajajaran karena penutup badannya dari kulit
macan. Sepintas penampilan Siliwangi bagaikan seekor harimau. Jadi keliru,
kalau beranggapan Siliwangi adalah harimau.
Karena kemampuan ilmunyalah, binatang buas itu menjadi pengikut setia
kemanapun Siliwangi melangkahkan kakinya. Serta pengawal setia tadi bukan macan
yang seperti sekarang berkeliaran,
tetapi harimau yang tidak berwujud, kalaupun mampu melihat dengan mata batin,
ia nampak berwarna putih dan pada bagian
lehernya berwarna hitam seperti berkalung.
Hanya Siliwangi yang badan ditutupi
kulit harimau, sedangkan yang lainnya menggunakan penutup badannya dari bahan kulit
pelepah pohon pinang, dan yang agak keren dari bahan kulit rusa. Upih atau kulit
pelepah pinang maupun kulit rusa, cuma dibalutkan pada bagian tubuh yang vital
saja. Kulit hewan maupun upih, sudah mampu mereka reka-reka namun untuk
merancang keraton atau arca belum bisa. Bagi mereka keraton adalah gua. Salah
satu gua yang masih tersisa seperti di Gunung Guruh. Sedang arca, dibuat
terkesan asal-asalan. Memang mereka belum mampu dan terampil, karena belum ada
alat yang mendukungnya sekaligus mereka juga belum maju kebudayaannya. Dan dalam
penempatan arca melambangkan petilasan leluhur pernah menghuni ditempat itu.
Patung-patung yang pernah dibuat di Gunung Gumeling Ciampea maupun di Gunung
Eusing, tapi kini hampir punah dimakan usia serta oleh tangan-tangan manusia
usil.
Khusus mengenai keraton apalagi
yang namanya istana, sama sekali tidak ada. Kalau keraton dibuat berarti telah
ada alat-alat pembangunan maupun material bangunan. Jangankan ada palu atau
gergaji untuk memotong rambut aja mereka bakar (rerab, Bah. Sunda)
sedikit-sedikit. Sehingga mustahil membuat suatu bangunan tanpa dukungan alat
yang memadai. Sedangkan adanya besi saja, di datangkan oleh Belanda ketika akan
membuat jalan kereta api, jembatan maupun bangunan lainnya. Kurun zaman
Siliwangi dengan zaman Belanda jauh sekali. Kehadiran Belandalah yang banyak
merubah kondisi alam yang sekaligus menyebar dogma budayanya. Memang keberadaan Belanda tidak sepenuhnya menyengsarakan
rakyat, banyak unsur positifnya juga. Hanya dalam merekam jejak Pajajaran yang
ditulis salah seorang rejim kolonialis, kurang cermat menggambarkannya sehingga
terkesan menyesatkan. Dan menilai peradaban
Siliwangi segaris datar dengan zaman pendudukannnya. Sungguh nisbi.
Memandang Siliwangi seharusnya tolak
ukurnya adalah tulisan pada batu. Seandainya pada zaman itu ada kertas, ada
pinsil, ada mesin tik, ada spidol atau komputer,
atau terdapat alat tulis lain, mungkin Siliwangi tidak akan menulis pada batu. Batu
dan batu yang digores berbentuk tulisan oleh leluhur berserakan di 6 lokasi tanah
puser Pajajaran. Selain itu terdapat juga di beberapa tempat lainnya, malah
pada saat negara menginventarisasi cagar budaya benda itu dikumpulkan untuk mengisi
museum. Sejatinya setiap batu bertulis dimanapun
berada yang di bubuhi simbol matahari atau telapak, itu produk leluhur
Pajajaran yang dijuluki Sangiang Tapak. Pemilik nama Kilat Buana inipun
disamping gemar menuliskan jejaknya, beliau adalah seorang pengelana ulung.
Konon menurut empunya, tulisan pada batu itu, dibuat pada zaman sebelum adanya
huruf latin. Dari 6 lokasi tulisan batu
itu, konon telah ditulis 500 tahun sebelum masehi. Fakta
batu tulis tidak bisa dipungkiri, bahwa leluhur Pajajaran jauh sebelum peradaban manusia maju telah mengawali menulis. Tulisan yang berisi
pesan dan pernyataan untuk anak keturunannya maupun untuk penduduk dunia.
Kenapa harus dunia ?!. Sebab pengembaraan Siliwangi tidak sebatas nusantara saja, malah ketika menghuni Negara India, beliau
menggunakan nama Sangiang Gotama salah satu nama pituin / asli asma Pajajaran. Dengan
demikian suatu kesalahan besar jika dikatakan Pajajaran keturunan dari India,
sangat menyesatkan malah sebaliknya banyak keturunan Pajajaran di India
Dan dalam lembaran pada bukunya
banyak tulisan yang menyinggung tentang kondisi tiap negara. Salah satu
tulisannya yang menggambarkan dunia, sebagaimana tersebut di bawah ini :
Mengenai Peta Dunia.
Segitiga sebelah kanan kondisi Negara Uni
Sovyet. Kiri pojok bawah adalah Negara Israel. Kotak-kotat lainnya silahkan anda
baca sendiri
Apabila ingin paham dan mengerti
isi tulisan tersebut diatas, penulis dapat memandu ke Majelis Mahful. Secara
logika mungkin pembaca meragukan, sebaiknya pembaca membuktikannnya sendiri.
Sebenarnya Siliwangi tidak menghendaki publikasi sebab terkesan sombong, ujub,
takabur, tetapi hanya dengan sarana inilah untuk menjawab anggapan yang keliru.
Dan tulisan karuhun tersebut ternyata mengenai alur turunan, kondisi alam,
rahasia alam maupun bencana alam yang
akan terjadi. Oleh karena itulah sebenarnya tabu mengurai tulisannya. Misalnya,
mengenai bencana lumpur di Sidoarjo, jebolnya
Situ Gintung maupun bencana kapal jatuh, sebelum terjadi sudah memberitahu tanda-tandanya. Sedangkan pada bagian tulisan
lainnya, juga mengulas tentang beberapa gunung api yang terdapat di bawah laut maupun
bencana yang akan terjadi disekitar negara kita dan atau di Negara lain. Selain itu, terdapat juga palung-palung di bawah beberapa pulau
yang kelak mungkin akan menjadi bencana. Ampun
paralun kepada leluhur, tulisan ini bukan semata-mata ujub takabur tetapi
sekedar mengingatkan kepada manusia-manusia yang “calutak”.
Paksi Jaladara
Paksi Jaladara