Pada zaman dahulu kala hampir
seabad yang lampau di Bogor pernah terjadi peristiwa yang mungkin menurut
pikiran sehat tidak masuk akal. Namun sebagai manusia yang beriman, tentunya
mempunyai keyakinan apabila Tuhan menghendaki sesuatu maka jadilah. Seperti,
kisah manusia yang akan diceritakan berikut ini.
Kisah ini terjadi di Bogor, tepatnya di Kampung Pondok
Rumput ( Jembatan Ki Idi RW V ) yang
bersebeberangan dengan Kampung Cimanggu. Pondok Rumput letaknya kurang lebih 3
km ke arah utara dari pusat Kotamadya Bogor. Antara Pondok Rumput dan Cimanggu
dipisahkan oleh sebuah aliran sungai yang bernama Cipakancilan. Nama sungai
Pakancilan menurut informasi, konon di ambil dari nama hewan kancil ( sebangsa
rusa kecil ) sering bermain dan merumput disepanjang sungai itu. Namun ada pula
yang memberi nama Cigede. Karena sungai tersebut disamping lebar juga sangat
dalam sekali.
Sungai Pakancilan merupakan aliran dari Cisadane.
Cisadane sendiri adalah bagian dari sungai ; Ciliwung yang dipisahkan oleh Dam
di daerah Kampung Babadak Tajur. Orang tua dulu, memberi istilah Ciliwung
sebagai kakek / nenek. Cisadane adalah anak Ciliwung, dan Cipakancilan adalah
cucunya. Entah apa dari makna itu, namun hubungan antara sungai ke sungai oleh
sesepuh Bogor dalam lakon klasik kerajaan Pakuan Pajajaran dijadikan pantun,
seperti bait demi baitnya berikut ini :
Ahung guru liman putih
Liman putih lalakina
Nu ngemit cahya buana
Di Parebu Larang Tapa
Anu nyusuk Cihaliwung
Dina lemah rakadampat
Dina lemah rakadampat
Kadampat ku cirohana
Dadampit ku cirohani
Cihaliwung nunjang ngidul
Cisadane nunjang ngaler
Tareban Cipakancilan
Nunjang ka selang pakunjang
Ciliwung, Cisadane dan Cipakancilan sudah di kenal sejak
masa kejayaan Sri baduga Maharaja yang berkuasa di Pakuan Pajajaran pada tahun
1482-1521. Keberadaan sungai-sungai tersebut berarti hampir 5 abad. Selama itu
keadaan sungai sudah barang tentu banyak pergeseran posisi jalur / aliran,
kedalaman maupun kondisi sungai. Namun sampai sekarang tidak ada keterangan
siapa yang membuat sungai dan apa penyebab perubahan.
Alur sejarah mungkin tak akan selesai ditelusuri sama
halnya dengan mengalirnya air sungai, tapi itulah sekilas pintas adanya aliran
Cipakancilan yang menoreh legenda rakyat Bogor.
Dahulu, sungai Pakancilan airnya jernih, tenang dan lebar
sekali. Oleh penduduk sekitarnya Cipakancilan menjadi tumpuan hajat hidup;
sebagai tempat berenang, mencuci serta terkenal sebagai tempat mencari ikan.
Tiap pagi terdengar suara tawa gembira anak manusia.
Mereka bukan penduduk di dekat sungai, tetapi bertempat tinggal jauh yang
sengaja ke sungai untuk mandi, mencuci dan bermain air. Dipinggir vkali
terdapat mushola dan sebuah rumah. Oleh karena itulah sepanjang hari
orang-orang sangat menyukai ke Cipakancilan, terutama penduduk yang ingin mandi
sekaligus melakukan shalat dzuhur atau ashar.
Penduduk sekitarnya mengenak sekali Ki Mursin pemilik
rumah itu. Sebenarnya dua bangunan itu belum layak dibilang rumah maupun
mushola, sebab hanya rangkaian sederhana kayu dan bambu yang dilapisi bilik dan
bagian bawahnya ditopang beberapa buah batu persegi berukuran kira-kira 30 x 60
cm2.
Kakek – nenek penghuni bangunan panggung tersebut
nampaknya hidup rukun dan damai, terutama sifat si kakek yang dikenal pendiam
dan penyabar. Namun sebaliknya, isterinya memiliki sifat cerewet, pemarah,
ketus dan selalu mengeluh sehingga antara si kakek dan si nenek sifatnya
kontras sekali. Kendatipun demikian rumah tangganya tetap rukun.
Si kakek pekerjaannya sebagai penebang pohon. Sedangkan
usaha semacam itu tidak setiap hari menghasilkan uang untuk keperluan rumah
tangganya. Sebab walaupun ia telah menelusuri perkampungan, tidak seminggu
sekali ia dapatkan orang menggunakan jasanya. Namun si kakek tetap tawaqal,
setiap hari menelusuri perkampungan sambil membawa peralatan penebangan yang
seolah-olah telah menjadi teman akrab dalam kewajibannya mencari nafkah.
Suatu hari selepas senja, si kakek tengah melepasn lelah.
Nampaknya ia benar-benar ingin menikmati istirahatnya. Segelas kopi, ubi rebus
sekali-kali isapan rokok kawung, membuat ia terlena. Dari celah-celah bilik terdengar samar istrinya
membaca sesuatu. Tetapi walaupun suara itu samar berbaur dengan suara riak air
Cipakancilan, si kakek dapat mendengar bahwa istrinya tengah berdoa. Doa yang
sering ia dengar, bahkan ia mengerti sekali maksudnya. Seketika itu, pikiran si
kakek menerawang, menghubungkan doa istrinya dengan kenyataan hidup yang
bdihadapi. Ada perasaan sedih, haru dan pasrah.
Dilain pihak semilir angin senja memainkan dedaunan,
udara dingin dan segar, memaku kulit keriput, si kakek tetap melekat di atas
balai bambu. Suasanan itu tak berlangsung lama, karena kehadiran si nenek
menggugah kesendirian si kakek.
“Ki ! “ ujar istrinya memecah keheningan suasana, kapan
yah kita punya anak?. Keluh si nenek sambil bergerak mendekat dan turut
melonjorkan kakinya disebelah suaminya.
“Ah.....nini” gumam si kakek pendek dan nadanya lemah
bagai tidak semangat menimpali keluhan istrinya.
“Ki...! “, kata si nenek lagi, sejak lama kita ingin
mempunyai anak, sayatelah berusaha mencari dukun, berobat dan bahkan tidak
pernah putus berdoa, tapi ternyata sampai setua ini kita belum juga mempunyai
anak”.
Si kakek diam tidak menanggapi. Hanya dari cekung bola
matanya berkaca-kaca, seperti isyarat bahwa ia tak mampu menerima keluhan
istrinya. Suasana hening. Keduanya membisu, yang terdengar hanya desiran angin
menerpa rambut si nenek yang mulai memutih. Keduanya diam terpana. Alam pikiran
nenek dan kakek itu seolah tidak mengerti kenyataan hidup yang dihadapi.
Perasaan bingung, pasrah, iri dan benci menyelimuti keluarga itu.
Keinginan memiliki anak, sudah tidak terhitung si nenek
ungkapkan. Dari sejak mulai menikah, berkeluarga sampai menjelang masa udzur,
ia terus mengharapkan anugrah seorang anak, dua orang anak bahkan banyak anak.
Suaminya bukan tidak menyambut keinginan istrinya, tetapi ia tetap
menggantungkan harapannya kepada Illahi Robbi. Sebab ia berkeyakinan, apabila
Tuhan tidak menghendaki, apapun tidak akan terjadi. Apalagi mempunyai anak
keturunan merupakan kepercayaan dan sebagai titipan dari Allah SWT, begitulah
ia berkesimpulan.
Lain halnya dengan si nenek, ia ingin hamil, ingin
mempunyai anak. Dari waktu ke waktu harapan menjadi seorang ibu terus
membayanginya, meskipun menyadari bahwa fisiknya mulai lemah, tua renta, tetapi
keinginannya terus menggebu. Obat, jampi-jampi dan pepatah orang telah ia lakukan.
Dari semua cara itu ternyata belum nampak tanda perubahan apapun. Oleh karena
itulah ia mulai goncang. Kesabarannya mulai memudar. Hari-hari yang dilaluinya
tanpa kedamaian. Tingkah laku si nenek sering kali berubah kasar, bahkan tutur
katanya berubah sombong, penuh serapah dan takabur.
Tentu saja perubahan sifat si nenek sangat dimaklumi
suaminya. Namun Allah SWT Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Melihat
tingkah laku suami istri itu. Oleh karena itu kapanpun Allah SWT menghendaki,
dengan kalimat Kun Fayakun...........maka jadilah. Seperti yang terjadi pada Ni
Endu, ketika ia bangun pagi, perutnya terasa mual ingin muntah. Begitu pula
esok harinya sama dengan hari kemarin, terasa mual mau muntah. Akhirnya
“penyakit pagi” itu menyerangnya beberapa hari berturut-turut. Nafsu makanpun
tak ada, ternyata setelah diselidiki oleh paraji, Ni Endu mengidam dan mulai
mengandung.
Tentu saja keterangan paraji membuat keluarga terpencil
itu seolah menemukan semangat hidup. Dari hari ke hari mereka lalui penuh
kebahagiaan. Si kakek lebih bersemangat mencari nafkah sebagai penebang pohon,
kadang-kadang menjadi buruh atau pencari rumput. Dan istrinya sudah tidak lagi
terlihat murung maupun mengeluh.
Waktu terus bergulir, kedua suami istri itu telah
menyiapkan kehadiran seorang bayi. Calon ibu itu juga merasa bangga sekali
apabila orang menanyakan berapa bulan kandungannya. Kemudian ia pula akan
menceritakan awal kehamilannya, mimpi-mimpi, cara bergerak bayi dan lain
sebagainya. Rupanya ada kebanggaan tersendiri bagi yang hamil untuk
menceritakan hal itu.
Sebelumnya, setiap pagi wajah perempuanyang mulai keriput
itu suka ingin sekali memandang kegembiraan anak-anak berenang, ia ingin
memandikan, ia ingin memanjakan dengan penuh kasih sayang. Tetapi setelah ia
mengandung keinginan itu seperti sirna. Ia lebih banyak memikirkan rencana
untuk melahirkan.
Hari ke hari menjadi bulan terus melaju, seperti derasnya
air mengalir sungai Cipakancilan. Perut Ni Endu kian hari semakin membesar,
namun Ni Endu dan Ki Mursin tidak tahu bayi laki-laki atau perempuan anaknya
kelak. Dalam kandungan Ni Endu sama halnya dengan misteri didalam Cipakancilan,
entah apa.
Ketika saatnya telah mencapai sembilan bulan lebih,
barulah teka-teki keluarga itu dapat terjawab, dan pertama kali diketahui oleh
ibu Ea. Dinginnya udara malam makin bertambah menggigil tubuh ibu Ea, sebab
selama ia menyandang profesi dukun beranak (paraji), baru malam itu kedua
tangannya mengangkat bentuk bayi yang aneh. Wujudnya seperti tokek, hanya tidak
bersisik. Tidak ada suara jerit tangis bayi, yang terdengar hanya suara ibu Ea
dan Ki Mursin yang tak henti-hentinya memuji kebesaran nama Allah. Pada malam
itu Allah telah menunjukkan kekuasaan-Nya. Ki mursin maupun ibu Ea, tidak dapat
berbuat apa-apa bahkan pasti seluruh manusia di dunia tidak bisa berbuat
apapun. Kecuali ia pasrah kepada yang Maha Kuasa, bahkan ia telah di beri
karunia seorang bayi berbentuk lain.
Sementara itu waktu telah cepat menggiring malam, dan tak
lama kemudian malam berada pada puncaknya. Setetes embun pun jatuh menyertai
bunyi kokok ayam yang menandakan malam akan segera berakhir. Butir-butir embun
telah membasahi permukaan bumi. Sama halnya dengan Ni Endu pipinya basah lebab
karena ia menangis sepanjang malam.
Ketika fajar mengusir malam, ibu Ea beranjak pulang
meninggalkan Ni Endu dan Ki Mursin yang dirundung bingung. Sanak sodaranya
datang menengok, dan hampir seluruh pengunjung berucap lirih menyebut kebesaran
Allah. Satu dua orang berlalu, tetapi terus berganti pengunjung yang lain. Sehingga
berita Ni Endu melahirkan menjadi gegar penduduk kampung sekitarnya.
Hari pertama Ni Endu lalui penuh nasihat dan saran dari
para pengunjung. Agar Ni Endu tetap sabar, tabah, tawakal dan pasrah. Mendengar
nasihat pelayat Ni Endu maupun Ki Mursin menyadari sepenuhnya takdir Allah SWT.
Keduanya diam membisu dan lemas bagai tak bertenaga. Terutama Ni Endu rasakan
fisik lemah bercampur kantuk menyebabkan ia tertidur pulas. Rumah bilik milik
Ni Endu – Ki Mursin mulai lengang. Beberapa orang keluarga dekat masih setia
menemani Ni Endu yang tengah tidur nyenyak.
Sementara itu bayi yang baru dilahirkan masih tetap
dibungkus kain panjang. Ia nampak masih berkulit merah dan belum
bergerak-gerak. Tetapi setelah beberapa hari, barulah bayi itu mulai menggeliat.
Suatu malam orang tuanya bermimpi, bahwa bayi yang baru dilahirkan minta
disimpan dalam paso ( bak air yang di buat dari bahan tanah liat / kayu) Suara
dalam mimpi juga berpesan agar bapak – ibunya tidak usah sedih, karena sudah
merupakan suratan takdir. Pada siang harinya Ni Endu dan Ki Mursin saling
menceritakan perihal mimpinya, ternyata keduanya bermimpi yang sama.
Kemudian hari yang ketujuh, Ni Endu dan Ki Mursin mimpi
kembali ; si bayi minta dilepaskan ke sungai Pakancilan. Namun sebelumnya ia
juga mohon diberi tanda dengan cara buntut / ekornya dipotong. Selain itu pula
si bayi memberi petunjuk ; apabila orang tuanya rindu atau memerlukan bantuan
agar memanggil nama anaknya dengan sebutan “si Buntung “. Walau Ki Mursin
diliputi perasaan sayang, sedih dan tidak tega, tetapi setelah mereka
bersepakat akhirnya pesan-pesan mimpi ia lakukan jua.
Sambil tak henti-hentinya mengagungkan kebesaran nama
Allah SWT, tangan ki mursin meraup anaknya dari dalam paso yang berair.
Sedangkan tangan lainnya memegang pisau tajam. Dalam waktu sekejap kedua tangan
ki Mursin bergerak, maka terputuslah bagian ekor dari tubuh bayi itu. Jadilah
anaknya bernama “Si Buntung”. Diiringi isak tangis dan dan deraian air mata Ni
Endu dan ki Mursin, perlahan-lahan si buntung di lepas ke sungai Pakancilan.
Kemudian ia bergerak-gerak seperti berenang. Dan lama-kelamaan, akhirnya
seperti menyelam, lalu menghilang sama sekali dari pandangan kedua orang
tuanya.
Dari sejak peristiwa itu, hubungan anak dengan orang
tuanya dilakukan melalui mimpi atau panggilan. Sebagaimana layaknya seorang ibu
yang selalu ingin mencurahkan perasaan kasih sayang terhadap anaknya, Ni Endu
pun dapat melakukannya walaupun hanya melalui hubungan batin atau impian. Dalam
mimpi, yang terlihat adalah wujud seorang anak laki-laki. Tidak ada perbedaan
fisik dengan anak manusia normal lainnya. Oleh karena itulah bagi Ki Mursin
maupun istrinya tidak merasa sedih berkepanjangan, malah sebaliknya membuat
mereka merasa memiliki sesuatu keistimewaan.
Perjalanan waktu terus berputar, seiring dengan
perkembangan usia maupun fisik anaknya yang bernama Si Buntung. Dalam pandangan
mata kedua orang tuanya, tidak pernah si buntung menampakkan wujudnya sebagai
buaya yang menakutkan. Ia tetap memperlihatkan dirinya seorang anak laki-laki
yang lucu dan senang berpakaian serba putih dan berkopiah. Tempat bermainnya
pun seperti tidak pernah jauh dari rumah itu, dan bahkan terkesan seperti
selalu mengikuti kemanapun orang tuanya melangkah pergi. Dan dalam pandangan
mimpi kedua orang tuanya, postur tubuh Si buntung berubah-ubah membesar
sebagaimana tubuh anak yang meningkat usianya.
Memang bagi penduduk yang pernah melihat si buntung
berupa buaya, tetapi ia bukan buaya sembarangan. Sesuai pesan kakek Mursin
kepada penduduk apabila menjumpai buaya
cukup mengatakan : “ Buntung jangan mengganggu “, maka iapun akan mengerti.
Hal itu seperti yang dialami oleh saudaranya, ketika
hendak ke sungai. Ia melihat seekor buaya, kemudian ia mengatakan “ Buntung,
jangan disini kalau mau berjemur. Disana tuh”, sambil menunjuk ke sawah
diseberang sungai. Maka seketka itu pula buaya tersebut menghilang. Tak lama
kemudian diseberang sungai terlihat seorang laki-laki yang berpakaian putih
sedang duduk di pematang sawah.
Ditengah persawahan itu pula si buntung pernah
mengalahkan buaya tamu. Ia mengetahui setiap buaya telah menganiaya / memangsa
manusia, akan disingkirkan dari kelompoknya. Sama halnya dengan buaya asing yang datang ke Pakancilan, ia tidak
disukai si buntung. Selama beberapa saat terjadi pertarungan antara buaya asing
dengan si buntung, tetapi si buntung yang dikenal sebagai bukan buaya
sembarangan dengan mudah dapat mengalahkan. Dan ternyata si buntung tidak hanya
menghuni sungai Pakancilan saja, tetapi ia juga suka berkelana ke Ciliwung,
cisadane, citarum bahkan menurut informasi sampai ke Cimandiri Pelabuhan Ratu
Sukabumi.
Kini keperkasaan, kemasyuran dan keanehan kisah si
Buntung telah sirna ditelan masa. Bersamaan dengan perubahan sungai Pakancilan
yang tidak lagi berair bersih, jernih dan telah berubah dangkal. Ni Endu maupun
Ki Mursin telah tiada. Si Buntung, buaya keturunan manusia tidak lagi menghuni
Cipakancilan. Menurut informasi keluarganya yang masih dekat, si buntung pindah
tempat dan menghuni salah satu sungai di Jakarta. Entah masih ada atau tidak.
Kisah ini disusun hanya untuk memperkaya khazanah budaya
yang berkembang dimasyarakat dan dari legenda rakyat ini pula diharapkan dapat
menyimak manfaat segi positifnya, bahwa takabur atau sombong merupakan
perbuatan yang tidak baik. Seperti halnya Ni Endu yang pernah mengatakan ;
ingin hamil dan punya anak, biar anak buaya juga.Ternyata Allah SWT benar-benar
maha mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Melihat tingkah laku ummat – Nya.
Catatan : Telah dibukukan
dalam Buku Bunga Rampai Bogor
Dalam rangka
memperingati 50 Tahun Indonesia Merdeka