Sapta Tirta

Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan

SEJARAH PERJUANGAN LELUHUR BANGSA



Obyèk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa Pablengan Kecamatan Matésih Kabupaten  Karanganyar Jawa Tengah, merupakan satu-satunya sendang paling unik di dunia. Dari keseluruhan 7 air sendang itu masing-masing dalam jarak 5 meter, dan yang paling jauh berjarak hanya 15 meter antara satu sendang dengan sendang lainnya. Akan tetapi uniknya masing-masing sendang mempunyai aroma dan rasa serta khasiat yang berbeda-beda.  Areal seluas 2 hektar ini pun menjadi salah satu tempat yang cocok untuk relaksasi dengan mandi sekaligus untuk mengusir berbagai macam penyakit. Hawa yang sejuk pun kental terasa di sini karena Pemandian Sapta Tirta berada di kaki Gunung Lawu serta dikelilingi oleh hutan pinus Argotiloso. 
Menurut catatan sejarah Sapta Tirta merupakan salah satu petilasan raja-raja Mangkunegaran Surakarta. Sapta Tirta tidak terlepas dari sejarah perjuangan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Samber Nyowo alias KGPAA Mangkunegoro I atau Kanjeng Adipati Mangkunegoro Senopati Ing Ayuda Lelono Joyo Wiseso yang hidup di antara tahun 1725-1795 M. Beliau juga sangat terkenal akan kesaktiannya yang terbukti saat melawan kolonial Belanda pada waktu itu.
Separoh usia Beliau, dijalani sebagai pejuang yang berusaha mempersatukan Bumi Mataram, perjalanan dilakukan dengan siasat Gerilya dengan sebuah semboyan terkenal Tiji Tibeh singkatan darimati siji mati kabeh (mati satu, matilah semuanya). Beliau adalah pejuang dari trah keturunan Kerajaan Mataram yang menghendaki Bumi Mataram bebas dari cengkeraman kompeni Belanda. Selama 16 tahun beliau berjuang dengan sangat gigihnya.
Alkisah, Perjuangan Eyang Pangeran  Sambernyawa telah sampailah di desa Pablengan, di sinilah beliau mendapat petunjuk (wisik) dari leluhur Beliau untuk melaksanakan ritual menggunakan Air Sapta Tirta di desa Pablengan. Untuk pertama kalinya beliau mandi di sumber Air Bleng, dengan tujuanngeblengake tekad (menyatukan cipta rasa karsa) atau golong gilik (bertekad bulad) menyatukan hati, ucapan, pikiran dan cita-cita agar dapat mengusir kompeni Hindia Belanda dari bumi Mataram atau tanah Jawa.
Yang kedua, selanjutnya Beliau mandi di air Urus-urus dengan maksud agar segala tujuannya dapat terurus, terkelola, dimanajemen dengan sebaik-baiknya. Beliau melakukan mandi di sumber Air Urus-Urus.
Selanjutnya yang ketiga Beliau mandi di air londo, atau air yang berasa soda dan sedikit asam mirip minuman pocari sweet, dengan tujuan agar mendapatkan kesegaran jasmani dan rohani. Beliau dengan cara  meminum air sendang berasa soda dan sedikit asam tersebut.
Yang ke empat dan ke lima beliau mandi di air hidup dan air mati secara bergantian dengan tujuan agar segala cita-cita perjuangannya, hidup dan matinya berguna untuk kehidupan, dan Beliau pasrahakekepada Sang Jagadnata.
Yang ke enam, kemudian beliau memandikan seluruh pasukan tentaranya di air sendang Kasektendengan maksud agar memperoleh kekuatan, kewibawaan, keberanian, dan jiwa patriotisme agar dapat mengusir penjajah Belanda dari bumi Mataram.
Yang ke tujuh beliau mandi di sumber air Kamulyan /air hangat agar segala cita-cita mengusir penjajah Belanda mendapat ketentraman dan kamulyan bagi kawula/rakyat bumi Mataram.
Nah, di dalam kompleks Sapta Tirta juga terdapat sendang atau Pemandian Keputren. Sendang keputren merupakan peninggalan dari RM Surono atau KGPAA Mangkunegoro ke VI yang terdiri dari bilik kamar mandi dan merupakan peninggalan satu-satunya yang tersisa dari peninggalan Mangkunegoro di Sapta Tirta yang masih asli (tanpa renovasi).
Sapta Tirta di desa Pablengan menjadi salah satu tempat untuk panyuwunan /permohonan kepada tuhan dengan  berbagai tujuan agar terkabul dengan melakukan prosesi ritual sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kita sebagai generasi penerus bangsa dapat turut nguri-uri, melestarikan Sapta Tirta desa Pablengan yang mempunyai nilai sejarah perjuangan ini. Semoga dapat memayu hayuning bawana lan memayu hayuning sesami, gemah ripah loh jinawi, tentrem kerta raharja.
URUTAN SENDANG & MAKNA KEHIDUPAN



Menikmati sumber mata air dengan kandungan mineral yang berbeda-beda dapat anda rasakan saat mengunjungi tempat pemandian ini, Pemandian Sapta Tirta. Tempat ini menjadi tempat favorit yang didatangi oleh pengunjung yang ingin mencoba khasiat air yang ada disana untuk mengobati berbagai penyakit. Beberapa orang yang pernah berkunjung ke pemandian ini berujar bahwa air yang ada disana dapat digunakan untuk mengusir berbagai macam penyakit, misalnya penyakit ginjal, diabetes, liver, TBC, serta baik untuk mereka yang ingin terlihat awet muda. Maka kami pun perlu membuktikan kebenarannya. Satu persatu kami coba untuk mengambil air, sekedar cuci muka, dan meminumnya, bahkan sendang air mati sekalipun tapi cukup sedikit saja.
Ditempat ini juga terdapat bangunan yang dulu digunakan Pangeran Sambernyawa untuk olah batin dengan cara mesu budi dan manekung. Tempat tersebut tampak terawat dengan bersih. Penjaga kompleks ini pun mengingatkan kalau tempat ini dulunya adalah tempat bangsawan sakti untuk berjuang dan sekarang para pengunjung pun disarankan untuk menghormati keberadaan Pemandian Sapta Tirta sebagai peninggalan nyata dari Pangeran Sambernyawa. Di pemandian Sapta Tirta, terdapat larangan yang harus diperhatikan oleh pengunjung. Anda harus menjaga perilaku dan bersikap sopan ditempat dan tentu saja dilarang untuk buang air kecil sembarangan. Bagi yang sedang menstruasi tidak diperkenankan mandi, cukup cuci muka dan membasuh tangan, serta meminum air sendnag secukupnya.
               Untuk merasakan dan diharapkan mendapatkan hasil maksimal, para pengunjung hendaknyamemperhatikan urutan sendang sebagai berikut.
1. Banyu Bleng
Sumber air Bleng artinya air garam. Sumber mata air ini tidak hangat, tetapi mempunyai rasa asin dan sebagian orang dapat memanfaatkan mata air ini untuk membuat karak, atau sejenis kerupuk yang dibuat dari nasi. Sampai sekarang, sumber mata air ini tidak pernah kering dan anda pun tidak dipungut biaya bila ingin membawa sumber air Bleng ini.
Selain manfaat di atas. Dalam laku spiritual, Bleng berasal dari kata ngebleng atau puasa tidak makan dan tidak minum dalam beberapa hari, biasanya antara 3 sampai 40 hari. Bleng juga berarti gem-bleng. Atau tempat penggemblengan, yakni menempa diri. Kehidupan dirasakan pahit getir asin. Kata pepatah, agar mudah mencapai kesuksesan dan kemuliaan hidup, setiap orang haruslah banyak makan “asam” dan “garam“ kehidupan di jagad ini. Arti secara general adalah laku prihatin  dijadikan dasarpanggemblengan diri agar kita lahir kembali sebagai pribadi yang berkualitas.
2.     Banyu Urus-urus
Mata air ini mempunyai suhu yang hangat dan pengunjung biasanya memanfaatkan airnya untuk mandi dengan harapan dapat mengusir penyakit kulit seperti gatal dan juga rematik. Air urus-urus bermanfaat juga seperti fungsi pil B Kompleks, untuk cuci perut. Jika anda meminum segelas atau lebih ar urus-urus, biasanya tidak sampai 1 jam perut Anda akan membuang seluruh kotorannya. Urus-urusadalah istilah Jawa yang berarti menguras. Dalam hal ini, menguras atau membersihkan diri pribadi dari segala macam nafsu angkara dan keserakahan. Setelah seseorang melakoni topo ngebleng, diharapkan dapat meraih kebeningan hati dan kejernihan fikiran. Bersih atau suci lahir dan batin guna melandasi langkah berikutnya dalam meraih cita-cita luhur.
3.     Banyu Panguripan
Sumber air hidup. Air yang keluar dari kaki gunung Lawu ini selalu bergolak dapat diibaratkan bergolaknya kehidupan. Namun air hidup tidak terasa hangat. Dapat digunakan untuk mencuci muka atau mandi. Sumber air hidup dipercaya bahwa dapat membuat wajah akan terlihat awet muda. Selain itu, sumber mata air ini juga sering digunakan untuk ritual pernikahan yang ada di sekitar lokasi Pemandian Sapta Tirta. Makna spiritual air kehidupan bahwa setelah seseorang mampu mensucikan lahir batinnya, barulah dapat disebut sudah hidup dan siap melakoni perjalanan hidup agar berguna bagi seluruh kehidupan di planet bumi ini.
4.     Banyu Mati
Nah, hanya berjarak sekitar 3 meter, persis di samping sumber air hidup, terdapat sumber air mati. Disebut air mati karena terdapat kandungan mengandung mineral berbahaya jika terlalu banyak masuk ke dalam tubuh dapat membahayakan kesehatan dan jiwa. Namun jika dimanfaatkan sedikit saja atau sekedar untuk mandi, justru akan memberikan manfaat besar untuk kesehatan dan kekuatan fisik. Makna yang terkandung di dalam air mati ini, bahwa dalam kehidupan di dunia ini ada hidup dan ada mati. Di dalam kehidupan ada kematian, namun begitu juga di dalam kematian ada kehidupan. Keduanya menjadi pepeling kita dalam menjalani kehidupan ini. Dalam spiritual Jawa dikenal laku mati sajroning urip atau mati di dalam hidup. Agar kelak dapat nggayuh urip sajroning pati, atau meraih kemuliaan hidup di alam kematian raga. Untuk meraih kemuliaan hidup di dimensi wadag maupun dimensi keabadian, seseorang harus mampu dan mau “mematikan” atau lebih tepatnya mengendalikan segala sifat buruk, nafsu angkara dan keserakahan yang ada di dalam diri.
5.     Banyu Soda
Sumber air soda. Air yang dihasilkan dari mata air ini memiliki rasa mirip soda atau lebih tepatnya minuman pocari sweet. Air Soda dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti diabetes, paru-paru seperti TBC, bronchitis, dan penyakit  lever serta ginjal. Makna yang tersirat di dalam mata air Soda ini adalah, di dalam kehidupan ini pasti ada pahit getir, ada sakit, ada pula kekalahan. Air soda adalah “obat” untuk menawarkan segala macam aral kehidupan seperti kesialan dan sebagainya. Berguna untuk membangkitkan kesadaran, memulihkan semangat perjuangan dan meraih kembali kebugaran lahir dan batin.
6.     Banyu Kasekten
Sumber air kasekten tidak berasa asin maupun asam. Namun berasa ada kandungan seperti besi baja atau metal. Warnanya juga sedikit kekuningan seperti larutan baja. Di lokasi ini terasa sekali energinya begitu kuat, bahkan walau sekedar membasuh wajah dan ubun-ubun terasa ada kekuatan yang sungguh menakjubkan. Sendang kasekten, bermakna bahwa berbagai rintangan, keprihatinan, yang tergambar di beberapa sendang sebelumnya, semuanya kita jadikan sebagai arena untuk menguji diri. Jika lolos, berarti seseorang akan meraih ngelmu sejati. Yakni kesaktian yang diperoleh bukan lewat cara mahar, mejik, instan dan sejenisnya, melainkan konsekuensi logis (baca : berkah alam) dari perjalanan “laku prihatin” yang tidak ringan. Jika alam semesta menilai perjalanan atau laku prihatin Anda telah layak, maka alam semesta ini akan selalu berpihak kepada Anda. Di sendang ini Anda akan mudah mendapatkan kekuatan lahir dan batin, dan kemampuan lebih di atas rata-rata orang.
7.     Banyu Kamulyan
Pada akhirnya, setelah perjalanan melalui 6 tahap tersebut, seseorang akan sampai pada tahap meraih kamulyaning gesang. Kemuliaan hidup adalah buah atau konsekuensi logis atas apa yang Anda tanam sebelumnya. Banyak orang merasa tlah melakukan prihatin tetapi motivasinya kadang sudang melenceng atau malah terlampau jauh dari kemampuan diri. Gegayuhan yang menjadi ilusi karena tidak lain hanyalah seonggok utopia. Maka dalam berusaha meraih cita-cita hendaknya kita benar-benar pandai memantaskan diri, kita harus pandai mengukur diri, harus pandai bercermin. Sudahkah pantas diri kita menerima anugrah dan berkah yang kita cita-citakan itu ? Untuk dapat mengukur dan mencermati diri sendiri, maka tanyakan pada diri kita sendiri, apa yang sudah kita lakukan untuk keluarga, untuk orang-orang terdekat, untuk masyarakat, untuk bangsa dan Negara ini ? Jangan terbalik melulu bertanya dan menuntut apa yang seharusnya anda miliki dan terima. Jika Anda belum meberi maka alam semesta ini akan pelit kepada diri Anda. Berikan yang paling berharga kepada seluruh mahluk dengan rasa welas asih, tulus dan tanpa pilih kasih. Lalu lihatlah, saksikan, dan rasakan buktinya.
SASANA PAMELENGAN
Di dalam areal sumber air Sapta Tirta terdapat Sasana Pamelengan, merupakan tempat pasamaden, mesu budi, atau pamelengan. Di tempat inilah dahulu kala Pangeran Sambernyawa melakukan olah pasamaden untuk maneges agar segala cita-cita dan harapan luhurnya mengusir penjajah Belanda dan menyatukan bumi Mataram dapat terwujud.
Pada saat melakukan olah Pasamaden, ada bait mantra berupa tembang yang terdapat di dalam Serat Wedhatama Pupuh Pangkur Podo kaping 13 liriknya sebagai berikut :
Tan samar pamoring suksma
Sinuksmaya winahya ing asepi
Sinimpen telenging kalbu
Pambukaning warana
Tarlen saking liyep layaping aluyup
Pindha pesating sumpena
Sumusuping rasa jati
Artinya :
Tidaklah samar-samar saat sukma menyatu, meresap terpatri dalam keheningan samadi, diendapkan di kedalaman lubuk hati, itu menjadi sarana pembuka tabir rahasia hidup, tanda-tandanya berawal dari keadaan antara sadar dan tiada, serasa bagaikan mimpi, tetapi di situlah rahsa yang sejati.

Semoga bermanfaat. Salam silih asah asih asuh.
Baca Selengkapnya

Buaya Buntung


Pada zaman dahulu kala hampir seabad yang lampau di Bogor pernah terjadi peristiwa yang mungkin menurut pikiran sehat tidak masuk akal. Namun sebagai manusia yang beriman, tentunya mempunyai keyakinan apabila Tuhan menghendaki sesuatu maka jadilah. Seperti, kisah manusia yang akan diceritakan berikut ini.

            Kisah ini terjadi di Bogor, tepatnya di Kampung Pondok Rumput  ( Jembatan Ki Idi RW V ) yang bersebeberangan dengan Kampung Cimanggu. Pondok Rumput letaknya kurang lebih 3 km ke arah utara dari pusat Kotamadya Bogor. Antara Pondok Rumput dan Cimanggu dipisahkan oleh sebuah aliran sungai yang bernama Cipakancilan. Nama sungai Pakancilan menurut informasi, konon di ambil dari nama hewan kancil ( sebangsa rusa kecil ) sering bermain dan merumput disepanjang sungai itu. Namun ada pula yang memberi nama Cigede. Karena sungai tersebut disamping lebar juga sangat dalam sekali.
            Sungai Pakancilan merupakan aliran dari Cisadane. Cisadane sendiri adalah bagian dari sungai ; Ciliwung yang dipisahkan oleh Dam di daerah Kampung Babadak Tajur. Orang tua dulu, memberi istilah Ciliwung sebagai kakek / nenek. Cisadane adalah anak Ciliwung, dan Cipakancilan adalah cucunya. Entah apa dari makna itu, namun hubungan antara sungai ke sungai oleh sesepuh Bogor dalam lakon klasik kerajaan Pakuan Pajajaran dijadikan pantun, seperti bait demi baitnya berikut ini :

                Ahung guru liman putih
            Liman putih lalakina
            Nu ngemit cahya buana
            Di Parebu Larang Tapa
            Anu nyusuk Cihaliwung
            Dina lemah rakadampat
            Dina lemah rakadampat
            Kadampat ku cirohana
            Dadampit ku cirohani
            Cihaliwung nunjang ngidul
            Cisadane nunjang ngaler
            Tareban Cipakancilan
            Nunjang ka selang pakunjang
         
            Ciliwung, Cisadane dan Cipakancilan sudah di kenal sejak masa kejayaan Sri baduga Maharaja yang berkuasa di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482-1521. Keberadaan sungai-sungai tersebut berarti hampir 5 abad. Selama itu keadaan sungai sudah barang tentu banyak pergeseran posisi jalur / aliran, kedalaman maupun kondisi sungai. Namun sampai sekarang tidak ada keterangan siapa yang membuat sungai dan apa penyebab perubahan.
            Alur sejarah mungkin tak akan selesai ditelusuri sama halnya dengan mengalirnya air sungai, tapi itulah sekilas pintas adanya aliran Cipakancilan yang menoreh legenda rakyat Bogor.
            Dahulu, sungai Pakancilan airnya jernih, tenang dan lebar sekali. Oleh penduduk sekitarnya Cipakancilan menjadi tumpuan hajat hidup; sebagai tempat berenang, mencuci serta terkenal sebagai tempat mencari ikan.
            Tiap pagi terdengar suara tawa gembira anak manusia. Mereka bukan penduduk di dekat sungai, tetapi bertempat tinggal jauh yang sengaja ke sungai untuk mandi, mencuci dan bermain air. Dipinggir vkali terdapat mushola dan sebuah rumah. Oleh karena itulah sepanjang hari orang-orang sangat menyukai ke Cipakancilan, terutama penduduk yang ingin mandi sekaligus melakukan shalat dzuhur atau ashar.
            Penduduk sekitarnya mengenak sekali Ki Mursin pemilik rumah itu. Sebenarnya dua bangunan itu belum layak dibilang rumah maupun mushola, sebab hanya rangkaian sederhana kayu dan bambu yang dilapisi bilik dan bagian bawahnya ditopang beberapa buah batu persegi berukuran kira-kira 30 x 60 cm2.
            Kakek – nenek penghuni bangunan panggung tersebut nampaknya hidup rukun dan damai, terutama sifat si kakek yang dikenal pendiam dan penyabar. Namun sebaliknya, isterinya memiliki sifat cerewet, pemarah, ketus dan selalu mengeluh sehingga antara si kakek dan si nenek sifatnya kontras sekali. Kendatipun demikian rumah tangganya tetap rukun.
            Si kakek pekerjaannya sebagai penebang pohon. Sedangkan usaha semacam itu tidak setiap hari menghasilkan uang untuk keperluan rumah tangganya. Sebab walaupun ia telah menelusuri perkampungan, tidak seminggu sekali ia dapatkan orang menggunakan jasanya. Namun si kakek tetap tawaqal, setiap hari menelusuri perkampungan sambil membawa peralatan penebangan yang seolah-olah telah menjadi teman akrab dalam kewajibannya mencari nafkah.
            Suatu hari selepas senja, si kakek tengah melepasn lelah. Nampaknya ia benar-benar ingin menikmati istirahatnya. Segelas kopi, ubi rebus sekali-kali isapan rokok kawung, membuat ia terlena. Dari  celah-celah bilik terdengar samar istrinya membaca sesuatu. Tetapi walaupun suara itu samar berbaur dengan suara riak air Cipakancilan, si kakek dapat mendengar bahwa istrinya tengah berdoa. Doa yang sering ia dengar, bahkan ia mengerti sekali maksudnya. Seketika itu, pikiran si kakek menerawang, menghubungkan doa istrinya dengan kenyataan hidup yang bdihadapi. Ada perasaan sedih, haru dan pasrah.
            Dilain pihak semilir angin senja memainkan dedaunan, udara dingin dan segar, memaku kulit keriput, si kakek tetap melekat di atas balai bambu. Suasanan itu tak berlangsung lama, karena kehadiran si nenek menggugah kesendirian si kakek.
            “Ki ! “ ujar istrinya memecah keheningan suasana, kapan yah kita punya anak?. Keluh si nenek sambil bergerak mendekat dan turut melonjorkan kakinya disebelah suaminya.
            “Ah.....nini” gumam si kakek pendek dan nadanya lemah bagai tidak semangat menimpali keluhan istrinya.
            “Ki...! “, kata si nenek lagi, sejak lama kita ingin mempunyai anak, sayatelah berusaha mencari dukun, berobat dan bahkan tidak pernah putus berdoa, tapi ternyata sampai setua ini kita belum juga mempunyai anak”.
            Si kakek diam tidak menanggapi. Hanya dari cekung bola matanya berkaca-kaca, seperti isyarat bahwa ia tak mampu menerima keluhan istrinya. Suasana hening. Keduanya membisu, yang terdengar hanya desiran angin menerpa rambut si nenek yang mulai memutih. Keduanya diam terpana. Alam pikiran nenek dan kakek itu seolah tidak mengerti kenyataan hidup yang dihadapi. Perasaan bingung, pasrah, iri dan benci menyelimuti keluarga itu.
            Keinginan memiliki anak, sudah tidak terhitung si nenek ungkapkan. Dari sejak mulai menikah, berkeluarga sampai menjelang masa udzur, ia terus mengharapkan anugrah seorang anak, dua orang anak bahkan banyak anak. Suaminya bukan tidak menyambut keinginan istrinya, tetapi ia tetap menggantungkan harapannya kepada Illahi Robbi. Sebab ia berkeyakinan, apabila Tuhan tidak menghendaki, apapun tidak akan terjadi. Apalagi mempunyai anak keturunan merupakan kepercayaan dan sebagai titipan dari Allah SWT, begitulah ia berkesimpulan.
            Lain halnya dengan si nenek, ia ingin hamil, ingin mempunyai anak. Dari waktu ke waktu harapan menjadi seorang ibu terus membayanginya, meskipun menyadari bahwa fisiknya mulai lemah, tua renta, tetapi keinginannya terus menggebu. Obat, jampi-jampi dan pepatah orang telah ia lakukan. Dari semua cara itu ternyata belum nampak tanda perubahan apapun. Oleh karena itulah ia mulai goncang. Kesabarannya mulai memudar. Hari-hari yang dilaluinya tanpa kedamaian. Tingkah laku si nenek sering kali berubah kasar, bahkan tutur katanya berubah sombong, penuh serapah dan takabur.
            Tentu saja perubahan sifat si nenek sangat dimaklumi suaminya. Namun Allah SWT Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Melihat tingkah laku suami istri itu. Oleh karena itu kapanpun Allah SWT menghendaki, dengan kalimat Kun Fayakun...........maka jadilah. Seperti yang terjadi pada Ni Endu, ketika ia bangun pagi, perutnya terasa mual ingin muntah. Begitu pula esok harinya sama dengan hari kemarin, terasa mual mau muntah. Akhirnya “penyakit pagi” itu menyerangnya beberapa hari berturut-turut. Nafsu makanpun tak ada, ternyata setelah diselidiki oleh paraji, Ni Endu mengidam dan mulai mengandung.
            Tentu saja keterangan paraji membuat keluarga terpencil itu seolah menemukan semangat hidup. Dari hari ke hari mereka lalui penuh kebahagiaan. Si kakek lebih bersemangat mencari nafkah sebagai penebang pohon, kadang-kadang menjadi buruh atau pencari rumput. Dan istrinya sudah tidak lagi terlihat murung maupun mengeluh.
            Waktu terus bergulir, kedua suami istri itu telah menyiapkan kehadiran seorang bayi. Calon ibu itu juga merasa bangga sekali apabila orang menanyakan berapa bulan kandungannya. Kemudian ia pula akan menceritakan awal kehamilannya, mimpi-mimpi, cara bergerak bayi dan lain sebagainya. Rupanya ada kebanggaan tersendiri bagi yang hamil untuk menceritakan hal itu.
            Sebelumnya, setiap pagi wajah perempuanyang mulai keriput itu suka ingin sekali memandang kegembiraan anak-anak berenang, ia ingin memandikan, ia ingin memanjakan dengan penuh kasih sayang. Tetapi setelah ia mengandung keinginan itu seperti sirna. Ia lebih banyak memikirkan rencana untuk melahirkan.
            Hari ke hari menjadi bulan terus melaju, seperti derasnya air mengalir sungai Cipakancilan. Perut Ni Endu kian hari semakin membesar, namun Ni Endu dan Ki Mursin tidak tahu bayi laki-laki atau perempuan anaknya kelak. Dalam kandungan Ni Endu sama halnya dengan misteri didalam Cipakancilan, entah apa.
            Ketika saatnya telah mencapai sembilan bulan lebih, barulah teka-teki keluarga itu dapat terjawab, dan pertama kali diketahui oleh ibu Ea. Dinginnya udara malam makin bertambah menggigil tubuh ibu Ea, sebab selama ia menyandang profesi dukun beranak (paraji), baru malam itu kedua tangannya mengangkat bentuk bayi yang aneh. Wujudnya seperti tokek, hanya tidak bersisik. Tidak ada suara jerit tangis bayi, yang terdengar hanya suara ibu Ea dan Ki Mursin yang tak henti-hentinya memuji kebesaran nama Allah. Pada malam itu Allah telah menunjukkan kekuasaan-Nya. Ki mursin maupun ibu Ea, tidak dapat berbuat apa-apa bahkan pasti seluruh manusia di dunia tidak bisa berbuat apapun. Kecuali ia pasrah kepada yang Maha Kuasa, bahkan ia telah di beri karunia seorang bayi berbentuk lain.
            Sementara itu waktu telah cepat menggiring malam, dan tak lama kemudian malam berada pada puncaknya. Setetes embun pun jatuh menyertai bunyi kokok ayam yang menandakan malam akan segera berakhir. Butir-butir embun telah membasahi permukaan bumi. Sama halnya dengan Ni Endu pipinya basah lebab karena ia menangis sepanjang malam.
            Ketika fajar mengusir malam, ibu Ea beranjak pulang meninggalkan Ni Endu dan Ki Mursin yang dirundung bingung. Sanak sodaranya datang menengok, dan hampir seluruh pengunjung berucap lirih menyebut kebesaran Allah. Satu dua orang berlalu, tetapi terus berganti pengunjung yang lain. Sehingga berita Ni Endu melahirkan menjadi gegar penduduk kampung sekitarnya.
            Hari pertama Ni Endu lalui penuh nasihat dan saran dari para pengunjung. Agar Ni Endu tetap sabar, tabah, tawakal dan pasrah. Mendengar nasihat pelayat Ni Endu maupun Ki Mursin menyadari sepenuhnya takdir Allah SWT. Keduanya diam membisu dan lemas bagai tak bertenaga. Terutama Ni Endu rasakan fisik lemah bercampur kantuk menyebabkan ia tertidur pulas. Rumah bilik milik Ni Endu – Ki Mursin mulai lengang. Beberapa orang keluarga dekat masih setia menemani Ni Endu yang tengah tidur nyenyak.
            Sementara itu bayi yang baru dilahirkan masih tetap dibungkus kain panjang. Ia nampak masih berkulit merah dan belum bergerak-gerak. Tetapi setelah beberapa hari, barulah bayi itu mulai menggeliat. Suatu malam orang tuanya bermimpi, bahwa bayi yang baru dilahirkan minta disimpan dalam paso ( bak air yang di buat dari bahan tanah liat / kayu) Suara dalam mimpi juga berpesan agar bapak – ibunya tidak usah sedih, karena sudah merupakan suratan takdir. Pada siang harinya Ni Endu dan Ki Mursin saling menceritakan perihal mimpinya, ternyata keduanya bermimpi yang sama.
            Kemudian hari yang ketujuh, Ni Endu dan Ki Mursin mimpi kembali ; si bayi minta dilepaskan ke sungai Pakancilan. Namun sebelumnya ia juga mohon diberi tanda dengan cara buntut / ekornya dipotong. Selain itu pula si bayi memberi petunjuk ; apabila orang tuanya rindu atau memerlukan bantuan agar memanggil nama anaknya dengan sebutan “si Buntung “. Walau Ki Mursin diliputi perasaan sayang, sedih dan tidak tega, tetapi setelah mereka bersepakat akhirnya pesan-pesan mimpi ia lakukan jua.
            Sambil tak henti-hentinya mengagungkan kebesaran nama Allah SWT, tangan ki mursin meraup anaknya dari dalam paso yang berair. Sedangkan tangan lainnya memegang pisau tajam. Dalam waktu sekejap kedua tangan ki Mursin bergerak, maka terputuslah bagian ekor dari tubuh bayi itu. Jadilah anaknya bernama “Si Buntung”. Diiringi isak tangis dan dan deraian air mata Ni Endu dan ki Mursin, perlahan-lahan si buntung di lepas ke sungai Pakancilan. Kemudian ia bergerak-gerak seperti berenang. Dan lama-kelamaan, akhirnya seperti menyelam, lalu menghilang sama sekali dari pandangan kedua orang tuanya.
            Dari sejak peristiwa itu, hubungan anak dengan orang tuanya dilakukan melalui mimpi atau panggilan. Sebagaimana layaknya seorang ibu yang selalu ingin mencurahkan perasaan kasih sayang terhadap anaknya, Ni Endu pun dapat melakukannya walaupun hanya melalui hubungan batin atau impian. Dalam mimpi, yang terlihat adalah wujud seorang anak laki-laki. Tidak ada perbedaan fisik dengan anak manusia normal lainnya. Oleh karena itulah bagi Ki Mursin maupun istrinya tidak merasa sedih berkepanjangan, malah sebaliknya membuat mereka merasa memiliki sesuatu keistimewaan.
            Perjalanan waktu terus berputar, seiring dengan perkembangan usia maupun fisik anaknya yang bernama Si Buntung. Dalam pandangan mata kedua orang tuanya, tidak pernah si buntung menampakkan wujudnya sebagai buaya yang menakutkan. Ia tetap memperlihatkan dirinya seorang anak laki-laki yang lucu dan senang berpakaian serba putih dan berkopiah. Tempat bermainnya pun seperti tidak pernah jauh dari rumah itu, dan bahkan terkesan seperti selalu mengikuti kemanapun orang tuanya melangkah pergi. Dan dalam pandangan mimpi kedua orang tuanya, postur tubuh Si buntung berubah-ubah membesar sebagaimana tubuh anak yang meningkat usianya.
            Memang bagi penduduk yang pernah melihat si buntung berupa buaya, tetapi ia bukan buaya sembarangan. Sesuai pesan kakek Mursin kepada penduduk  apabila menjumpai buaya cukup mengatakan : “ Buntung jangan mengganggu “, maka iapun akan mengerti.
            Hal itu seperti yang dialami oleh saudaranya, ketika hendak ke sungai. Ia melihat seekor buaya, kemudian ia mengatakan “ Buntung, jangan disini kalau mau berjemur. Disana tuh”, sambil menunjuk ke sawah diseberang sungai. Maka seketka itu pula buaya tersebut menghilang. Tak lama kemudian diseberang sungai terlihat seorang laki-laki yang berpakaian putih sedang duduk di pematang sawah.
            Ditengah persawahan itu pula si buntung pernah mengalahkan buaya tamu. Ia mengetahui setiap buaya telah menganiaya / memangsa manusia, akan disingkirkan dari kelompoknya. Sama halnya dengan buaya  asing yang datang ke Pakancilan, ia tidak disukai si buntung. Selama beberapa saat terjadi pertarungan antara buaya asing dengan si buntung, tetapi si buntung yang dikenal sebagai bukan buaya sembarangan dengan mudah dapat mengalahkan. Dan ternyata si buntung tidak hanya menghuni sungai Pakancilan saja, tetapi ia juga suka berkelana ke Ciliwung, cisadane, citarum bahkan menurut informasi sampai ke Cimandiri Pelabuhan Ratu Sukabumi.
            Kini keperkasaan, kemasyuran dan keanehan kisah si Buntung telah sirna ditelan masa. Bersamaan dengan perubahan sungai Pakancilan yang tidak lagi berair bersih, jernih dan telah berubah dangkal. Ni Endu maupun Ki Mursin telah tiada. Si Buntung, buaya keturunan manusia tidak lagi menghuni Cipakancilan. Menurut informasi keluarganya yang masih dekat, si buntung pindah tempat dan menghuni salah satu sungai di Jakarta. Entah masih ada atau tidak.
            Kisah ini disusun hanya untuk memperkaya khazanah budaya yang berkembang dimasyarakat dan dari legenda rakyat ini pula diharapkan dapat menyimak manfaat segi positifnya, bahwa takabur atau sombong merupakan perbuatan yang tidak baik. Seperti halnya Ni Endu yang pernah mengatakan ; ingin hamil dan punya anak, biar anak buaya juga.Ternyata Allah SWT benar-benar maha mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Melihat tingkah laku ummat – Nya.



Catatan : Telah dibukukan dalam Buku Bunga Rampai Bogor


                 Dalam rangka memperingati 50 Tahun Indonesia Merdeka

Baca Selengkapnya

TAPAK TAPAK PAJAJARAN

TAPAK TAPAK PAJAJARAN
Oleh : Moh. Sjafei & Sapta Cakra


Tapak atau bekas atau peninggalan atau patilasan atau artefak merupakan bukti bahwa  dahulu kala   dibuat oleh manusia yang hidup pada zaman itu. Memang menurut artefak yang dibuat itu, tidak meninggal catatan siapa yang membuat,  dimana dan  kapan dibuatnya. Oleh karena itu, memang sangat menyulitkan sehingga tidak  ada kepastian untuk pertanggungjawaban secara teoritis. Jika menelusuri jejak Pajajaran, harus dikunjungi bekas jejaknya dan tidak bisa mengandalkan dari cerita saja atau dari buku saja. Apalagi dari meditasi, tidak akan mendekati akurasi. 

Salah satu tulisan sankala saat ini

Tentang Pajajaran  yang diketahui selama ini dan berkembang ditengah-tengah keturunannya, banyak bersumber dari sejarah referensi perjalanan bangsa Belanda. Sebagaimana diketahui, bahwa catatan tim ekspedisi bangsa Belanda perlu di hormati namun alangkah nisbinya keturunan Pajajaran malah lebih yakin terhadap catatan bangsa lain. Padahal tim ekspedisi Belanda tidak mengalami zaman itu, mereka  hanya mencatat penemuan yang diperoleh informasi dari penduduk yang ditemuinya. Dan paling kurang berkenan, bahwa awal kehidupan nenek moyang berasal dari India ?. Tetapi malah sebaliknya India menjadi salah satu tempat pengembaraan Pajajaran.

Selain itu, mengenai Pajajaran-Siliwangi belum menjadi  kesepakatan khususnya masyarakat yang mengakui keturunannya. Taruma-Sunda-Pajajaran, tidak dalam kawasan sempit suatu wilayah, dan tidak menetap selama-lamanya disuatu tempat. Tetapi melakukan pengembaraan jauh dari jangkauan perkiraan manusia sekarang.  Leluhur itu melakukan petualangan bertujuan memperbanyak keturunan. Untuk hal itu diperlukan jembar manah. Memang tidaklah mudah untuk mencapai kesepakatan, karena Pajajaran telah meninggalkan bekas di setiap daerah sesuai perjalanannya.

            Pajajaran, pengertiannya menjajarkan keturunan. Pada masa itu, Siliwangi yang menjadi tokoh Pajajaran hadir di jagat raya ini sebelum banyak manusia. Menurut catatan sumber kami, kelahiran Siliwangi terjadi pada tahun Ha. Tahun Ha, adalah huruf  tetapi jika dikonfirmasi ke angka kira-kira tahun berapa ?. Entahlah. Malah belum ada yang namaya Pajajaran pada zaman itu. Penyebutan Pajajaran mulai diperkenalkan setelah Siliwangi melakukan perjalanan pengembaraannya. Sehingga jika dikatakan terdapat kerajaan Pajajaran juga kiranya kurang tepat karena tidak ada bekas yang menunjukan adanya bangunan keraton. Sebab yang namanya kerajaan akan identik jika dihubungkan dengan adanya  bangunan istana atau keraton.  Jika terdapat bangunan istana atau keraton, logikanya di zaman itu sudah adanya bahan bangunan maupun alat-alat yang mendukungnya. Sedangkan pada zaman Siliwangi jumlah manusia saja sedikit, belum ada alat alat untuk pembangunan apalagi ada seorang arsitek tidak ada sama sekali. Apalagi jika dikatakan terdapat bahan besi untuk membuat keraton, sama sekali tidak ada.

Realita yang ditemui bahwa besi adanya berbarengan dengan kehadiran bangsa Belanda membuat jalan kereta api sekitar abad ke 18. Malah ada informasi bahwa pembuatan jalan kereta api Semarang-Jogya dilakukan pada tahun 1864. Jadi perlu ditinjau lagi yang menyebutkan zaman Siliwangi sudah ada istana, tetapi kalau zaman keturunannya mungkin saja.  Zaman Siliwangi itu benar-benar dalam suasana gelap dan bahkan terkesan primitif atau masih pra budaya.

Salah satu mulut goa yang pernah dihuni Siliwangi

             Budaya menurut pengertian penulis, adalah sesuatu sikap, tindakan, perbuatan yang dilakukan berulang-ulang yang disepakati, diakui dan dilanjutkan menjadi kebiasaan pada masa itu serta dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Sedangkan pada saat itu populasi keberadaan manusia masih terbatas dan amat sedikit. Sikap maupun perilaku manusia belum mengenal etika pergaulan dan budaya bersolek.  Konkritnya, cara berpakaian saja asal-asalan, badannya hanya ditutupi dengan kulit binatang atau dengan upih atau pelepah pinang. Sementara rambutnya panjang gimbal. Kukunya panjang tak terurus. Cobalah bayangkan, postur tubuh yang tinggi besar dengan rambut jabrik, kuku panjang serta busana hanya seadanya menutup organ tubuh,  sehingga layak jika dikatakan belum berbudaya secara paripurna.

            Kondisi zaman itu, hukum yang berlaku adalah hukum rimba siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Suasana alam kehidupan yang tidak diiringi dengan aturan, siapapun memiliki kesempatan sama untuk berkuasa dengan syarat dapat menaklukan alam dan manusia sekitarnya. Menundukkan alam menjadi penting karena alam dipenuhi binatang buas untuk dijadikan makanan manusia, dan sebaliknya binatang buas juga selalu mengincar manusia itu sendiri untuk menjadi santapannya.    Sehingga antar  manusia dengan binatang menjadi saling mengancam kehidupannya masing-masing.  Dilain pihak  hubungan antar manusia juga tidaklah harmonis, mereka saling membunuh untuk memperebutkan sesuatu yang menjadi keinginannya. Pertikaian antar mereka, banyak disebabkan perebutan makanan, penguasaan kawasan dan pula karena memperebutkan wanita. Namun pertikaian antar manusia tidak sesering dengan binatang, sebab jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Apalagi jika digambarkan adanya peperangan, mana mungkin terjadi dan apa penyebab peperangan ? sedang cara berpikir mereka saja tidak semaju manusia sekarang tetapi qodrat akal telah dimiliki. 

Benarkah Pajajaran Siliwangi terjadi pada zaman itu pra budaya ? Marilah disimak sejenak ke masa lalu. Salah satu peninggalan Pajajaran adalah batu dan batu,  karena memang benda itulah salah satu peninggalan leluhur. Batu yang kita kenal merupakan benda keras yang memiliki sifat tidak berubah usik maliknya dari sejak diciptakan bersamaan dengan jagat ini.  Batu tidak mudah lekang oleh waktu dan zaman. Ia merupakan benda padat sebagai saksi kehidupan mahluk sekitarnya.

 
Padatala tapak kaki

 Oleh karena itu, kiranya wajar jika Siliwangi meninggalkan jejaknya yang ditandai dengan batu karena batu bisa berumur lama, panjang dan tidak berubah jika tidak diusik oleh manusia. Siliwangi menyiratkan tulisan pada batu, dan batu pula yang senantiasa dijadikan tanda tempat-tempat yang pernah disinggahinya. Batu selain ditandai dengan tulisan, juga ditandai dengan tapak kaki atau tapak tangan. Sehingga ada 5 kesaksian pada batu yang ditandai Siliwangi.  Pertama batu, kedua tulisan, ketiga lambang matahari, keempat padatala tapak tangan dan kelima padatala tapak kaki. 

Karena batu itu pula, yang memudahkan penulis ke obyek yang dituju untuk menelusurri Pajajaran dan Siliwangi. Selain batu yang dijadikan tonggak petilasannya, terdapat pula batu yang dijadikan untuk tempat berlindung sebagaimana layaknya tempat hunian kelompok manusia. Bebatuan, disusun sedemikian rupa sebagaimana lajimnya goa sehingga mereka terlindung dari hujan, angin dan terik  panas matahari maupun ancaman binatang buas.

Batu batu yang mengisyaratkan petilasan itu, dapat ditemukan di atas dataran tinggi atau malah di pinggir sungai. Hal itu dilakukan ternyata dengan alasan tertentu, misalnya dipinggir sungai ;  karena salah satu makanan pokoknya adalah ikan. Alasan pembuatan tempat bernaung di dataran tinggi, karena dahulu di bagian bawahnya terdapat genangan air. Sehingga sekarang nampak berada di dataran tinggi padahal karena penyusutan  air dan perubahan alam seolah-olah berada atas.

Untuk menunjang dan mempertahankan hidup, terpenting mereka membuat alat untuk membela diri semacam gada.  Kemudian, mereka buat batu yang diruncingkan seperti kapak yang digunakan untuk memotong atau membelah  benda. Mereka juga  membuat batu lonjong dibagian ujungnya runcing, yang kita kenal  semacam tombak atau linggis.  Batu dan batu itulah dibuat sebagai alat untuk kebutuhan  hidup. Dan batu batu itulah yang kemudian oleh cerdik pandai diberi  nama ; Batu tulis, batu punden berundak, batu lingga, batu yoni, batu dakon, batu karut, batu dongdang, batu kasur, batu pengapungan dan lain sebagainya. Pemberian nama untuk memudahkan pengenalan dan nama-nama itu yang diidentifikasi sesuai bentuknya. Selain batu model tersebut, terdapat pula pembuatan  patung banteng yang diberi nama Banteng Lilin Suku Gading atau Sapi Gumarang. Konon arca banteng tersebut identik dengan symbol Banteng Andini tunggangan Batara Guru. Patung Sapi Gumarang itu berada di kawasan Kebun Raya.


 
Banteng Lilin Suku Gading atau Sapi Gumarang

Batu,  yang kemudian di jadikan artefak, selama ini banyak yang tidak lagi berada ditempat awal Siliwangi meninggalkannya. Padahal dengan berpindah tempat menyebabkan kesulitan untuk penelusuran rekam jejak  Pajajaran,  dan kepindahan  letak batu disebabkan oleh banyak kepentingan. Malah mungkin ada pula  yang menjadi milik pribadi. Memang ironis, banyak yang tidak terawat serta nyaris hancur. Selama ini, batu-batu bersejarah yang berada di tempat-tempat tertentu bukanlah berasal dari lokasi itu, tetapi dikumpulkan dari beberapa tempat yang tidak didiskrifsikan sehingga agak menyulitkan malah nantinya bisa mengaburkan alur sejarah.

Walaupun hanya sebuah batu, kiranya diperlukan perhatian dari semua pihak terutama keturunan Pajajaran, sebab perjalanan pengembaraan Siliwangi  selalu ditandai dengan batu. Petualangan  Siliwangi ke seantaro jagat bukan hal mustahil hanya untuk memperbanyak keturunan, namun yakin Yang Maha Kuasa Pencipta-Nya mempunyai rencana selain itu pula.

Batu Dakon

Siliwangi walaupun  diwarisi senjata alam yang bernama Kujang jarang dipergunakan, hanya sewaktu-waktu dalam keadaan darurat saja. Konon Kujang yang dimiliki oleh Siliwangi berbahan besi kuning. Senjata itu tidak sembarang orang dapat memiliki karena kujang tersebut bukan semacam pisau atau keris yang selalu disandang tetapi digunakan pada hal tertentu saja. Konon, apabila pemiliknya memerlukan Kujang, bisa muncul secara tiba-tiba sehingga wujud pemiliknya tidak nampak terlihat mata seolah-olah tidak ada. Itulah Kujang yang sejatinya.

Perjalanan Siliwangi juga selalu diiringi dengan kegiatan perburuan binatang untuk bahan makan dagingnya, sementara kulitnya untuk penutup badan. Namun dalam perburuan keluar masuk belantara, jika menjumpai wanita maka tak ayal langsung dikawin. Dimanapun dan kapanpun sepanjang petualangan itu berlangsung, maka Siliwangi memiliki banyak isteri dan keturunan. Dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu gunung ke gunung lain, selalu ditandai oleh Siliwangi dengan batu untuk dijadikan tonggak peringatan seolah tanah itu telah disinggahi. Ada batu yang pernah dijadikan pertapaan ada pula yang disusun semacam gundukan batu yang diperkirakan mengubur sesuatu didalamnya.

Selama pengembaraan, Siliwangi berjiwa gigih, tidak pernah kalah dan menyerah  dalam pertarungan menaklukan binatang buas maupun pertarungan dengan manusia. Oleh karena itu, ditiap tempat namanyapun harum mewangi dan disegani. Sedangkan nama-nama lainnya banyak disesuaikan dengan waktu, kejadian, atau nama panggilan kesayangan dan  kadang sekedar julukan. Nama lain Siliwangi  atau alias yaitu ; Sangiyang Tapak. Nama itu terjadi pada saat kejadian menandai tulisannya pada batu yang disertai padatala Tapak Tangan atau Tapak Kaki. Atau nama Badak Buana atau Cakra Buana atau Sangiyang Kilat Buana. Nama Kilat Buana, bila berkenan ke suatu tempat bisa datang secepat kilat.  Sangiyang Sankala Gotama atau Sisinga Puspa Dewa Gotama atau Puspa Raja atau Prabu Siliwangi. Ada pula nama Mulawarman, Purnawarman dan Adityawarman serta Jalak Sutra. Selain itu ada pula sebutan Kuncung Putih atau Haji Putih atau Haji Qodratulah dan banyak lagi julukan lainnya. Tetapi ketika masa kecil nama Siliwangi adalah Pancawala. Putra Mahadewata Agung Sangiang Tunggal (salah satu sebutannya) dan Ibunya Ratu Ayu Rangrang Kembang Kolengkangsari (salah satu sebutannya).

Dari Gunung Galuh yang kelak bernama Gunung Munara Bogor, Siliwangi mengawali hidupnya. Masa kini, disebut Gunung Munara karena disana terdapat batu menjulang tinggi bagaikan menara mesjid. 
Gunung Galuh atau Munara

Adapun nama dan gelar Siliwangi tersebut sejalan dengan zaman yang menyertai alam. Seperti gelar Sangiyang, sebutan itu digunakan ketika alam dinamai zaman Hindu. Selanjutnya gelar Prabu, hal itu juga diistilahkan pada zaman Budha. Sampai zaman Islam nama Siliwangi juga menyandang nama Islam seperti Haji Putih dan Haji Qodratullah. Jika demikian, Siliwangi berada sepanjang zaman ?. Mungkin ! Siliwangi dibilang ada, bisa. Karena masih ada orangtua tertentu dapat berkomunikasi secara batiniah serta menyiratkan dalam bentuk tulisan. Dikatakan tidak ada, memang. Karena Siliwangi tidak nampak berwujud. Jadi tergantung dari sudut mana memandang.
 
Tujuan utama pengembaraan Siliwangi adalah untuk meramaikan jagat nusantara, dalam perjalananpun tidak dengan kekerasan maupun peperangan tetapi  dengan misi Aji Muroh yang berarti mencari jati diri dan mengasah pangaweruh tanpa guru. Sehingga seisi alam yang diciptakan Yang Maha Kuasa, oleh  Siliwangi dianggap sesama mahluk maka perlu menyelaraskan antara ilmu pangeweruh dengan alam. Karena pada alam terdapat tempat-tempat tertentu yang bernuansa bermanfaat dan bermaunat bagi diri sendiri maupun bagi orang banyak.

Dari Gunung Galuh, kemudian menghuni Gunung Gumuling yang kelak bernama Gunung Kapur Ciampea. Dinamakan Gunung Gumuling, karena salah satu nama Siliwangi alias Sangiyang Gumuling. Beberapa waktu setelah menghuni Gunung Gumuling, disana meninggalkan  arca walaupun dibuat terkesan asal-asalan. Arca tersebut kini tinggal satu berada ditempatnya, sedangkan arca yang lainnya sejak tahun 1976 dipindahkan ke Pasir Angin Leuwiliang. Tentang bentuk arca yang asal jadi,   menunjukan  bahwa komunitas manusia pada zamannya belum begitu terampil membuat arca, sehingga tidak sebagus bentuk aslinya bahkan mungkin terkesan kurang memiliki nilai seni.

Batu Kedok

Di arah sebelah barat Gunung Gumuling, tepatnya dipinggir sungai pertemuan Cisadane dengan sungai Ciareuten,  terdapat batu ditandai dengan tulisan sankala dan Tapak Kaki.  Pergerakan rombongan kecil Siliwangi dan keluarga diperkirakan juga bergerak menuju Panyaungan Pasir Jambu terus berlanjut ke Pasir Awi Jonggol.

Setelah menggalkan artefak tulisan dan padatala kaki di Jonggol, kemudian bergerak kearah selatan dan menetap di Cibedug Raden. Disini garwa Siliwangi melahirkan seorang putra yang kelak menjadi tokoh Siliwagi generasi berikutnya.  Di lokasi Cibedug Raden, terdapat Batu Kedok, Batu Dongdang, Batu Karut dan Batu Kasur. Khususnya Batu Kedok menggambarkan wajah seseorang, namun sayang batu tersebut nyaris hancur. Padahal kawasan itu salah satu terpenting peninggalan Siliwangi dan cikal bakal adanya Pajajaran. Lokasi itu dinamai Hang Tua Pajajaran, malah ada nama Fadlatuh laduni wal yaumil kiamah sodakallahu Sapujagat.  

Dan ketika Siliwangi berada di Batutulis, menamai tempat itu Syaiful haq bil goib.  Jika diartikan   bagai pedang tajam dari alam yang tidak terlihat. .Mungkin maksudnya, berdoa atau ilmu ditempat itu setajam pedang goib !. Lalu kenapa dengan kalimat Islam ? Padahal zaman itu belum ada yang namanya agama yang ada ageman benarkah ?. Hanya perlu dimaklumi, konon Siliwangi ketika lahir ke dunia keadaan kulupnya sudah bersunat, maka Siliwangi dikatakan juga Slam Tunggal.

.
Batutulis

            Memang antara zaman Siliwangi dengan kehadiran zaman Islam berbeda jauh, tetapi Siliwangi telah diwarisi ilmu pengetahuan tentang Islam yang disebutnya agama anyar.  Padahal zaman Batutulis ketika membuat tulisan dan padatala tapak kaki pada bulan terang pada 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan adanya Islam pada tahun 625 Masehi seiring dengan zaman Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana keyakinan keturunan Pajajaran, menyatakan bahwa Siliwangi dibilang ada, ada. Dibilang tidak ada, memang karena tidak terlihat kasat mata. 

Di Batutulis  inilah tapak petilasan tokoh diabadikan diantaranya bekas Salaka Domas, bekas Nawang Wulan. Disebelah selatannya terdapat petilasan  Sangiyang Resi Sinuhun Agung Purwakalih dan diseberangnya terdapat petilasan Embah Dalem Batutulis. Namun ampun paralun sebenarnya pituin itu adalah Eyang Buyut Wali Haji Sakti Mangkurat Jagat. Jika kembali berjalan kearah utara, persis di depan Pasar Bale Kambang, terdapat bekas keluarga Siliwangi yaitu Prabu Pucuk Umun.  Sedang di Jalan Sangkuriang, terdapat petilasan Ranggapati dan di Jalan Jaya Tunggal terdapat petilasan Kupa Landak, salah seorang kepercayaan Siliwangi.

Tapak Tapak Pajajaran diataranya Tapak Tangan dan Tapak Kaki.  Namun khusus Tapak Tangan maupun Tapak Kaki ternyata memiliki makna yang inspiratif terutama bagi keturunan Pajajaran. Jika direnungkan, setiap muslim manakala berwudhu hendak melakukan salat, diawali  membersihkan telapak tangan dan diakhiri dengan membersihkan telapak kaki. Apa mungkin ada hubungannya antara artefak Pajajaran dengan berwudhu ?. Karena wudhu identik dengan mensucikan diri untuk menghadap Ilahi Robbi. Lalu kenapa Siliwangi selalu menandai telapak tangan dan telapak  kaki, apa hal itu symbol isyarat dimasa mendatang akan ada ajaran agama anyar  atau agama Islam ? dan setiap orang perlu menjaga  kesucian diri, namun silahkan renungkan dan artikan secara paripurna serta bijaksana.

            Cag !


Baca Selengkapnya

TAPAK TAPAK PAJAJARAN


LANJUTAN  1
TAPAK TAPAK PAJAJARAN
Oleh Moh. Sjafei & SC

            Sebagaimana telah disinggung pada tulisan Tapak Tapak Pajajaran, bahwa  Siliwangi dibilang ada, ada. Dibilang tidak ada, memang karena tidak terlihat kasat mata.  Dan telah diulas pula, bahwa  Tapak Tapak Pajajaran diantaranya Tapak Tangan dan Tapak Kaki.  Namun khusus Tapak Tangan maupun Tapak Kaki ternyata memiliki makna yang inspiratif terutama bagi keturunan Pajajaran. Jika direnungkan, setiap muslim manakala berwudhu hendak melakukan salat, diawali  membersihkan telapak tangan dan diakhiri dengan membersihkan telapak kaki. Apa mungkin ada hubungannya antara artefak Pajajaran dengan berwudhu ?. Karena wudhu identik dengan mensucikan diri untuk menghadap Ilahi Robbi. Lalu kenapa Siliwangi selalu menandai telapak tangan dan telapak  kaki, apa hal itu symbol isyarat dimasa mendatang akan ada ajaran agama anyar  atau agama Islam ? dan setiap orang perlu menjaga  kesucian diri. Mungkin, namun silahkan renungkan dan artikan secara paripurna serta bijaksana.
           
Di Batutulis  inilah tapak petilasan tokoh diabadikan disamping batutulis, ada pula bekas Salaka Domas, bekas Nawang Wulan. Disebelah selatannya terdapat petilasan  Sangiyang Resi Sinuhun Agung Purwakalih dan diseberangnya terdapat petilasan Embah Dalem Batutulis. Namun ampun paralun sebenarnya pituin itu adalah Eyang Buyut Wali Haji Sakti Jaya Mangkurat Jagat. Jika kembali berjalan kearah utara, persis di depan Pasar Bale Kambang, terdapat bekas Prabu Pucuk Umun.  Sedang di Jalan Sangkuriang, terdapat petilasan Ranggapati dan di Jalan Jaya Tunggal terdapat petilasan Kupa Landak, salah seorang kepercayaan Siliwangi.

Salah satu tapak Sangiyang Tapak

            Di Bogor inilah Siliwangi menetap dan tetap menghuni gua, sehingga komunitas kecil ini lebih memilih menghuni tempat ditepian situ (danau) Sipatuhunan. Situ itu sesuai dengan harapan mereka karena disekitar itu banyak terdapat   ikan dan binatang yang menjadi bahan makanan pokok.   Situ Sipatahunan adalah danau yang dialiri dan bersumber dari sungai Ciliwung bukan Cihaliwung. Cihaliwung adanya di arah Selatan Batutulis sekarang.

Tentang Situ Sipatahunan,  letaknya memanjang dari mulai aliran Ciliwung Gadog sampai Situ Duit Warung Jambu. Situ Sipatahunan menyisakan tanah landai seperti Jalan Jalak Harupat Sempur, Jalan Otista dan perkampugan-perkampungan lainnya yang seolah berada di daratan rendah atau lembah. Sementara itu yang dapat menunjukan ketinggian tanah seperti sama tingginya di Sukasari dengan di Bantarkemang, maupun Jalan Jend. Sudirman dengan Jalan Ceremai. Sebab, jika kita berdiri di seberang Bogor Permai dan memandang kearah timur, maka akan terasa sejajar berada diketinggian tanah di Jalan Ceremai seberang sana. Sama halnya dengan di Sukasari Jalan Siliwangi, jika kita melihat kearah timur, maka seakan sama berada diatas ketinggian tanah yang sama seperti di Jalan Pajajaran Baranangsiang. Kondisi tanah yang sama tingginya dapat diidentifikasi merupakan tanggul bibir Sipatahunan adalah mulai di Sukasari terus memanjang kearah utara yaitu ; ke lokasi Kebun Raya, Istana, Jalan Jend. Sudirman terus ke Jalan Jend. A. Yani. Sementara hal yang sama juga dapat ditemui mulai dari Bantarkemang terus memanjang ke arah utara yaitu ; Jalan Pajajaran ( Kebun Raya sebelah Timur ), terus ke arah Kalibata Warung Jambu. Sehingga dahulu Situ Sipatahunan seluas dan selebar perkampungan yang sekarang menjadi dataran rendah seperti Babakan Asem, Pulo Armin, Sukamulya, Pulo Geulis, Belong, Babakan Pasar, Kebon Kelapa, bagian tengah Kebun Raya, Lebak Kantin, Sempur, Kamp. Rambutan, Lebak Pilar, Bantarjati, Yapis  dan Warung Jambu. Itulah daerah-daerah genangan Situ Sipatuhunan. Dari dataran rendah itulah, maka jika hendak kearah barat maupun ke timur harus mendaki karena jalan naik. Di lain pihak, posisi Warung Jambu sebagai lahan akhir Sipatuhanan juga berada didataran rendah sebab jika hendak ke arah selatan (Sukasari) apakah melalui Tanah Sareal maupun Kalibata, jalannya menanjak mayat. Itulah Sipatahunan hanya kenangan belaka dan telah berjasa telah memberi sumber kehidupan. Namun kepercayaan Pajajaran masih setia   mendiami bekas Situ Sipatahunan, disebelah selatannya oleh Sibli Anshori dan di sebelah utara oleh Embah Dato.

                                                                                   Hilir Sipatahunan

            Diperkirakan Situ Sipatahunan jika dari hulu Sungai Ciliwung mulai dari Bantarkemang dan berakhir di Warung Jambu. Mengenai lokasi danau itu, marilah selintas kita simak ketika zaman Belanda.  Kedatangan Belanda perlu disinggung sebab terdapat korelasi dengan lokasi maupun kepentingan bangsa Belanda. Setelah  beberapa tahun kehadiran Belanda di Boitenzorg, gundukan tanah yang membentengi akhir situ itu dijebol dan dialirkan.  Inisiatif Belanda beralasan agar air tidak menggenangi serta untuk memudahkan menata pertanian. Sebagaimana diketahui bahwa Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1602. Sedangkan G. W. Baron Van Imhoff, membuat Istana Bogor pada tahun 1745. Kemungkinan pengerjaan mengalirkan  Sipatahunan waktunya mundur sepuluh atau duapuluh tahun sebelum mendirikan Istana Bogor karena mereka memerlukan jembatan  untuk membawa material bahan bangunan menuju lokasi yang kelak bernama istana Bogor. Sehingga jembatan Situ Duit atau hilir Sipatahunan pengerjaannya dilakukan sekitar tahun 1725.

            Situ Sipatahunan dijaga kelestariannya karena Siliwangi sangat berkepentingan dengan ikan dan binatang disekitarnya. Wilayah Sipatuhunan yang berada dalam kawasan Salaka Domas atau hamparan bumi, Siliwangi menyebutnya salah satu Leuweung Larangan ( Hutan Lindung), sebab disana banyak bahan makanan. Keberadaan hutan tersebut dibarengi dengan kebiasaan larangan atau pamali (tidak boleh) memetik dedaunan apalagi pucuk pohon atau bahkan menebang.  Namun kini yang tersisa hanya Kebon Raja, yang sekarang lebih terkenal dengan nama Kebun Raya dan itulah yang disebut Leuweung Larangan. Leuweung Larangan ternyata menjadi inspirasi bagi seorang bangsa Jerman yang bernama Profesor C.G.C Reinwardt. Ia pada tahun 1817 di lokasi itu membuat kebun percobaan yang kelak bernama Kebun Raya.

Hulu Sipatahunan

            Kebon Raja, begitulah orang tua dulu menyebut Istana dan Kebun Raya. Ternyata dalih itu dikatakan karena di lokasi itu pertama bekas leluhur Pajajaran dan kedua pernah dipergunakan oleh Ratu Wihelmina ketika zaman pendudukan Belanda. Bahkan para pembesar Belanda pernah menghuni gedung Istana ini antara lain : G. W. Baron Van Imhoff, Jacob Mosel, Wiliam Deanles, Thomas Stamford Raffles dan pembesar lainnya. Para pejabat itulah yang dikatakan oleh penduduk Bogor sebagai raja, sehingga menyebut Kebun Raya adalah Kebon Raja.

            Pada tahun 1935, gedung ini telah mencatat sejarah dan bahkan  sagat berkesan bagi penduduk Bogor ketika Ratu Wihelmina menikahkan putrinya Ratu Juliana dengan Pangeran Berhard. Seluruh perkampungan dan jalan-jalan menuju gedung itu dihias sebagus mungkin  agar terkesan  meriah karena dalam acara hajatan itu Ratu Wihelmina mengundang para kepala pemerintahan dari berbagai negara. Bagi penduduk Bogor yang paling menyenangkan dijinkan memasuki halaman istana, bahkan bagi siswa sekolah diberi kupon untuk ditukarkan dengan macam-macam kue dan makanan hidangan. Dan setelah usai acara pernikahan ratu, beberapa saat kemudian keluarlah cetakan uang logam Belanda yang disebut oleh orang tua dulu “benggolan bolong”.   Tanda bolong atau lubang ditengah-tengah uang logam itu konon menurut kisah adalah konotasi atau menandakan ratu telah menikah.

Di sekitar  itulah Tapak-tapak Pajajaran dahulu berada. Salah satu yang mungkin ingin ditunjukkan oleh leluhur pernah terjadi pada tanggal 20 Februari 1970. Ketika itu di Istana Bogor diselenggarakan kegiatan kemanusiaan untuk  masyarakat Irian Jaya. Kegiatan itu dimeriahkan oleh hiburan Band yang didukung oleh artis-artis Ibukota. Kegiatan itu sangat meriah dan semua pengunjungpun merasa terhibur, namun sekitar  pada jam 13.00 lebih, tiba-tiba dari arah selatan terlihat gulungan awan hitam mengarah ke Kebun Raya. Ternyata gumpalan awan hitam itu disertai hujan angin sngat kencang dan kuat.  Maka sekejap saja dikawasan itu menjadi hingar bingar karena hujan angin puting beliung. Pengunjung Kebun Raya maupun di Istana berlarian tunggang langgang ketakutan karena angin begitu kuat dan merobohkan pepohononan. Keadaan itu juga disertai teriakan histeris pengunjung Kebun Raya yang menyelamatkan diri berdesakan menuju pintu keluar. Walaupun kejadian itu hanya beberapa saat, namun banyak pohon  yang roboh. Ditengah hiruk pikuk kecemasan pengunjung, tiba-tiba dilantai salah satu ruangan Istana   terlihat sebelah tapak kaki seolah-olah lantai itu lunak, karena sebagaimana layaknya orang menginjak lumpur. Orang-orang berusaha memotret obyek itu, namun hari itu juga setelah mereka cuci  film, ternyata tak nampak gambarnya. Hasil foto mereka hanya menghasilkan hitam gelap. Kemudian ada beberapa orang yang ingin kembali mengabadikan tapak kaki tadi, disana sudah tidak ada lagi obyek yang akan dipotret dan lantainya kembali utuh seperti tidak  terjadi apa-apa.
    
 Mungkin begitulah cara leluhur menampakan diri dan alam disana menjadi saksi bisu. Kini bagian kecil Sipatuhunan, telah berubah tetapi masih terdapat artefak Banteng Lilin Suku Gading, patung dan Tulisan Sankala. Sementara tidak jauh dari bibir sungai Ciliwung terdapat petilasan Guru Gantangan atau Pandan Soka, berdekatan dengan mulut goa yang pernah dihuni oleh komunitas Siliwangi.

“Tonden Pakokolot Gadog”

            Dilain pihak tentang Cihaliwung yang beken dilantunkan oleh Pujangga Embah Pantun, terletak di sebelah selatan Batutulis, persis di bawah petilasan Embah Dalem Batutulis. Sungai kecil itu mengalir kearah selatan betemu dengan Kalimusana selanjutnya bersama-sama bermuara ke sungai Cisadane yang   mengalir kearah utara.   Sungai Ciliwung maupun Cisadane merupakan dua aliran sungai yang menjadi saksi bisu adanya Siliwangi, karena kedua sungai tersebut banyak kontribusi terhadap kehidupan Siliwangi maupun catatan  terhadap petilasannya. 

Tapak-tapak lainnya yang ditinggalkan Siliwangi di Sungai Ciliwung maupun di Sungai Cisadane, antara lain ; Batu di Ciliwung Gadog pertemun dengan Ciesek, ketika disana saat Siliwangi menginjak usia remaja bernama Paksi Jaladara yang kelak orang menyebutnya Pakokolot Gadog. Sementara itu di Cisadane, disebelah barat Rancamaya terdapat Batu Putih dan masyarakat sekitar menyebutnya  Padungukan Haji Putih bertapa. Sedangkan tidak jauh dari Batu Putih  terdapat Curug Bengkung dan kini curug itu tidak berair lagi hanya tinggal kenangan saja. Namun biarlah musnah tanpa kerana, hanya keturunan Siliwangi seringkali menghibur diri dengan lantunannya  :

Cihaliwung nungjang ngidul Cisadane nunjang ngaler
Pupuh putih Kalimusana Sakala Sangkuriang
Batu Putih sirna agung Patapaan Prabu Siliwangi
Sasaka Domas Curug Bengkung
Sirna tapa anu agung adalah Siliwangi
Hayu urang babarengan sasaka merah putih
Nu mantrang Batara Agung
Pusaka nu ngadeg di Pulo Jawa
Eyang Mbah Dalem Sri Pohaci
Ratu Agung Pajajaran cirina Situ Cipatahunan
Anu jadi Kebon Raya Sri Agung Tapak Agung
Anu nyalikan Pajajaran
Mangadeg sang pangadeg, pupuh rahayu pulo Jawa
Sasaka Sunda Besar Sunda Kecil, nyatana Pajajaran Siliwangi
Laut Jawa anu katelah nirwana cahaya rohman rohim.

Bait demi bait itu silahkan terjemahkan secara arif bijaksana. Namun, walaupun Tapak Siliwangi menjelang musnah, jejak leluhur tetap melekat disanubari keturunannya dan mereka akan terus menelusuri sebagai upaya  mencari jatidiri. Memang tidak mudah mengungkap perjalanan leluhur, karena memerlukan waktu lama dan memerlukan keikhlasan hati. Sejatinya. leluhur tidak menghendaki laku lampahnya dipublikasikan maka sifatnya wenang. Kalau bisa ditelusuri silahkan,  tidak juga tidak masalah cuma kalau “calutak” atau “nyeleneh” akan tahu akibatnya.

Konfirmasi Tapak Tulisan Batu dengan Buku


Tapak, diartikan oleh masyarakat Bogor adalah bekas atau petilasan tersebar luas kemana arah jejak leluhur menapakkan kakinya. Hanya saja tergantung  memaknainya sebab ada yang bersifat bawaan alam dan ada juga yang sengaja dibuat oleh leluhur. Memang yang sengaja dibuatpun tetap dari alam, namun dibalik itu dikandung maksud sebagai tugu peringatan bahwa leluhur pernah ada dan hidup disitu. Hanya batu yang dapat dipergunakan waktu itu, karena batu dianggap paling banyak ditemui, kuat tahan lama, sehingga batu dianggap efektif dapat mencatat jejaknya.

Mengenai batu-batu yang dibuat sengaja sebagai prasasti, kenapa begitu mudah direka seolah batu lembek ?!. Padahal zaman itu tidak ada alat yang lebih kuat daripada batu !.  Sebut saja contoh Batu Tapak,  Batu Tulis atau prasasti, Arca di Gunung Gumuling di petilasan Purwakalih, artefak di Gunung Galuh Rumpin  atau Batu  Kedok, walau telah lekang karena usia zaman, tapi masih nampak membekas dan terkesan jelas direka oleh andil tangan manusia. Benarkah ?. Sejatinya bisa saja, karena kemurnian hati dan kesucian jiwa, dapat melemahkan dan merubah benda sekeras apapun sesuai keinginan penciptaannya. Itulah,  selintas alasan leluhur Pajajaraan terhadap benda keras yang disebut batu.

 Batu Tapak lainnya terdapat di Cibalagung. Jika berada di selatan maka harus melalui dulu Empang. Empang atau kulah (bahasa Sunda) merupakan genangan hamparan air dari muara pertemuan kali Cipakancilan dengan sungai Cisadane. Oleh karena itu Empang berada di daratan rendah jika dilihat dari Jalan Pahlawan maupun dari  Kampung Muara. Kondisi demikian lagi-lagi oleh prakarsa Belanda dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian yang berada didaerah hilirnya. Maka pada tahun 1890, bangsa asing membuat beberapa dam untuk pengaturan aliran sungai itu.

 
Batu Tapak Dakon Cibalagung Pasir Jaya

Mengenai Batu Tapak di Cibalagung, lebih dikenal masyarakat daripada  nama kampung yang menguasainya. Batu Tapak itu berbentuk dakon yaitu batu berlubang seukuran diameter 7 cm dan berjumlah 8 lubang. Konon batu tersebut dipergunakan untuk meracik  dedaunan maupun bahan makanan. Dan batu dakon semacam itu juga terdapat di Cengkuk Pelabuhan Ratu serta di daerah Raga Wacana Kuningan. Kedua tempat terakhir itupun adalah petilasan leluhur Pajajaran, namun akan diuraikan dilain kesempatan.

Tapak-tapak lainnya seperti yang terdapat di Jalan Sangkuriang, sangat  membahagiakan karena situs Ranggapati itu terawat lumayan baik. Ranggapati merupakan salah seorang kepercayaan Siliwangi. Sedangkan kepercayaan lainnya yaitu ; Eyang Rangga Gading, Eyang Kidang Pananjung, Eyang Natadani, Eyang Kupa Landak. Petilasan Eyang Rangga Gading di Pamoyanan, Eyang Kidang Pananjung yang dikenal Mbah Dalem Kedug Badak, Eyang Kupa Landak tidak jauh Eyang Ranggapati. Hanya menuju ke lokasi Eyang Kupa Landak tidak ada akses malah terkesan susah, jadi memerlukan turun tangan pemerintah.  Sementara lokasi Eyang Natadani cukup baik karena perhatian dari pihak yang berkompeten walaupun tempatnya bergeser dari semula dengan alasan tergerus kali. Dan disekitar Eyang Natadani dahulu masih terdapat batu yang dinamakan Pangapungan. Konon menurut kisah orang tua dulu, bahwa batu pangapungan itu  sebagai sarana semedi bila leluhur akan menuju ke suatu daerah tertentu. Namun sayang batu itu telah lenyap, entah kemana. Dilain pihak bukit punden Badigul yang dahulu kala suka digunakan sebagai tempat pertapaan, sudah mulai diabaikan.


Situs Ranggapati

Memang sangat disayangkan tapak bekas nenek moyang banyak yang hilang padahal mungkin ada baiknya petilasan tidak berpindah tempat atau berpindah tangan dan menjadi milik pribadi.  Disamping orang-orang kepercayaan tadi diatas, sebenarnya masih perlu perhatian dari pihak yang merasa keturunan memperhatikan karuhun kepercayaan Siliwangi, seperti ; Eyang Pangiring, Eyang Nurbuat, Eyang Surya Lukman yang lokasinya tidak jauh dari Batutulis. Bahkan Petilasan Eyang Ciung Wanara yang merupakan keluarga dekat Siliwangi kondisinya memprihatinkan.

Jika diabaikan oleh anak keturunan, apalagi pihak  lain yang tidak ada kaitannya. Lalu siapa yang akan merawat atau melestarikan Tapak Tapak Pajajaran ? Silahkan renungkan. 

Cag...
Baca Selengkapnya